Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 April 2010

21.06.00

Mimpi yang Sia-sia

“Seratus dua puluh halaman, folio, seribu lima ratus per lembar,”

Dia tersenyum sambil meletakan setumpuk kertas putih yang dibawanya. Aku melirik sesaat, tidak perlu memeriksa lebih jauh mengenai cetakan skripsi yang baru saja dihitungnya tadi, covernya yang aku benci terlihat mengkilat terkena sinar, tanda bahwa semua cetakan itu baru saja keluar dari mesin print.

Dia tersenyum. Kepalanya agak sedikit miring sambil memperhatikanku yang tengah duduk di balik meja tinggi, dengan kertas gambar berhamburan disekitar.

“Seratus lima puluh ribu, ditambah kertas dan biaya lelah,” senyumnya berubah mencemooh. “Lima ratus ribu, uang yang sangat sedikit bagi sarjana untuk membeli ijazah kelulusan. Aku tidak heran kalau sekarang banyak sarjana yang lulus dengan duit!”

Aku tertawa kecil. “Sayangnya itu baru saja terjadi, bukan?!” kataku sambil melirik tumpukan kertas yang ia bawa. Aku sudah menyediakan tempat untuk ‘skripsiku’, rak paling bawah di tempat penyimpanan kertas sketsaku.

Ia mendengus melihatku meletakannya disana. Ia mengenal jelas kamarku, termasuk dimana letak celana dalamku sekalian. Dan ia tahu kalau bagiku, rak paling bawah adalah tempat benda-benda yang paling tidak aku ingin sentuh.

Wajahnya masam, saat aku melirik dia sudah menyilangkan tangan di dada. “Setidaknya kamu lebih menghargaiku!” tukasnya.

“Setelah ujian aku traktir kamu!” ujarku seraya nyengir.

Ia mendelik. “Apakah sebulan riset, sebulan pacaran dengan laptop, dan sebulan nyusun itu pantas hanya dihargai dengan satu kali traktiran?”

Lagi-lagi hanya nyengir. “Kamu malaikatku, malaikat tidak seberarti satu kali traktiran. Tidak pula ratusan kali traktiran.”

“Oh, mulutmu manis sekali…..” ujarnya dengan nada dibuat manis, “Alangkah beruntungnya gadis yang kamu jadikan pacar….”

Aku tertawa. “Jangan memuji diri sendiri!”

Dia Kiray, kini tengah menggeleng sambil mencemooh. Dia duduk di kursi di depan sambil mempermainkan salah satu buku sketsaku. “Kamu tahu, jika kamu memilih desain interior atau bahkan arsitek, kurasa kamu tidak butuh pembuat skripsi. Ekonomi bukan ilmu yang susah, tetapi bagi otak pensil sepertimu melihat koordinat BEP sama saja seperti menggambar di atas air. Harusnya kamu tidak memaksa satu fakultas denganku jika itu hanya menyusahkanku!”

Aku tertawa. “Bukankah kamu yang bilang kalau seandainya kita satu sekolah terus dari SD sampai masuk peti mati yang sama, kemungkinan kita bisa memecahkan rekor dan masuk Guines World Record?”

Dia mendelik lagi, “Satu sekolah setiap hari denganmu saja sudah membuatku hampir mati, apalagi satu peti mati!”

“Tapi setidaknya namamu masuk buku rekor dunia!”

Dia mengepalkan tangannya sambil memandang sengit padaku. Ia pura-pura marah, tapi aku tahu bahwa sasaran kemarahannya bukanlah wajahku, melainkan kertas-kertas sketsaku. Aku hapal lagaknya, bertahun-tahun bersamanya membuatku semakin ahli menghindarkan buku sketsaku dari hantaman tangannya.

“Ah, sudahlah! Bertengkar denganmu tidak ada gunanya,” keluhnya kemudian. Ia duduk membelakangiku, kepalanya menengadah melihat langit-langit kamarku. “Kapan akan ada cewek kesini untuk bersihin sarang laba-laba itu, ya?” gumamnya sambil menunjuk sarang laba-laba di atas lemari.

Tidak perlu melirik untuk melihat, aku sudah terlampau sering melihatnya, ini kamarku sendiri, justru karena kamarku sendiri jadi malas membersihkannya. “Kenapa harus mencari cewek lain lagi? Kamu toh sudah ada disini, tuh sapu di luar!”

Ia menoleh dengan wajah mengerikan. Tapi pintu kamarku ada yang membuka, sekali ini dia tidak akan bisa terus mendelik padaku. Seseorang menerobos masuk dan langsung menengadahkan tangan pada Kiray.

“Mana punyaku?”

Raka, manusia bertinggi sempurna, mitraku dalam memeras otak Kiray. Jika ditanya siapa yang paling menyusahkan gadis itu, maka aku dan Raka adalah jawabannya. Kami bertiga satu fakultas, hampir satu kelas. Aku yang menemukan Raka duluan di Kegiatan mahasiswa yang aku ikuti, kemudian baru aku membawanya ke tengah aku dan Kiray. Kami bertiga sekarang bersahabat erat.

Kiray nampak mendengus berat sambil meraih ranselnya. Tumpukan kertas yang dijepit jepitan hitam keluar lagi dari tas itu dan berpindah tangan pada Raka. Tumpukan seperti punyaku. Apa perlu dijelaskan bahwa Kiraylah yang membuatkan kami berdua skripsi?

“Aku perlu istirahat!” erang Kiray dengan wajah amat tersiksa. “Kalian berdua membunuhku!”

Aku dan Raka hanya bisa tertawa tertawa garing.

“Tidur saja dulu!” saranku sambil menunjuk kasurku.

Kiray meliriknya setengah hati. “Aku akan tidur disana setelah kamu punya sudah pacar yang mau sukarela membersihkannya,” katanya sambil berdiri dan menyampirkan ransel di pundaknya. “Tapi sebelum itu, aku lebih milih tempat tidur Raka,” Kiray menoleh ke Raka yang siap mengangkat tangannya untuk dirangkul.

“Sementara aku jilid, kamu bebas tidur disana, sayangku!”

Aku tersenyum melihat mereka, tapi aku tahu hatiku teriris. Kedua makhluk paling dekat denganku itu pergi sambil bergandengan tangan.

Kiray sahabatku sejak SD, juga orang yang paling aku butuhkan untuk berbagi cinta di sisa hidupku kelak. Bertahun-tahun aku yakin dengan impianku itu, kelak pasti menjadi nyata.

Namun mimpiku sia-sia ketika dia bertemu orang lain, dan yang lebih menyakitkan, aku sendiri yang membawa orang itu kepadanya.

Apakah masih perlu dijelaskan betapa menyesal dan sakitnya hatiku?




*Cerpen pertama tahun ini, nyontek dari proposal daisakusen yang hahahha... menggemaskan!

Kamis, 03 Desember 2009

14.52.00

Besok Pernikahan Saya dan Saya Kurang Bahagia

"Besok ini hari pernikahan saya dan saya bahagia."

Okay, statement yang sangat wajar. Tapi bagaimana kalau dibalik menjadi...

"Besok ini hari pernikahan saya dan saya tidak bahagia."

Itu tidak wajar! Gila apa, orang mana yang wajar kalau dia ga bahagia dengan pernikahan yang dipilih serta direncanakannya sendiri. But wait... sedikit perubahan yak...

"Besok ini hari pernikahan saya dan saya kurang bahagia."

Hmm... sepertinya ini menjadi agak sedikit lebih wajar. Yah.. fifty fifty lah, karena kan satu moment ada plus minusnya. Dan minusnya dalam hal ini adalah, besok saya menikah dan entah kenapa sekarang saya agak sedih. Bukankah sedih itu tanda tidak bahagia?!

Saat ini saya sedang berada di rumah calon suami saya. Jalan Duren nomer dua belas. Rame banget disini, orang-orang pada bikin tenda, ada yang ngerias rumah,ada yang masak, ada yang siapin baju, ada yang nyuci piring, ada juga yang nyuci badannya sendiri. Dan ouh, itu si Aki lagi mandi setelah badannya berlumpur. Intinya semua sibuk.

Dan saya juga sibuk, sibuk bengong. Saya duduk di belakang rumah yang paling besar, di bawah pohon mangga yang buahnya banyak. Aneh ya kenapa pengantinnya malah sante-sante duduk sementara orang-orang sibuk. Ngg... ga aneh, soalnya tadi saya abis buang sampah, jadi mumpung sepi ya baiknya ngadem dulu bentar.

Saya inget sama mantan saya. Namanya Anton. Kami pernah bersumpah akan sehidup semati bersama, tetap dekat satu sama lain sampaiiii mati. Saya pacaran sama dia lama. Bih, bukan lama doang, tapi lamaaaaa banget. Sepuluh tahun, dari esde sampai kuliah. Lulus kuliah saya putus sama dia. Ga usah dibahas kenapa, soalnya saya malas membahas. Miris soalnya, harus dipaksa putus karena orang tua tua dia ga setuju sama saya yang berandalan dan.. eh, kok malah buka kartu, kan harusnya secret.

yah, miris kan. Nangis tujuh hari tujuh malam, ga makan sehari semalam lalu ngunci diri di kamar satu jam satu menit, sisanya kabur ke pantai.

