Capugua : Kakaktua Gundul
Capugua. Ini adalah sebuah desa kecil, lebarnya hanya seukuran telapak tangan manusia dewasa berumur dua puluh empat tahun kurang beberapa bulan saat dilihat dari udara. Tidak terlacak satelit manapun, tidak pula tercetak di peta saat Dora mencarinya. Intinya, hanya keajaiban yang membuat desa ini ada dan kini berpenduduk.
Namun bukan itu yang ingin dibahas sekarang, ada hal yang lebih mendesak. Keramaian sedang terjadi, pusatnya dari halaman depan sebuah rumah di sudut utara desa. Penduduk desa yang jumlahnya bisa dihitung dengan anak sempoa sedang berkumpul disana, pada terheran-heran dengan sebuah benda baru yang bertengger di sebuah dahan kecil yang sengaja dipancangkan oleh si Tuan rumah.
“Tetanggaku semuanya, ini namanya burung Kakaktua. Aku mendapatkannya dari seorang kenalan yang akan bepergian ke luar pulau dan tidak pulang-pulang. Burung ini tidak bisa dibawanya, karena itu diberikannya padaku. Burung ini burung keramat, sudah berpindah tangan secepat uang dari keluarga kaya satu ke keluarga kaya lainnya. Artinya, dimanapun ia bertengger, maka kekayaan akan memenuhi rumah itu,” ujar Pak Kukun dengan bangganya.
Tetangganya berseru, sambil menunjuk-nunjuk burung itu dengan sedikit sangsi.
“Apa bagusnya? Bagusan burung merpatiku di rumah,” seru seseorang, disambut seruan membenarkan yang lain.
“Iya, burungnya jelek juga. bulunya jarang-jarang, gundul!”
Memang burung itu wajahnya tidak menentu, bulunya jarang-jarang, nampak banyak dicabuti, satu dua mencuat-cuat seperti rambut pemuda kerempeng yang kurang gisi dan kurang mandi.
“Jangan lihat penampilannya, lihatlah kemampuannya. Burung ini bisa bicara. Tidak percaya, kita lihat sendiri.”
Pak Kukun maju mendekati burungnya, sambil menggaruk lehernya dia bertanya. “Siapa namamu burung manis?”
Burung itu menjawab, “Kak... kakkk... kakkan…”
“Rumahmu dimana?”
“Kukun.. kukun… kukun….”
“Rumahnya Pak Kukun, maksudnya,” Pak Kukun menjelaskan. Ia kembali pada burungnya.
“Apa makananmu?”
“Kakkk…. Kakk…. Kak…. Makan… Makan… Makan… kelaparan.. kelaparan… kelaparan….”
Semua tetangga berdecak kagum, ternyata burung itu bisa bicara seperti manusia. Sepanjang hari, burung itu terus saja berteriak-teriak, menyebut nama Pak Kukun tanpa henti. Itu membuat cuping hidung Pak Kukun kembang-kempis karena bangganya. Ia memamerkan burungnya sepanjang hari, dan pengunjung terus membludak seakan-akan tetangganya bisa kenyang hanya mendengar burung itu berteriak ‘Makan.. makan.. makan..”
Menjelang malam, tetangganya mulai kembali ke rumah masing-masing. Suasana sudah sepi, dan Pak Kukun meletakan burung itu di belakang rumah, di sebuah ranting tertinggi pohon yang menghadap ke timur. Nampaknya burung itu senang di tempat tinggi, karena suara berisiknya tidak terdengar lagi.
Desa Capugua terlelap dalam hening, hanya derik binatang malam dan kerling bintang yang mengintip. Anak-anak mendengkur pelan di bantalnya. Orang dewasa bergelung dengan selimut hidupnya, semuanya senyap, seakan tanpa kehidupan.
Jam lima pagi, tiba-tiba smeuanya gempar karena ada yang berteriak dengan nyaring.
“Kebakaran… kebakaran… kebakaran….”