Sedih banget. Ga ikhlas ngelepas satu sama lain. Sampai-sampai kita berdua janji, nikahnya harus barengan jadi kita ga akan saling ngundang satu sama lain. Jadi ga perlu melihat yang satu di pelaminan duluan, dan yang lainnya nyusul belakangan. Intinya nikah barengan, jadi ga ada ucapan selamat ataupun doa. Dan... ga harus saling ketemu saat nikah, titik!

Dan yah, jadi jika saya ingat kalau besok saya nikah, maka saya juga akan ingat besok Anton juga nikah. Dan, yah.. walau udah lewat lama, tapi rasa itu tetap ada. Rasa miris dan sakitnya maksudnya. Jadi.. yah, itu dia yang jadi awal mula pernyataan-pernyataan diatas.

"Besok ini hari pernikahan saya dan saya kurang bahagia."

Sambil menghela napas saya menyandarkan badan ke pohon mangga. Kepala terangkat ke atas, mata menatap langit biru. Menerawang kata orang, dan kalau begini jadi ingat lagunya Iwan Fals.

Ku menunggu seorang kekasih, yang tercantik yang datang di hari ini....

Hah... saya seperti linglung membayangkan dia di pelaminan dengan orang lain. Sedih kan, perih kan, sakit kan?! Rasanya masih tidak rela, tidak ikhlas, tidak ridho dia nikah sama orang lain. Yah, walaupun saya juga mau nikah. Cuman yah...

Hahh... gitu deh.

Capek sakit hati, akhirnya saya bangun dan melangkah ke kiri sedikit dari pohon mangga, sampai di batas pagar yang agak rendah untuk melihat rumah tetangga sebelah. Saya mau mengintip ke sana. Ketika saya berjinjit, nampak seorang pria sedang berdiri memasang janur pada satu tiang tenda biru. Tenda pernikahan.

Hati saya mencelos. Iya, dia Anton. Akan menikah besok dan malangnya, rumahnya berdampingan dengan rumah calon suami saya. Jadi, saya dan dia benar-benar akan tetap berdampingan sehidup semati, berdekatan, hanya saja berlainan rumah dan tentu saja ranjang. Ah...

"Besok ini hari pernikahan saya dan saya kurang bahagia."

*****

Denpasar, 3 Desember 2009
15.33

Tulisan gila, hasil otak diperas si Clara lagi.

Selasa, 01 Desember 2009

09.36.00

The Girl Next Door

Hari Kamis, tanggal 1 maret 2010, jam sepuluh malam lewat lima belas menit. Suhu di dalam ruangan menunjukan 37 derajat celcius namun berkurang satu derajat celcius ketika jendela dibuka. Kecepatan angin standar, butuh waktu dua jam untuk mengeringkan baju. Langit cerah, bulan bersinar terang dan rasi Orion mengambang di tengah-tengah.

Dan gadis sebelah kamarku menangis.

Dia baru datang lima belas menit lewat sepuluh detik yang lalu, dengan benturan hak sepatunya pada keramik lantai yang setara derik jangkrik di sawah. Sangat keras. Pintu kamarnya terbuka, sehingga suara tangisnya semakin jelas terdengar diantara heningnya malam. Syukur di kost hanya ada aku, hanya kamarku yang hidup lampunya dan dia tahu itu sehingga berani menangis seperti itu.

Apa dia mengharap aku menengoknya?

Tidak ada pilihan lain.

Lewat celah pintu aku lihat ia tertelungkup di ranjangnya. Tidak begitu jelas karena kamarnya gelap. Mungkin air matanya keburu tumpah jika disuruh menghidupkan lampu, namun lampu teras lumayan terang hingga aku tidak perlu meraba-raba untuk mencari saklar lampu.

Lampu menyala, kamar terang. "Nita, kamu kenapa?"

Nita tampaknya tidak terkejut kalau aku lancang masuk kamar dan duduk di samping ranjangnya. Buktinya dia tetap tertelungkup dan tidak berusaha menyembunyikan tangisnya. Badannya naik turun, dan aku menunggu hingga ia berbalik sendiri.

Matanya sembab dan rambutnya berantakan. Yah, sedikit aneh mengingat seingatku dia selalu rapi, feminim dan anggun. But, everyone has their own problem.

"Git..." panggilnya sembari disela isak tangis. "Oboy.. Oboy..."

Dia masih susah bicara, tapi nampaknya dia mau curhat tentang pacarnya, Oboy.

"Oboy selingkuh..." ia kembali terisak. "Temanku ngelihat dia jalan sama cewek kemarin..." ia menangis lagi.

Aku menarik napas dan menepuk bahunya. Apalagi yang bisa kita lakukan saat melihat orang lain patah hati? Yah, hanya itu.

"Aku ga tahu kenapa dia begitu. Padahal disela-sela kesibukanku aku masih sempat meluangkan waktu untuknya," lanjut Nita.

Iya, Nita seorang model. Kesehariannya dipenuhi dengan pemotretan, fashion show dan juga fitting baju. Tidak heran kalau ia sangat sibuk, tetapi tidak jarang pula aku lihat dia menemani Oboy pergi.

"Aku tidak tahu apa kekuranganku sampai dia selingkuh, aku tidak pernah menuntut macam-macam. Aku merasa sudah menempati posisiku sebagai pacarnya dengan baik, dan selama ini kita memang tidak pernah ada masalah. Tapi kenapa... kenapa.. kenapa dia..." Nita makin emosional, kedua tangannya meremas rambut sambil ia tetap tersedu.

Tanganku masih menepuk bahunya ketika ia mencapai titik emosi dan menghambur ke pelukanku. Ia menangis sejadinya, membuat bahuku terasa basah oleh air mata.

"Aku tidak kuat, Git. Aku pingin mati saja kalau begini!" ringisnya.

"Sabar, Nit. Jangan berpikir pendek begitu!" hiburku.

"Tapi Oboy, Git.. Oboy...!"

Aku diam, tidak menjawab. Percuma dikasih penjelasan sekarang. Orang yang patah hati hanya butuh sendiri dan meratap. Beberapa saat dia menangis dipelukanku, memaki, memelas, memilu. Aku membiarkannya, sampai ia berhenti sendiri.

Butuh waktu satu jam bagi Nita dan ketika saat itu datang ia sudah sedikit tenang.

"Thanks, Git," ucapnya sambil tersenyum kecil. "Selalu merepotkanmu."

Aku menggeleng. "Tidak masalah, selama kamu bisa lebih lega."

Nita mengangguk, dan saat seperti itu ia tambah cantik. "Tidurlah, besok kuliah kan kamu?!" katanya.

Aku mengangguk. "Ya sudah, kamu juga tidur ya!" jawabku sambil berdiri. Sesaat mataku menyapu sekeliling kamarnya. Tidak ada yang mencurigakan, namun ada sebuah bungkusan plastik putih di pojok. Seperti belanjaan, dan aku melihat sebuah pisau kecil di dalamya.

Aku mengambil pisau itu itu. "Tidak berani membiarkan yang seperti ini disini, akan aku amankan di sebelah."

Ia nyengir, antara geli dan malu. Iyah, sudah banyak barangnya yang aku sita. Terakhir kali pisau lipat yang hampir menggores pergelangannya saat Oboy tidak menelponnya seminggu. Yah, bagaimanapun juga akan repot kalau ada mayat di kost-kostanmu dan itu adalah the girl next your door.

Setelah yakin dia lebih baik, aku kembali ke kamar dan mengunci pintu. Tampak ponselku menyala, saat aku cek ada satu panggilan tidak terjawab. Tidak menunggu lama, panggilan selanjutnya sudah tersambung.

"Iya..."

"Hai, Sayang. Ngapain telponku tidak diangkat?"

Aku tersenyum. "Menyita pisau dapur, lama-lama aku bisa jualan pisau."

Dia tertawa di seberang, "Dan semuanya barang rampasan!"

"Masih bisa tertawa kamu?"

"Lalu apa kalau tidak tertawa?" jawabnya menjengkelkan. "Yah, kan memang itu fungsimu disana, Sayang. Jadi Ibu Peri yang menyelamatkan the girl next door dari maut. Jadi malaikat penjaga!"

Aku berbaring di ranjang, sebelah tanganku menimang pisau dapur mungil itu sementara sebelahnya lagi menjaga ponselku tetap nempel di telinga. "Aku lelah, Sayang," keluhku sambil menghela napas. "Kapan aku selesai dari tugas ini?"

Nadanya di seberang berubah serius. "Sabar, Sayang! Setelah semuanya beres, kerjaanku beres, dana kita cukup untuk sebuah rumah dan kehidupan layak di Swiss, semuanya akan selesai."

Swiss, pegunungan Alpen, hanya itu iming-imingnya yang membuatku sabar selama ini. Yah, entahlah. Tetapi hidup memang ada perjuangan, bukan?! Kata orang, No Pain No gain, dan itu berarti harus susah dulu sebelum senang. Lagipula, apa susahnya menjaga orang biar tidak bunuh diri?

"Baiklah, tetapi aku tidak mau jalan-jalan ke mall lagi. Temannya melihat kita ternyata, makanya dia nangis tadi."

Oboy hanya mendesah disana, kata iya nya terdengar sabar dan merdu, dan aku mencintainya.

"Nite, Gita ku sayang," desahnya. "Miss u!"

"Nite, Oboy. Miss you too!"

Hari Jumat tanggal 2 Maret 2010, jam 00.01. Cuaca tetap cerah, dan akan selalu cerah. Rasi Orion tetap di langit, dan mimpi segera datang.

*****

Denpasar, 1 Desember 2009
10:40

Judul dan ide pokok dari clara sebagai kelanjutan atas Kapan Kamu Besar, Nak?. Pembuka meniru gaya Farida Susanti dalam novelnya yang berjudul Dan Hujanpun Berhenti. Tidak diperuntukan untuk siapa-siapa.



Jumat, 13 November 2009

10.17.00

Kapan Kamu Besar, Nak?

Gosip terbaru!
Sekarang neraka lagi heboh, Michael Jackson lagi konser ditemani Mbah surip. Tiba-tiba konser kacau, semua penonton lari terbirit-birit dan bersembunyi. ketika wartawan datang, polisi mengatakan bahwa Noordin M Top datang sambil bawa bom.
Bom atom, bikin neraka gempa dan bergoyang. Tanah retak, jadinya panasnya sampe ke bumi, bikin bulan november jadi bulan panas.

Kika tertawa waktu membaca sms yang baru masuk di hapenya tersebut. Ibunya dan Kakanya, Lika, meliriknya dengan ekspresi yang berbeda. Ibu hanya tersenyum kecil sambil geleng-geleng, lalu meneruskan mengoleskan selai ke roti yang dipersiapkan untuk Ayah. Sementara Lika, yang duduk disebelahnya tersenyum sinis sambil mengunyah roti selai.

"Dasar anak-anak, baca sms aja sambil ketawa ngakak begitu!" ujar Lika.

Kika melirik sambil menjulurkan lidah. "Ye, Kakak sinis ah. Bilang aja Kakak ngiri karena tidak dikirimin sms sama Toni, yee..."

Toni adalah sepupu mereka. Menyandang predikat sebagai cowok paling ganteng di sekolah, dan walaupun mereka bersaudara sepupu, Lika dan Kika kompak ngefans sama Toni. Mereka berdua masih duduk di SD, Lika kelas Lima sementara Lika kelas empat.

"Ah, itu sih kamu saja yang mengada-ada. Buktinya kemarin Toni sms aku berkali-kali. Aku saja tidak sombong, itu kamu baru di sms sekali saja sudah girang," tukas Lika.

Kika tertawa. "Sms berkali-kali apanya? Aku lihat sendiri kok itu sms yang sama cuman masuknya berkali-kali. Ntuh karena sinyalnya jelek, kartu yang Kakak pake jelek!"

"Yee.. apanya yang jelek. Justru kartu Kakak itu bagus. Baiknya minta ampun, buktinya sms sekali masuknya lima kali. coba kalau kamu sms lima kali, kenanya berapa, tuh?"

Ibu menengahi mereka. "Eh, kalian itu kakak adik, bersaudara hanya berdua, tapi kerjaannya berantem mulu. Ga boleh tahu! Sesama saudara harus saling menyayangi, kalau kalian berantem mulu kayak anak kecil begitu, kapan kamu besar dan dewasa, Nak?"

"Lha, kita kan memang masih SD, Bu? Masak disuru cepat-cepat besar?" protes Lika.

Kika mengangguk, kini sepaham dengan kakaknya. "Betul itu, Bu! Jadi orang dewasa itu tidak menyenangkan, selalu bilang tidak boleh. Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Tidak boleh kotor, tidak bole ngabisin sabun, katanya tidak boleh kotor tapi kenapa ngabisin sabun ga dikasi, iya kan, Kak?!" ia meminta persetujuan Kakaknya.

Bukannya mengangguk, Lika malah mendelik. "Yee... memangnya kamu suka makan sabun?"

Kika cemberut lalu mengambil hapenya kembali. "Kakak ga seru, tadi sudah didukung, tapi giliranku malah diledekin. Kakak jahat!"

Ibu mesem-mesem saja, mau melihat bagaimana kedua anaknya menyelesaikan permasalahan.

"Memangnya siapa nyuruh kamu dukung aku? Kamunya saja yang tidak tetap pendirian! jadi orang itu harus punya pendirian, sekali bilang tidak, harus tetap tidak. Itulah namanya orang gede, orang dewasa. Iya kan, Bu?!"

Kali ini Kika tidak mempan diledek, ia menunjuk kakaknya dengan senyum jahil. "Yang bener orang dewasa punya pendirian? Yang bener? Kapan itu ada yang bilang kalau malam-malam pengen pipis harus ke kamar mandi, buktinya ada yang kamarnya bau pesing. Hayoo.. mana ada orang dewasa yang ngompol? hayoo... "

Lika mendelik, meletakan sisa rotinya di meja."Kamu ngapain ke kamarku? Mau nyuri ya?"

Masih tersenyum jahil, Kika menggeleng. "Enak aja, orang dewasa ga boleh nuduh sembarangan. Ada asas yang namanya... ngg... ng... "Lika berpikir, "... apa namanya, Bu?"

"Asas praduga tidak bersalah," jawab Ibu.

"Nah, itu dia. Berarti Kakak juga belum dewasa!" Sahut Kika senang.

Lika mendelik. "Terserah!"

"Ye, Kakak kalah.. Kakak kalah..."

Sebelum anak-anaknya bertengkar lebih lanjut, Ibu buru-buru menengahi. "Kalian itu, baru dikasih tahu kalau sesama saudara tidak boleh berantem. Harus akur dan saling menyayangi. Kalian hanya dua bersaudara, nanti kalau Ayah dan Ibu sudah tidak ada, kalian mau sama siapa di dunia ini?"

"SAMA SUAMI!"

Serempak keduanya menjawab, dan Ibu hanya bisa melengos. Sambil menghela napas ia berkata dalam hati, "Sudahlah, nanti kalau sudah besar mereka akan mengerti sendiri."

Dan akhirnya Lika serta Kika kembali bertengkar dan beradu argumen.
****

N.b : Cerpen tantangan dari Clara, berjudul "Kapan Kamu Besar, Nak?" dengan genre komedi. tapi aku ga yakin ini masuk kategori komedi, wkwkwk... but, I try to make the reader, at least smille. hehehe...

Untuk punya clara, bisa dibaca disini, tulung tulung diperiksa, nilai ujiannya berapa, wkwkwkw

Senin, 09 November 2009

16.27.00

Masih Ada Hari Esok Untuk Bunuh Diri

Entah apa yang dilakukan burung-burung gagak itu di atas sana. Mereka, sekawanan dengan jumlah entah berapa, satu persatu datang dan bertengger di atas pohon mahoni yang tumbuh di sebelah kiri tempatku berpijak. Mereka berkoak-koak, saling toleh satu per satu dengan gerakan lincah dan agresif. Kemudian salah satu diantara mereka berterbangan, membuat dahan pohon yang diitnggalkan terlontar karena beban yang berkurang, dan akhirnya gerakan spontan itu membuat gagak-gagak lainnya di dahan yang sama ikut terbang.

Tumbuhan semerbak disekitar sini, satu-satunya hanyalah bunga kembang bangkai yang tumbuh menjelang musim hujan. Dan sekarang bulan November, memasuk musim penghujan yang berubah fungsi menjadi musim pancaroba. Tetapi November tetap November, saat hujan menyerbu bumi dan membuatku bisa menyembunyikan air mata yang jatuh berlinangan.

Burung-burung gagak itu semakin agresif melihatku. Pandangan mereka awas, walau gerakan kepala mereka sangat lincah dan hampir-hampir tidak bisa diam, namun aku tahu mereka mengawasiku, menungguku untuk segera memandang mereka dengan tatapan kosong.

Tapi mereka bukan aku. Dari sudut pandang mereka, aku adalah sebuah berkah yang akan membuat mereka bertahan hidup. Tetapi manusia seperti aku menganggap mereka sebaliknya. adakah orang bermimpi burung gagak dan terbangun dengan riang gembira keesokan harinya?