Bu Kukun yang duluan terjaga, ia mendengar teriakan itu. Dekat sekali rasanya, ia takut rumah sebelah yang terbakar. Dengan panik ia membangunkan suaminya.
“Pak, kebakaran, pak!”
Suaminya terlonjak bangun, mendengarkan ribut-ribut di luar serta teriakan kebakaran. “Bu, selamatkan perhiasan di peti, bawa tevenya keluar, lukisan kumis Bapak yang baru dibungkus selimut, bawa keluar…”
Sambil meneriakan ini itu, Pak Kukun meloncat dari tempat tidur, menyambar selimut di lemari dan berlari menuju ruang tengah. Ia membungkus apa yang bisa dibungkusnya, televise, kulkas, DVD, netbook kecilnya. Sementara istrinya di kamar, mengambil kotak perhiasan sambil menangis meraung-raung.
“Bu, si Komat masih tidur, cepat bangunkan!” teriak pak Kukun, ingat anaknya.
Istrinya melempar kotak perhiasan, berlari ke kamar anaknya. Pak Kukun sebal, lalu meraih kotak perhiasannya, meletakannya di atas bungkusan teve dan bersama istrinya yang menggendong anak mereka, ia berlari menuju pintu.
“Ibu, orang-ornag ramai di luar. Cepat, seperti apinya di rumah sebelah!”
Bu Kukun sempat mengintip lewat tirai, “Iya, Pak. Mereka ramai sekali di depan, nampaknya rumah bu Kiyap yang kebakaran.”
“Iya, Bu! Ayo cepat!” ujar Pak Kukun sambil membuka pintu.
Ceklik… kriet…. Dan burr……
Air menyembur dari luar, menerjang ke arah pintu dan mengenai Pak Kukun. Orang-orang berteriak padanya, sambil melemparkan air dari dalam ember, Pak Kepala desa yang membawa selang, menerjang maju dan mengarahkan airnya ke seluruh ruang tamu Pak Kukun. Orang-orang ikut menerjang masuk, suasana kacau, air bertumpahan dimana-mana, lantai tanah jadi becek.
“Berhenti! Berhenti! Berhenti!” teriak Pak Kukun, namun tidak ada yang mendengar. Semuanya sudah menyiramkan air ke rumahnya dengan cepat, tanpa ba bi bu lagi. Pak Kukun dan Bu Kukun terus berteriak-teriak, meloncat-loncat sambil melindungi barang-barang mereka dari guyuran air. Namun sia-sia, semua sudah basah.
Pak Kukun merebut selang air dan balik mengguyur pak Kepala desa.
“HENTIKAN! HENTIKAN! HENTIKAN!”
Semua diam seketika, pak Kukun meloncat-loncat, menyemprot kesana kemari seperti orang gila.
“Kenapa kalian menyemprot rumah saya? Semua barang saya rusak, rumah saya kebanjiran!!!”
Pak kepala desa menajwab. “Bukannya Bapak tadi yang berteriak kebakaran?”
“Tidak, saya tidak berteriak. Justru saya kira rumah sebelah yang kebakaran!”
“Tidak, kebakarannya dari sini!” seru warga lain.
“Iya, suaranya jelas sekali dari sini!”
“Betul, itu dengar suaranya saja masih ada.”
Semua diam, memasang telinga. Teriakan yang mengatakan kebakaran masih terdengar nyaring, berputar-putar disekitar mereka.
“Siapa yang berteriak?” teriak pak Kukun.
Tidak ada yang menjawab, namun semuanya menunjuk ke atas. Mata Pak Kukun melebar, suara itu memang dari atas. Ia menerjang keluar rumah, lalu berputar ke arah pohon belakang. Suaranya datang dari atas sana. Ia mendongak, matanya bekrilat-kilat marah.
Burung kakaktua gundulnya menatap ke arah matahari terbit sambil melonjak-lonjak di sangkarnya. Suaranya yang nyaring masih juga berteriak, “Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!”