Tidak ada, tidak ada yang gembira. Begitu juga aku. Aku tidak bermimpi tentang burung gagak semalam, aku juga tidak bermimpi tentang peti mati. Namun Oktober kemarin, aku bermimpi tentang sebuah pigura, dimana aku melihatmu menjalani hari-harimu disana. Aku melihatmu sakit, aku melihatmu tidur dan aku melihatmu bersamanya.
Tahukah kamu, bagaimana rasanya ketika aku mengintip ke dalam pigura itu, dimana aku berharap kamu melihatku disini tengah menatapmu penuh harap, namun jangankan melihat, tahu aku ada pun tidak.

Aku tahu itu hanyalah sebuah mimpi, seperti saat aku melihat burung-burung gagak ini sekarang. Namun aku lebih tahu, bahwa akibat mimpi itu senyata aku melihat burung-burung gagak itu sekarang. Dan jika kamu tidak tahu, bisa kamu bayangkan bagaimana kalau kamu sedang duduk di atas sebuah batang pohon yang sudah mati dengan segerombolan burung gagak hinggap di sekitarmu?

Aku tidak memintamu melihat sekarang, seperti aku tidak akan memintamu memindahkan bulan November ke awal tahun. Pigura itu hanya mimpi, seperti juga mimpiku beberapa hari yang lalu, dimana tergesa aku mendekat pada sebuah meja di bandara, tempat kamu duduk menungguku dengan ransel kempis.

Burung-burung gagak itu semakin lincah. Suaranya hingar bingar seperti pasar, seperti suporter sepakbola yang menyemangatiku untuk hari ini. Aura mereka semakin kental, merasuk ke telingaku, mengalir di cairan dekat rumah siput, menjalar ke sel-sel saraf menuju otak. Gerak refleks menyambarnya sebelum sampai dan membawanya cepat ke otot tangan.

Masih ada hari esok untuk bunuh diri, tapi aku tidak mau menunggu besok. Hari ini atau besok sama saja, mimpi itu sudah datang.

Burung-burung gagak itu berkoar-koar ketika nadiku putus dan darahku telah mengalir, mereka tidak perlu menunggu aku sekarat untuk segera terjun ke sekelilingku.

Hujan menderu dan Malaikat Neraka sudah menungguku dengan tidak sadar di salah satu kursinya di alam neraka lapis keseratus.

Rabu, 04 November 2009

10.33.00

Pelajaran Membunuh

Apakah kalian tahu membunuh itu menyenangkan?

Jika sampai detik ini kalian hanya menebas leher ayam atau menggorok kambing, mari aku ajarkan sesuatu yang baru. Membunuh mereka hanyalah sebuah akibat dari eksestensi kalian sebagai seorang manusia, sebagai pemilik perut karung yang sampai detik ini entah sudah berjuta ton daging yang lumer dalam lender-lendir berenzim.

Membunuh itu menyenangkan. Tidak percaya? Mungkin kalian tidak akan melihat sebuah seni disini, sebuah perasaan nikmat berlebih saat karya seni kalian terpampang di halaman depan koran dan masuk hot news selama beberapa pekan.

Menyenangkan.

Seperti saat melihat tubuh itu terbujur kaku di belakang gang tempat ia berciuman dengan orang lain, tepat di depan mataku.

Mungkin tidak baik memulai cerita tanpa adanya sebuah motif. Baiklah, aku pembunuh dan membunuh memang memerlukan motif. Sakit hati dan dendam, bukankan itu cukup untuk melakukannya? Polisi tidak akan peduli bagaimana klisenya dua motif itu, sudah rahasia umum bahwa pembunuh berdarah panas pasti mempunyai dendam.

Dia pacarku, setidaknya satu jam yang lalu. Jangan tanya bagaimana aku mencintainya setengah mati, aku juga tidak tahu setengah mati itu bagaimana, tetapi aku tahu bahwa aku mencintainya seperti aku mencintai diriku sendiri. Aku selalu ada disampingnya saat dia sakit, saat dia jatuh, walau kadang dia sama sekali tidak aku kenali dengan baik. Intinya, aku berusaha menjadi apa yang ia inginkan, termasuk merubah dandanku yang awalnya versi pragawati menjadi preman lemari adik laki-lakiku.
Aku tidak mempersalahkannya, selama dia senang.

Tetapi aku mempersalahkannya ketika kulihat ia berciuman di belakang gang rumahnya. Menjijikan. Gang itu penuh dengan air buangan, kotor dan berbau. Tetapi dia mencium orang itu disana, diantara kekotoran dunia dan dirinya sendiri. Dia menodai dirinya sendiri.

Salahkah aku sakit hati?

Jika kalian waras, maka seratus persen jawabannya adalah tidak. Tetapi sakit hatiku melebihi kewarasanku sendiri. Melebihi ketika aku kehilangan pacar pertama, pacar kedua dan seterusnya. Melebihi apapun.

Aku merasa diriku rendah, menjijikan dan hina. Apakah aku tidak seberarti itu di dunia ini? Hingga disana, diantara kotoran dia berciuman dengan lelaki lain.
Jika seandainya dia berciuman dengan wanita lain, mungkin sakit hatiku masih diambang wajar.

Tetapi, dua tahun ia membohongiku. Apakah dia membayangkan lelaki itu saat menciumku?

Apakah ini alasan dia memintaku menggerayangi lemari adik laki-lakiku dan memakai semua kaos longgarnya, sepatu kets dan semua tetek bengek kelelakian. Bukan karena dia ingin aku apa adanya, tetapi karena dia ingin aku menjadi laki-laki, persis seperti orang yang ia cium saat itu.

Ouh, aku terlalu bercerita banyak tentang motif. Cukup segitu untuk soal motif. Sekarang berbicara soal teknis.

Tahukah kalian kalau guillotine diciptakan untuk membunuh dengan cepat tanpa mengotori tangan? Revolusi Prancis mengeksekusi ribuan orang pada alat itu. Tidak repot, sekali hentak leher melayang.


Dan pada kasus ini, memakai pisau tajam setajam guillotine adalah pilihan baik. Jangan membayangkan hendak menyilet dagingnya sedikit demi sedikit! Bau daging bisa membuat perutmu lapar, dan kalian pembunuh murni, bukan kanibal. Jangan juga bayangkan menggorok leher perlahan, bau darah itu tidak menyenangkan dibandingkan kalian makan darah ayam. Dan kalian yang dianugrahi kemampuan membayangkan yang hebat, yakin anda tidak akan bisa tidur selama setahun setalh menyoyak daging dan tulang itu.

Pisau itu sebenarnya untuk memasak ayam. Ibu mengatakan bahwa memotong ayam baiknya memakai pisau tajam, setajam guillotine. Tetapi bukan ayam korbannya, melainkan leher.

Ketika ia belum menyelesaikan ciumannya, aku menepuk bahunya. Ia terkejut, gelagapan. Pasangannya melesat pergi tanpa sempat aku lihat wajahnya, nampaknya selain leher, dia juga sayang pada reputasinya.

“Ila, ka.. kamu.. kamu kenapa ada disini?”

Pertanyaan basi yang aku jawab dengan air mata!

Dia ketakutan ketika aku naikan pisau itu sejajar lehernya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergerak-gerak cepat, ia panik. Aku tidak sempat menghiraukan teriakannya, gerakan tangannya yang hendak merebut pisauku. Semuanya bagaikan slow motion sebuah film bisu yang tidak pernah aku sukai, dan alam membuatnya meriah dengan hujan.
Satu sabetan pisau itu berhasil menebas batang leher, seperti guillotine yang menebas leher Nicolas Jacques Pelletier untuk pertama kalinya. Dan setelahnya hening, tidak terasa apa-apa, tidak terdengar apa-apa, tidak terlihat apa-apa. Gelap dan sepi.

Nah, bisakah sekarang kalian merasakan betapa menyenangkannya membunuh?
Iya, sangat menyenangkan. membalaskan sakit hati, membalaskan dendam. Namun sedikit sakit. Setajam apapun guillotine, tetap ada jeda sebelum kalian mati. Saat itu kalian masih merasakan darah mengalir, tidak mati seketika. Dan karena itu, aku juga sedikit kesakitan sebelum ajalku tiba.

Aku terlalu mencintainya untuk menebas lehernya


N.B. sudah terlalu banyak happy ever after di buku sebelah, dan bagaimana kalau sesekali kita memberi sela dengan ending berbeda?
Teruntuk Mamak Fitri, cheers



Sabtu, 17 Oktober 2009

10.02.00

How Do We Take Care Each Other

Suatu hari di sebuah pantai yang sepi, seekor burung sedang bertengger di dahan sebuah pohon kelapa. Ia memandang ke bawah, ke pesisir berair jernih itu. Matanya awas pada gerakan-gerakan di antara ombak, mengharap ada ikan yang meliuk hendak terdampar ke sisi pantai dan bisa ia sambar sebagai makanan.