N.B
Selidik punya selidik, ternyata burung itu bulunya gundul karena setiap pagi dicabuti pemiliknya yang marah setelah rumahnya kebanjiran dan diguyur warga akibat teriakannya saat melihat matahari terbit. Dan pagi itu, bulunya benar-benar gundul saat berpindah tangan ke orang 'kaya' yang tidak dikenali.
Namun bukan itu yang ingin dibahas sekarang, ada hal yang lebih mendesak. Keramaian sedang terjadi, pusatnya dari halaman depan sebuah rumah di sudut utara desa. Penduduk desa yang jumlahnya bisa dihitung dengan anak sempoa sedang berkumpul disana, pada terheran-heran dengan sebuah benda baru yang bertengger di sebuah dahan kecil yang sengaja dipancangkan oleh si Tuan rumah.
“Tetanggaku semuanya, ini namanya burung Kakaktua. Aku mendapatkannya dari seorang kenalan yang akan bepergian ke luar pulau dan tidak pulang-pulang. Burung ini tidak bisa dibawanya, karena itu diberikannya padaku. Burung ini burung keramat, sudah berpindah tangan secepat uang dari keluarga kaya satu ke keluarga kaya lainnya. Artinya, dimanapun ia bertengger, maka kekayaan akan memenuhi rumah itu,” ujar Pak Kukun dengan bangganya.
Tetangganya berseru, sambil menunjuk-nunjuk burung itu dengan sedikit sangsi.
“Apa bagusnya? Bagusan burung merpatiku di rumah,” seru seseorang, disambut seruan membenarkan yang lain.
“Iya, burungnya jelek juga. bulunya jarang-jarang, gundul!”
Memang burung itu wajahnya tidak menentu, bulunya jarang-jarang, nampak banyak dicabuti, satu dua mencuat-cuat seperti rambut pemuda kerempeng yang kurang gisi dan kurang mandi.
“Jangan lihat penampilannya, lihatlah kemampuannya. Burung ini bisa bicara. Tidak percaya, kita lihat sendiri.”
Pak Kukun maju mendekati burungnya, sambil menggaruk lehernya dia bertanya. “Siapa namamu burung manis?”
Burung itu menjawab, “Kak... kakkk... kakkan…”
“Rumahmu dimana?”
“Kukun.. kukun… kukun….”
“Rumahnya Pak Kukun, maksudnya,” Pak Kukun menjelaskan. Ia kembali pada burungnya.
“Apa makananmu?”
“Kakkk…. Kakk…. Kak…. Makan… Makan… Makan… kelaparan.. kelaparan… kelaparan….”
Semua tetangga berdecak kagum, ternyata burung itu bisa bicara seperti manusia. Sepanjang hari, burung itu terus saja berteriak-teriak, menyebut nama Pak Kukun tanpa henti. Itu membuat cuping hidung Pak Kukun kembang-kempis karena bangganya. Ia memamerkan burungnya sepanjang hari, dan pengunjung terus membludak seakan-akan tetangganya bisa kenyang hanya mendengar burung itu berteriak ‘Makan.. makan.. makan..”
Menjelang malam, tetangganya mulai kembali ke rumah masing-masing. Suasana sudah sepi, dan Pak Kukun meletakan burung itu di belakang rumah, di sebuah ranting tertinggi pohon yang menghadap ke timur. Nampaknya burung itu senang di tempat tinggi, karena suara berisiknya tidak terdengar lagi.
Desa Capugua terlelap dalam hening, hanya derik binatang malam dan kerling bintang yang mengintip. Anak-anak mendengkur pelan di bantalnya. Orang dewasa bergelung dengan selimut hidupnya, semuanya senyap, seakan tanpa kehidupan.
Jam lima pagi, tiba-tiba smeuanya gempar karena ada yang berteriak dengan nyaring.
“Kebakaran… kebakaran… kebakaran….”
Bu Kukun yang duluan terjaga, ia mendengar teriakan itu. Dekat sekali rasanya, ia takut rumah sebelah yang terbakar. Dengan panik ia membangunkan suaminya.
“Pak, kebakaran, pak!”
Suaminya terlonjak bangun, mendengarkan ribut-ribut di luar serta teriakan kebakaran. “Bu, selamatkan perhiasan di peti, bawa tevenya keluar, lukisan kumis Bapak yang baru dibungkus selimut, bawa keluar…”
Sambil meneriakan ini itu, Pak Kukun meloncat dari tempat tidur, menyambar selimut di lemari dan berlari menuju ruang tengah. Ia membungkus apa yang bisa dibungkusnya, televise, kulkas, DVD, netbook kecilnya. Sementara istrinya di kamar, mengambil kotak perhiasan sambil menangis meraung-raung.
“Bu, si Komat masih tidur, cepat bangunkan!” teriak pak Kukun, ingat anaknya.
Istrinya melempar kotak perhiasan, berlari ke kamar anaknya. Pak Kukun sebal, lalu meraih kotak perhiasannya, meletakannya di atas bungkusan teve dan bersama istrinya yang menggendong anak mereka, ia berlari menuju pintu.
“Ibu, orang-ornag ramai di luar. Cepat, seperti apinya di rumah sebelah!”
Bu Kukun sempat mengintip lewat tirai, “Iya, Pak. Mereka ramai sekali di depan, nampaknya rumah bu Kiyap yang kebakaran.”
“Iya, Bu! Ayo cepat!” ujar Pak Kukun sambil membuka pintu.
Ceklik… kriet…. Dan burr……
Air menyembur dari luar, menerjang ke arah pintu dan mengenai Pak Kukun. Orang-orang berteriak padanya, sambil melemparkan air dari dalam ember, Pak Kepala desa yang membawa selang, menerjang maju dan mengarahkan airnya ke seluruh ruang tamu Pak Kukun. Orang-orang ikut menerjang masuk, suasana kacau, air bertumpahan dimana-mana, lantai tanah jadi becek.
“Berhenti! Berhenti! Berhenti!” teriak Pak Kukun, namun tidak ada yang mendengar. Semuanya sudah menyiramkan air ke rumahnya dengan cepat, tanpa ba bi bu lagi. Pak Kukun dan Bu Kukun terus berteriak-teriak, meloncat-loncat sambil melindungi barang-barang mereka dari guyuran air. Namun sia-sia, semua sudah basah.
Pak Kukun merebut selang air dan balik mengguyur pak Kepala desa.
“HENTIKAN! HENTIKAN! HENTIKAN!”
Semua diam seketika, pak Kukun meloncat-loncat, menyemprot kesana kemari seperti orang gila.
“Kenapa kalian menyemprot rumah saya? Semua barang saya rusak, rumah saya kebanjiran!!!”
Pak kepala desa menajwab. “Bukannya Bapak tadi yang berteriak kebakaran?”
“Tidak, saya tidak berteriak. Justru saya kira rumah sebelah yang kebakaran!”
“Tidak, kebakarannya dari sini!” seru warga lain.
“Iya, suaranya jelas sekali dari sini!”
“Betul, itu dengar suaranya saja masih ada.”
Semua diam, memasang telinga. Teriakan yang mengatakan kebakaran masih terdengar nyaring, berputar-putar disekitar mereka.
“Siapa yang berteriak?” teriak pak Kukun.
Tidak ada yang menjawab, namun semuanya menunjuk ke atas. Mata Pak Kukun melebar, suara itu memang dari atas. Ia menerjang keluar rumah, lalu berputar ke arah pohon belakang. Suaranya datang dari atas sana. Ia mendongak, matanya bekrilat-kilat marah.
Burung kakaktua gundulnya menatap ke arah matahari terbit sambil melonjak-lonjak di sangkarnya. Suaranya yang nyaring masih juga berteriak, “Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!”