Di satu sudut pantai, ada sebuah gerakan lambat-lambat. Mata Burung secepat kilat beralih padanya. Seekor binatang, belum jelas apa jenisnya, perlahan bergerak ketepian melawan arus balik ombak. Burung ingin melihat lebih jelas, ia turun ke dahan sebuah pohon yang lebih rendah dan mengawasi disana.

Ternyata bukan seekor ikan, melainkan seekor penyu belimbing yang berwarna hitam. Binatang lambat itu mengepakan siripnya perlahan, berusaha mencapai tepian pantai. Namun arus balik ombak seringkali malah menghanyutkannya kembali ke dalam lautan, namun penyu itu tidak menyerah. Ia terus berusaha.

Akhirnya menjelang sore, penyu itu berhasil mencapai pasir pantai. Ia bergerak ke sudut yang sepi, rimbun oleh pepohonan. Burung mengikutinya dengan diam-diam, sambil mengintip apa yang dilakukan sang penyu.



Penyu itu menggali pasir yang basah. Sang burung memperhatikannya, bagaimana kemudian penyu itu melahirkan telur-telurnya ke dalam lubang. Sangat banyak, puluhan, hampir ratusan. Burung takjub, membayangkan bagaimana nanti kalau semua telur menetas. Betapa ramainya keturunannya, dan juga betapa repotnya memberi mereka makan.

"Hai, Penyu!" akhirnya burung menyapa. "Tidakkah kamu repot nanti mengurus anakmu yang sebegitu banyak?"

Penyu yang sudah selesai bertelur mendongak. "Repot? Tentu saja tidak. Aku tidak akan repot apa-apa karena tugasku selesai sampai disini."

Burung bingung. "Maksudmu?"

"Iya, tugasku selesai setelah bertelur. Setelah telur itu di luar, mereka menjaga dirinya sendiri," jawab penyu sambil menimbun telur-telurnya dengan pasir. "Mereka harus mandiri!"

Burung menggeleng. "Aku kasihan dengan anak-anakmu kelak. Saat mereka menetas, tidak ada yang akan menjaga mereka. Tidak ada yang memberi makan, mengajari mereka berenang dan juga menjaga mereka dari bahaya. Aku selalu menjaga anak-anakku sampai mereka cukup untuk terbang sendiri dan menjaga diri mereka. Tidak seperti kamu yang langsung meninggalkan mereka, tidak ada saat mereka membutuhkanmu!"

Penyu hanya tersenyum kecil. "Itulah hidup, kita tidak selalu bisa bersama anak-anak kita. Semua hanya pada bagaimana kita menjaga satu sama lain. Kamu mungkin menjaga anak-anakmu seperti menjaga dirimu sendiri, itu karena kamu hanya melahirkan sedikit telur sekali waktu. Jadi keturunanmu hanya sedikit. Aku banyak melahirkan sekali waktu, tetapi aku tidak menjaga mereka. Jumlah anak-anakku yang hidup nanti akan sebanding dengan anak-anakmu, jadi keturunanku tetap ada. Begitulah caraku menjaga anak-anakku, menjaga keturunanku!"

Burung diam mendengar penjelasan itu. Ia berpikir, mengingat jumlah telur yang ia lahirkan sekali waktu. Memang sedikit, tetapi semuanya akan tumbuh dewasa kalau ia menjaganya. Beda dengan penyu, telurnya memang banyak, tetapi burung itu tahu bahwa dari jumlah ratusan itu yang selamat hanya sekitar belasan. Seringkali ia melihat telur-telur itu dimakan biawak, atau diburu manusia. Itu karena induknya tidak menjaga mereka.

Burung tersenyum, mengerti. Ia tidak iri pada ratusan telur penyu. Ia kini tahu, masalah bukan pada seberapa banyak ia melahirkan telur, tetapi pada bagaimana cara ia menjaga satu sama lain, menjaga anak-anaknya. Ada saat anak-anaknya lapar dan dingin.

Semua punya bagiannya masing-masing, kelebihan dan kekurangan.

Burung itu mengepakan sayapnya, kembali pada anak-anaknya yang menunggu di sarangnya.

The end

Kamis, 15 Oktober 2009

10.46.00

Tentang Dua Ekor Anak Burung

"Terbangnya jangan terlalu tinggi ya, Nak. Tar ketinggian jatuhnya sakit banget!" Kata seekor burung kepada anaknya yang bertengger di dahan.

Burung kecil itu baru akan belajar terbang. Ia menyeringai ngeri mendengar suara Ibunya, sembari setengah matanya melirik ke bawah dengan takut.

"Ibu, aku tidak jadi saja ya belajarnya. Aku takut jatuh nanti," sahut anak burung kecil itu sambil melangkah mundur ke arah sarangnya dengan gugup.

Ibunya menyentuh bahunya dengan sebelah sayap, "Lalu kapan kamu mau belajar?" tanyanya pelan.

"Nanti kalau sudah sedikit besar saja, Bu. Jadi sayapku sudah kuat dan tidak akan capek kalau belajar terbang!"

Ibunya mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kamu diam di rumah saja dulu, Ibu akan cari makan. Nanti kalau sayapmu sudah cukup besar, baru kamu belajar terbang!"





Di dahan berbeda di tengah hutan, ibu dan anak burung lain juga sedang melakukan hal yang sama. Anak burung yang itu sedang berdiri di dahan depan sarang mereka, dadanya tegap, pandangannya lantang menantang bumi.

"Anakku, terbanglah yang tinggi! Jangkaulah angkasa raya dan tunjukan pada mereka yang dibawah ini bahwa kamu adalah anak ibu yang perkasa!" kata Ibunya mantaf.

Anak burung itu mengangguk. "Baik Ibu! Tapi kalau aku capek dan jatuh bagaimana?"

Ibunya tersenyum. "Tenanglah, Nak! Banyak pohon yang bisa kamu hinggapi dengan sisa tenagamu. Lagipula kamu jangan lupa, jatuh itu tanda belajar sudah belajar, dan ada Ibu yang akan menangkapmu kalau kamu jatuh!"

Anak burung itupun melangkah mantap dan mengepakan sayapnya.

******

Setahun kemudian. Seekor anak burung meloncat-loncat ketakutan di atas sarangnya, setengah kakinya sudah menyentuh dahan tempat sarangnya melekat namun sebelahnya lagi menolak untuk beranjak. Badannya kurus, bulu-bulunya pucat tidak pernah tersentuh matahari. Ia kelaparan, Ibunya belum pulang sejak seminggu yang lalu untuk membawakan makanan. Suara angin mengatakan bahwa Ibunya tertembak di tepi hutan oleh pemburu dan kini terhidang di piring para backpaper keesokan harinya.

Sementara di sudut angkasa yang berbeda, seekor anak burung lain melesat di dengan cepat. Sayapnya yang lebar terkepak sekali ketika kakinya yang kekar menyambar seekor tikus tanah yang lari menuju lubangnya. Tetapi tikus itu terlambat, kakinya sudah setengah meter di atas tanah ketika melayang di atas lubangnya, dan ia berakhir di perut anak burung itu.

The end
*****

Senin, 05 Oktober 2009

10.09.00

Pembersih lantai Di Atas Meja

Pembersih lantai di atas meja itu masih tertutup rapat, tetapi aku tahu kalau segelnya sudah dilepas. Masih ingat bagaimana waktu kami membelinya dua hari yang lalu, di supermarket langganan kami.

"Yang ini ampuh, bener!" kata Sani waktu kami berada di supermarket. Sebelah tangannya menenteng keranjang merah yang sudah terisi setengahnya, sebelah tangannya memegang botol pembersih lantai itu sambil mengacungkannya ke arahku. "Baunya aku suka, cemara pol, seger."

Waktu itu aku menggeleng. "Tidak, aku tidak suka bau karbol!" tolakku sambil mengambil pembersih lantai merk lain, berwarna ungu dengan botol gambar bunga-bunga. "Aku lebih suka bau bunga, lebih harum!"

Sani menggeleng. "Yang itu hanya baunya saja yang bagus. Tapi kandungannya ga bagus, ga apdol pake bunuh kuman. Yang ini lebih hebat, sekali semprot kuman langsung mati!"

Aku tetap menggeleng. "Aku tidak suka bau karbol!" aku ngotot lalu memasukan botol yang aku ambil tadi ke keranjang belanjaan.


*bukan promosi merk*



"Tapi yang belanja aku," katanya sambil ikut memasukan botol pilihannya, lalu mengambil botol pilihanku dan mengembalikannya ke etalase. "Jadi pilihanku yang dipakai," lanjutnya setengah terkekeh dan mengejek.

Aku membalas ejekannya dengan menjulurkan lidah. Ah, memang dia selalu tidak mau kalah. Kamar kami berdua yang menempati, kami berdua yang membayar, tetapi pembersih lantai, pengharum ruangan, pembersih toilet, semua dia yang memilih. Dan ah.. aku malas protes.

Setelah hati aku melirik botol pembersih itu saat menuju kasir, ada gejolak semangat yang membara di dadaku. Entah apa, wakktu itu aku bingung. Tetapi sekarang aku baru sadar bahwa gejolak itu berhubungan dengan Sani.

"Yang ini ampuh, bener!"

Iya, masih ingat aku kata Sani waktu itu. Iya, memang ampuh, bukan hanya membunuh kuman, tetapi membunuhnya dalam sekali teguk. Sekali aku cangkoki dia dengan botol pilihannya, setengah jam mulutnya berbusa dan sedetik kemudian dia mati. Aku puas, satu botol pembersih wangi karbol untuk satu tahun penderitaanku menjadi korban yang tertekan. Oleh apa? tidak akan aku ceritakan, sampai titik darah penghabisan.

"Ayo bawa dia!" suara berat seorang polisi yang sedang menarik resleting pembungkus mayat sani, dan polisi yang sedari tadi mengikat tanganku dengan borgol mendorong punggungku.

"Ayo jalan!" bentaknya kasar.

Masih ingat aku melirik pembersih lantai berwarna hijau, yang masih tegak berdiri di atas meja. Menyesal? tidak! sampai jumpa di neraka, Sany!

Rabu, 09 September 2009

08.33.00

Fragmen Sok Tahu

Suatu saat angin berdesu di sekeliling dedaunan pagi yang semarak dengan embun. Dia berhembus dengan gagahnya, sambil menebar hawa dingin dan nyanyian sendu

Yang kelihatan itu selalu yg terbaik yg mampu dia ciptakan
Yang sesungguhnya tetap di dalam hati kecilnya
Dan cerminan hati kecilnya itulah sikapnya


Sebatang pohon menyela, "Tetapi dia bilang aku segalanya buat dia!"

Angin berhenti sejenak, seandainya dia berwajah, maka bentuknya adalah dingin yang menyipit tajam. Gadis di tepi danau itu tetap bertahan disana, di rumahnya yang hangat dan ramai. Apakah dia masih waras dengan mengatakan bahwa kamu adalah segalanya? Apapun alasannya!

Pohon itu meluruhkan daunnya, tersengal. "Apa yang harus aku lakukan?"

Angin berdesau keras, pertanda bahwa bagian yang seharusnya tidak dijabarkan terpaksa dijejalkan dalam otak.

Cuma dua pilihan.. Tetap menikmati fragmen ini dengan pahit perihnya sampai batas waktu yang tidak ditentukan dengan resiko terperosok semakin dalem, atau nekad menyudahi fragmen ini dengan resiko termehek-mehek nahan perasaan untuk berhenti terperosok ke dongeng yang lebih dahsyat


"Tidak kah ada pilihan lain?" tanya pohon.

Angin nampaknya tersenyum, apakah sudah sampai final? Ada, tidak memilih sama sekali alias mati!

Pohon tertunduk, bukan haknya untuk mengambil keputusan untuk itu.

Sampai kapan kamu mau jadi yang terabaikan, sampai kamu yang dibuang?

"Mungkin, banyak tempat pembuangan sampah sekitar sini, mungkin aku bisa jadi salah satu koleksi para pemulung yang menyukai barang-barang sisa."

Berhentilah merana, luruskan pucukmu ke atas, bukan hukumnya untuk membelok ke tepi danau. Sekalipun gadis itu ada disana.

"Aku tidak tahu apakah aku mampu," pohon itu mengeluh. "Dahan-dahanku melawan keinginanku sekarang, walau aku paksa tegak dia tetap membelok."

Tetaplah lurus! Bukan wajibmu tumbuh ke arah danau, sekali lagi tumbuhmu lurus tegak! angin berteriak.

"Tapi, kalau seandainya gadis itu memanjat hingga berada di langit yang aku tuju?"

Begitu lama angin menjawab, hingga akhirnya.....
Sikap adalah cerminan hati kecilnya, berarti dia memang benar menginginkanmu. Tapi berhentilah bermimpi, karena dia tidak akan mungkin melakukannya. Langit dan bumi begitu jauh, resikonya jatuh begitu besar dan dia tidak akan berani!

Pohon itu diam, tidak bicara lagi. Kembali hanya nyanyian angin yang berdesau disela-sela udara yang senyap.

Yang kelihatan itu selalu yg terbaik yg mampu dia ciptakan
Yang sesungguhnya tetap di dalam hati kecilnya
Dan cerminan hati kecilnya itulah sikapnya


Fragmen Sok Tahu Itu pun berhenti

Rabu, 02 September 2009

08.31.00

Kapan Dia datang, Bu?

Cinta mati, harus dijaga sampai mati
Jangan sampai ke lain hati
nanti jadinya patah hati....


Alunan lagu itu masih terdengar samar-samar sebelum akhirnya menghilang dan digantikan digantikan I Drive My Self Crazy. Lagi-lagi lagu cinta, lagi-lagi lagu cinta. Tapi jaman sekarang kalau bukan cinta, jarang ada sesuatu yang dijual lagi.

Tapi kata orang, cinta itu membuat mati. Terutama kata Ibu dulu. Saya masih ingat bagaimana beliau mewanti-wanti. Saat saya mengikat tali sepatu di ruang tengah, Ibu mondar-mandir sambil membawa bakul nasi ke meja makan.

"Jangan kamu jatuh cinta cepat-cepat, masih SMP, jangan pacaran dulu. Kalau kamu umur segini sudah jatuh cinta, nanti kamu bakal sakit hati. Karena kalau putus kamu tidak akan bisa kuat, belum dewasa untuk menghadapinya!"

Begitu kata Ibu, waktu itu saya hanya manggut-manggut saja. Walau masih empat belas saya bukan ornag bodoh, saya bisa berpikir kalau perkataan Ibu ada benarnya. Saya pun setuju saja sama Ibu, tidak akan jatuh cinta dulu sebelum dewasa.

Namun Benar pula kata orang, jatuh cinta itu tidak mengenal logika. Saat dinasehati Ibu pada suatu pagi ketika mengikat tali sepatu itu, saya bisa berpikir rasional. Tapi saat bertemu dengannya, saya tidak bisa rasional, sama sekali tidak bisa. Logika kabur entah kemana, akal sehat menjadi bumerang yang dilenyapkan ke ujung dunia, yang ada hanyalah perasaan berbunga-bunga, perasaan bahagia yang tidak jelas datang darimana, dan perasaan terbuai yang membuat saya mabuk kepayang.

Cerita hanyalah dia. Seorang mahasiswa yang sedang magang di kantor desa. Dia punya senyum manis yang tidak bisa dielakan oleh satu semut pun. Semut saja tertarik, apalagi gadis ingusan seperti saya. Apalagi saat dia seringkali menyempatkan diri mengintip lewat pintu kantor desa untuk melihat saya pulang sekolah. Umur tidak masalah, nasehat Ibu terlupakan dan saya jatuh cinta padanya.

Bukan cinta monyet seperti seharusnya terjadi pada anak umur empat belas, namun dia membuat saya berubah arah hidup. Harus dia masa depan saya, harus dia, harus dia. Tidak boleh kalau tidak dia. Saya jadi terbosesi dengan dia, dan akhirnya percaya bahwa dia juga begitu.

Tanpa setahu Ibu saya pacaran dengan dia. Indah sekali waktu itu. Kami berdua bertemu sembunyi-sembunyi di suatu tempat, hanya kami berdua sementara yang ketiga hanyalah angin yang mendesu.

Dia memperlakukan saya seolah saya bukan berumur empat belas. Dia membuat saya merasa dihargai, merasa dicintai sedemikian rupa, merasa bahwa tidak ada wanita lain di dunia ini yang lebih pantas untuk dia. Yah, bukankah seorang yang sedang jatuh cinta memang selalu begitu.

Hingga akhirnya waktu dia harus pergi.
"Aku akan datang, Win. Tenanglah, aku akan datang menjemputmu kalau umurmu sudah lebih besar. Aku mau kerja dulu, bikin tabungan buat nanti melamar kamu. Kamu belajar yang rajin, jadi orang pintar yang bisa bantu aku nambahin tabunganku, ya!"

Sedih, hampa dan kosong. Dia belum pergi saja sudah begitu rasanya, apalagi kalau dia sudah beneran pergi. Saya menangis sampai pagi, sampai Ibu yang mengikatkan tali sepatu saya dan meminta saya ke sekolah. Tapi saya tidak mau, saya tidak mau kemana-mana, karena itu akan mengingatkan saya pada dia. Kemana saya pergi ada dia, kemana saya menoleh seakan melihat senyumnya, kemana saya bernapas, ada aroma tubuhnya yang dewasa. Intinya, desa ini adalah dia dan saya tidak punya pilihan lain selain menerimanya.

Sehari sebelum dia pergi, dia bilang akan datang ke rumah dan menjelaskan semua pada Bapak dan Ibu. Apakah saya dilamar? Anak SMP empat belas tahun dilamar?