N.B
Selidik punya selidik, ternyata burung itu bulunya gundul karena setiap pagi dicabuti pemiliknya yang marah setelah rumahnya kebanjiran dan diguyur warga akibat teriakannya saat melihat matahari terbit. Dan pagi itu, bulunya benar-benar gundul saat berpindah tangan ke orang 'kaya' yang tidak dikenali.
pertama... nyepamm dulu...
BalasHapuskedua... baca dulu... hihi....
BalasHapusehh pagi nchi dududz...
jiahhhahh... kalo aku yang punya itu burung langsung aku jitak sampe benjut kalo perlu biar tambah gundul dia... cuihh...
BalasHapuskakaktua jd gundul...?
BalasHapus*gak bisa bayangin.. hahahaha
apaaa??? kamu nyepamm di tempatku nggak tanggung-tanggung sampe 6 gitu cuihh.... dasar dududzz...
BalasHapusbtw kalo aku ngebayangin kamu ntu mirip sama burung kakatua gundul ntu chi... suka nyepaamm jugaa... hihihi...
Kakaktua bikin aku inget Gebe, pulau kecilku (tajir amat punya pulau), soalnya burung kakaktua kan asalnya dari daerah timur, Papua kalo ga salah (kalo salah tulung di edit ajah) ;p
BalasHapusburungkah ini?
BalasHapusha ha ha...ada2 aja nih si mocca. tapi lucu juga. kasihan burung gundul itu ya. kasihan juga ama pak Kukun.
BalasHapusoot : aku dah coba chi. tapi error. problem lama yg pernah kucritakan sama kamu wkt kita sering chat. kodenya gak diterima.
BalasHapushe-he-he ...burung kakak tua , menclok di jendela, nenk sudah tua, giginya habis semua.
BalasHapusHa-ha-ha ternyata ada versi lain cerita burung kakak tua disini.
cerpen yang menarik...desanya besar juga ya he..he...
BalasHapussalam yah buat burungnya
BalasHapuskacian banget kakatua-nya hikz...jadi sedih! whoa....!!!!!
BalasHapusmocca_chi pinter banget milih kata-katanya, aq salut lho!! tetap nulis yaks
BalasHapusPadahal netbook nya sudah diungsikan, kalu burungnya nggak dijual bisa bahaya...
BalasHapusKu rasa ada makna terpendam di dalam nya...tapi apa...?
BalasHapussementara nggak tahu...hehehheeheheh...nice posting ajah....
Hahahaha... bisa aja ni anak bikin crita, bagus, kocak, cukup bisa buat aku ngakak, hahahaha...
BalasHapuschi,, mau ngabsen dulu,, komenk postingannya ntar kalu ada waktu.. ini lagi mepet euy!!
BalasHapuskisah nyata?
BalasHapuswuahakakakkakakakakkakaka,,,,, senjata makan tuan ini mah ,,,
BalasHapuswadoh , sekarang kira2 orang kaya yang beli burung itu dari pa Kukun mau jual gak ya ?
BalasHapusbiar di goreng aja kakatua nya wkwkkwkwkwkwkw
Menerima spammmmmmmmm,,, wkwkwkwkkwkw,,,
BalasHapuskakak tua gundul ya dingin dong kepalanya
BalasHapusPak Kukun maju mendekati burungnya beneran gundul?? mocca...bener tuh??? ga salah lihat kamuh??? hemm...xixixixi..
BalasHapuspagi nchi dududzz...
BalasHapuskemaren pak kukun bilang sama aku katanya kakaktuanya kamu ambil ya?
sarapan nyeppamm di sini enak yah...
BalasHapusiiihhh... perinya pornooo....
Dasar burung nya aya aya wae!! sebaiknya disembelih saja tuuh burung hehehe
BalasHapusxixixixi kasian banget si burung kakaktua jadi gundul gitu.... ya salah sendiri diletakkan diatas pohon jadianya kan dikiran matahari terbit kayak kebakaran..... ohohohohohoho
BalasHapuslucu juga ceritanya nchi dududz.... huwakakakakak