"Tidak, aku belum melamarmu, tapi aku akan bilang kalau aku menyayangimu dan akan menunggumu. Aku akan berpesan pada Bapak Ibumu agar menjaga dan tidak membiarkanmu jatuh cinta pada orang lain, kamu setuju?"

Saya mengangguk dengan semangat. Saya menyukai sikapnya yang bertanggungjawab. Saya menyukai cara dia kemudian datang pada Bapak dan Ibu, dengan santunnya menjelaskan bahwa dia menginginkan saya kelak. Awalnya Ibu dan Bapak kaget, tapi dia dengan sopan mengatakan bahwa dia tidak melakukan apa-apa pada saya, hanya menitipkan cinta yang akan ia minta di suatu hari nanti, ketika saya cukup besar dan bisa menjadi mempelainya.

Jika ditanya kapan waktu terbahagia saya, saya akan langsung menjawab, ketika Bapak dan Ibu mengangguk sambil tersenyum dan dia tersenyum senang sambil melirik ke arah saya yang mengintip lewat celah pintu kamar. Dunia sedang berbunga dan sari-sarinya seutuhnya masuk ke perasaan saya. Bahagia....

Huss...
Suara angin sedikit berdesah di telinga saya saat saya mendengar lagu di belakang berganti. Kali ini lagu sedih, ritme lambat dan mendayu-dayu. Angin juga membuat saya menggigil, apalagi dengan pakaian ini. Baju kemben sebatas dada, membuat lengan dan leher saya yang telanjang diserang angin dingin.

Apa perlu saya katakan lagi kalau saya akan menikah?
Iya, saya akan menikah. Dia sebentar lagi akan datang dengan orang tuanya, menjemput saya dengan arak-arakan meriah. Semua orang desa akan melihat saya bahagia, semua tempat yang menyembunyikan kenangan saya akan semarak dengan warna merah yang bahagia. Semua teman saya yang menasehati agar saya tidak pacaran dengan orang yang jauh lebih tua, akan iri melihat betapa bahagianya saya. Dan terakhir, Ayah serta Ibu, akan tenang karena saya dapat suami yang saya cintai.

"Ibu... apa dia sudah datang?" teriak saya dari kamar.

Tak lama, Ibu tergopoh datang. Beliau mendudukan saya kembali di depan cermin, memperlihatkan lipstik saya yang belepotan, memakaikan kebaya tebal di bahu saya.

"Dia sudah datang, Bu?" tanya saya terheran-heran.

Ibu hanya tersenyum sambil merapatkan kebaya itu di bahu saya dan menghapus lisptik saya yang belepotan.

"Ibu, dia sudah datang belum?" tanya saya sekali lagi sambil berusaha melepaskan kebaya jelek itu.

"Tenang, nduk! Nanti kamu masuk angin!" sergah Ibu.

"Tapi kalau dia nanti datang, masak dia melihat saya pakai kebaya jelek begini?" protes saya, tapi Ibu tidak berkata apa-apa. "Dia sudah datang, Bu?"

"Belum, Nduk." jawab Ibu pelan sekali.

"Lho? kok belum, lalu kapan dia datang?"

"Besok."

"Besok lagi?"

"Iya, besok!"

"Bukannya kemarin Ibu bilang datangnya besok?"

"Iya, tapi bukan besok sekarang ini, Nduk!"

"Lalu besok kapan, Bu?"

Ibu diam sesaat, air matanya yang berlinangan. "Nduk, inget. Dia sudah hampir datang lima tahun lalu, tapi dia tidak datang kesini, dia datang ke surga, Nduk!"

Saya diam. Seperti menonton film, saya bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang bermandikan darah, yang ditemukan orang-orang terlindas truk di dekat rumah saya. dia dibopong ke teras, Ibu berteriak-teriak memanggil Bapak untuk membawanya ke mantri. Bapak melempar sabitnya dan berlari ke arah teras. orang-orang berseliweran dengan panik, kemudian Ibu datang ke saya yang termanggu di pintu melihat apa yang terjadi, dan setelah itu gelap.

"Ibu, dia sudah datang?" tanya saya lagi setelah adegan film itu menghilang dari benak saya.

"belum, Nduk," jawab Ibu sambil membimbing saya ke tempat tidur dan membaringkan saya disana.

"Kapan dia datang?" tanya saya sambil memeluk badan yang sudah memakai pakaian pengantin ini, sedari lima tahun lalu.

"Besok, nduk!"

"Besok benar, Bu?"

Ibu tersenyum sayu, sembari menarik selimut ke atas badan saya. "Besok dia akan datang, nduk!"

Dan saya percaya, besok dia akan datang.
****

Denpasar, 2 September 09
09.48 AM


Senin, 31 Agustus 2009

08.31.00

Selamat Ulang Tahun, Ren

Air danau masih saja sama. Bening, jernih dan segar. Bagian dekat pinggir, riak-riak kecil terbentuk setelah sekumpulan serangga kecil takut-takut menghujan ke permukaannya, dan akhirnya terbang lagi sebelum kembali mencoba. Permukaan air danau kini bergelombang kecil, seperti gerakan lelehan minyak goreng yang merayap pelan. Sayup angin yang berhembus pelan di sela-sela pepohonan, membawa sedikit rayapan minyak itu ketepi danau, meleleh kaki saya sampai sebatas mata kaki.

Saya membiarkannya.

Dingin yang terasa, membawa kembali perasaan yang sama terhadap danau ini. Ketika saya membuka mata, nyatanya memang semuanya masih sama. Permukaan danau, dua bongkah batunya, gemerisik angin, rumput, bahkan jejak kaki sewaktu terperosok di tengah hujan dekat batu sana, semua masih sama.

Tapi satu yang berubah. Hanya satu. Waktu. Dan itu merubah semuanya.

Hari ini saya kembali ke tepian danau Kenangan, teringat bahwa tanggal ini tanggal istimewa bagi seseorang. Jejak kakinya yang masih ada di belakang, yang terpeta di atas hamparan rumput dan terlihat samar, mengembalikan ingatan akan hari hujan itu. Lima tahun lalu, di hari yang sama, tanggal yang sama dan bulan yang sama seperti hari ini, jejak itu terbuat.

Saya merenung.

****

Hari itu mendung, tapi tidak menghalangi. Pulang sekolah, seperti janji kemarin, saya langsung menghilang dari peredaran kawan dan menyelinap ke tepi danau. Nenek sudah pasti akan marah jika tahu saya kesini, terlebih jika terlihat bersamanya dan karena itu saya sembunyi-sembunyi.

Dengan kotak kecil di tangan dan sebuah bungkusan lain tersembunyi di tas, sangat susah untuk bergerak cepat. Namun dengan menyelinap diantara pohon, bersembunyi di balik batu saat ada gerobak pengangkut sayur lewat, atau pura-pura mencari batu ketika seseorang bertanya, akhirnya tepi danau tercapai juga. Disini, saya menunggu.

Ia datang tidak lama kemudian, masih seragam yang sama dengan saya, senyum sama namun keringat menetes. Saya yakin ia mengalami perjuangan yang sama susah, berhubung Kakeknya tidak akan menghendakinya menemui saya di tepi danau Kenangan, danau tempat ribuan kenangan jaman lalu tersimpan.

“Maaf, aku telat lima menit,” ucapnya sambil terengah.

Saya tersenyum, duduk di bongkah batu sebelah kanan. Ia mengikuti di bongkah sebelah kiri, sambil melepas tas selempang dan meletakannya di rumput. Gema alam kemudian berseru, menyemangati kami dalam melakukan pemberontakan pada dua orang sesepuh konvensional dan keras kepala, yang menganggap satu sama lain tidak pantas menjadi keluarga.

“Tiga Desember, tepat tiga bulan sebelum aku, apa kamu punya harapan tertentu?” tanya saya sambil mendudukan kotak kecil di batu dan membuka bungkusnya. Kami sama-sama tersenyum melihat kue tart kecil tanpa tulisan, dengan serpihan cokelat di atasnya.

“Belum. Karena aku takut, harapan kemarin tidak terwujud!” jawabnya konyol. Ia memperhatikan tangan saya yang cekatan, mengambil lilin kecil di tas dan meletakannya di atas kue.

“Bagaimana caramu menyembunyikan itu dari kawan-lawan?” tanyanya.

Saya tersenyum. Sambil merobek sisi kotak yang tegak, meratakannya hingga keseluruhan sisi kue terlihat jelas.

“Aku menyembunyikannya di dekat gudang," jawab saya.

"Ada korek?" tanyanya saat saya menancapkan sebatang lilin merah di atas kue.

Saya mengangguk lagi sambil mengeluarkan korek dari tas. Saya sudah memastikan benda itu di tas, dia tidak merokok, jadi akan susah mencari korek di tempat begini.
Lilin sudah tersulut, tinggal menunggu untuk ditiup.

Kami berpandangan.

“Nah, sekarang tiup lilinnya!”

Ia menggeleng. “Belum nyanyi.”

“Kekanak-kanakan sekali!”

Ia menggeleng. “Tidakah kamu mau mengabulkan permintaanku ini? Sebelum aku bertambah tua dan bisa memerintahmu karena umurku lebih besar setahun.” Ia selalu terlihat lucu, dengan senyum miring dan setengah alis terangkat.

Maka jadilah disana saya bernyanyi, bisa dibilang berbisik karena volumenya sangat kecil.

Happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, Happy birthday… to you!”
Ia bertepuk tangan, tersenyum gembira.

Make a wish dulu!” saya mengingatkan.
Ia mengangguk. Namun bukannya memejamkan mata, ia malah memegang tangan saya dan meletakannya di dada.

“Doaku masih tetap sama seperti dulu. Aku ingin bersamamu selalu, berbahagia di desa kecil ini, dengan anak-anak kita yang nanti akan lahir, menjadi petani sayur. Nenekmu dan Kakekku berdamai setelah orang tua kita meninggal karena keteledoran Ayahku saat mengemudikan mobil, dan… cukup, itu saja!”

Saya terharu, serasa tidak mengingat konflik antara keluarga kami. Seperti kisah Romeo dan Juliet yang kami baca di perpustakaan, tetap bisa bersatu walau kedua keluarga tidak mengijinkan, kami ingin seperti mereka sedari hidup sampai mati.
Sayup angin dan kicauan burung serasa menjawab doanya, membuat kami mengingat lelehan lilin di bawah tangan kami.

“Cepat tiup lilinnya, sebelum doanya kadaluwarsa!”

Giliran dia yang terkikik.

Saya mengikuti dia yang bersiap meniup lilin dengan senandung wajib, tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang.. juga…

Huss…

Nyatanya lilin mati sebelum ia sempat menghembuskan napas, angin terlebih dahulu merubah nyala api menjadi gas tak terlihat, dan asapnya menyembur ke wajahnya, membuatnya terbatuk.

Kami mengikik, tertawa.

Lalu hujan turun, tanpa isyarat gelegar atau petir. Tiba-tiba saja turun, seperti balita umur satu tahun yang kencing tanpa bisa berkata apa-apa. Dan kue kami basah, benyek dan hancur.

“Ayo pergi!” ujarnya sambil menarik tangan saya.

“Tapi kuenya…”

“Sudahlah, yang penting kita sudah merayakannya,” cegahnya, sambil meraih tas dan tangan saya, lalu menarik saya turun dari bongkahan batu menuju rumput.

Ia meloncat terlebih dahulu, lalu saya. Kami berlari di bawah hujan, tanpa sadar ia menginjak bagian tanah yang amblas dan benyek. Kaki kanannya masuk lubang sebatas lutut, sambil memekik kesakitan.

Saya panik, kaget melihatnya meringis.

“Ada apa?”

Ia menggeleng. “Bantu aku menarik kakiku!”

Saya membantunya, agak susah karena sepatunya tertarik lumpur. Ia menggoyangkan kakinya, ke kanan dan ke kiri, berharap bisa mengacaukan gaya tarik lumpur, lalu tarikan saya di pangkal pahanya, dan usahanya dia, akhirnya kakinya berhasil tercabut di bawah siraman hujan.

Kami tertawa, karena sepatunya tertinggal. Ia menjulurkan tangan ke dalam lubang, berusaha menjangkau sepatunya. Sesaat wajahnya menegang, membuat saya panik. Ia memucat, bergerak-gerak seperti sedang menahan sesuatu, saya takut, tapi kemudian badanya tegak dan sesuatu tertarik dari lubang. Sepatunya, dan sesuatu panjang seperti tali yang ikut naik bersama sepatu.

Woaa…

Ia melempar sepatunya, sesuatu seperti tali itu, yang ternyata hidup langsung menjauh dari sepatu, melata. Seekor ular kecil.

“Kamu tidak apa-apa?”

Ia menggeleng sambil memungut sepatu. “Hanya kaget. Ayo pergi!” ajaknya sambil melingkarkan tangan di bahu saya, tertawa geli karena acara ulang tahun yang terganggu.

Saya tertawa, bahagia.

*****

Saya bangun lalu menjauh dari air. Kaki saya menginjak rumput hijau yang segar di musim penghujan ini. Setelah mengambil sebuah kotak kecil yang tadi saya tinggalkan, saya menyusuri tepian danau itu sambil tetap mengenang memori-memori lama yang indah itu. Hingga akhirnya saya tiba di lubang tempat kakinya terperosok itu. Rasa nyeri serasa menghujam di jantung, namun entah mengapa saya malah berjongkok disana dan menyibak rumput yang menutupi lubang itu. Ternyata lubang itu masih sama dalamnya dengan dulu.

Saya ingat dia lagi....

Hampir sepuluh menit disana, saya berdiri sambil menatap kotak yang saya bawa. Dia pasti senang saya datang, membawa kue tart yang dulu sempat benyek sewaktu ulang tahunnya.

Saya berjalan melewati lubang itu, sesaat mengarah ke dua bongkah batu besar tempat kue kami hancur dulu. Tapi langkah saya membelok, menelusuri sisian danau sampai ke area yang dipagari batu dan tempat kenangan banyak orang terpendam.

Saya melewatinya, mencari tempat terlapang di pinggir sebuah gundukan yang ditumbuhi rumput banyak, dan duduk. Ia sudah berada disana, saya yakin. Kue sudah saya letakan di atas rumput, kardus dibuka hingga permukaannya yang kini bertuliskan cairan manis berwarna merah mengkilat tertimpa matahari. Lengkap sudah, dengan lilin dan korek di tangan. Semuanya siap, hanya tinggal menyalakan lilin.

Denting sesuatu di atas permukaan danau membuat saya menoleh. Titik air berjatuhan dari langit, seperti hari itu. Hujan gerimis kecil, seakan meramaikan suasana.
Saya menyalakan lilin, memandangi tulisan di atas kue.

Selamat ulang tahun ke 23
Ren


Saya tersenyum. Mulai menyanyi sementara langit makin menangis.

Happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, Happy birthday… to you

Happy birthday, Ren. Sekarang ayo, tiup lilin!”

Saya menoleh ke arah kanan, Ren tersenyum lewat batu nisannya. Bersiap meniup lilin. Tapi saya yang menggantikannya berharap, berharap gigitan ular itu tidak begitu menyakitkannya di surga sana, seperti bisa yang membuat matanya tertutup selamanya.

Huss…

Kali ini saya mendahului angin meniup lilin. Nyala api padam, berubah menjadi asap. Tapi Ren tidak pernah padam di hati saya.

“Selamat ulang tahun, Ren!”
****

Tamat
3 Desember 2008

N.b Hepy besday from someone out there, who had created me ^ ^




Senin, 24 Agustus 2009

08.58.00

When Ryan Owed In Aunt Ida's Shop

Ryan entered the house’s gate. He took a snack and eaten it fastly while his eyes looked worry into house. He didn’t want mother know if he had a snack, because his mother would be angry.

But poor Ryan, mother was drying clothes in yard. She looked Ryan eat something and she asked.

“Ryan, where do you get the snack?” mother asked.
“I buy it in Aunt Ida’s Shop, Mom!”
“Buy? You don’t have a money, Child!”
“Yeah…Dad will pay it, Mom!”
“You owe in Aunt Ida’s Shop?”

Ryan nodded his head. His mother would be angry, but she canceled it. She talked it with her husband when Ryan had slept.

“Dad, do you know if Ryan often owe in Aunt Ida’s shop?” she asked. She surprised when his husband nodded. “You know if Ryan owe, but you never tell me, why?”

Ryan’s father just smiled. “Yeah, I think it’s not a seriously problem. Ryan don’t owe too much, just two thousand until five. Aunt Ida tell me if Ryan have taken something, and I pay it.”

Ryan’s mother shaked her head. She was angry. “I don’t agree with you, Dad. You know, it’s mean that you make Ryan think if owe is right. Maybe now he just owe a thousand, but how about a year? Five years later? Or if he become adult? I don’t want it, Dad!”

Ryan’s father thought for a minutes, and his wive was right. “Yeah, I’m sorry. I will talk to him.”

Someday later, Ryan came home with a snack again. His father asked him. “Ryan, where do you get the snack?”


“I Buy it in Aunt Ida’s shop, Dad!”

“You owe it again?”

Ryan nodded. “Yes, Dad!”

“You can’t owe again, Ryan. That’s not good!”

But Ryan shaked his head. “Don’t worry, Dad. Mom’s Nini have much money to pay it!”

Ryan’s father dan mother couldn’t say something. They looked each other, asked for a solution while Ryan entered his room. They knew one thing, Ryan wouldn’t ever change if only by an adivice. They had to do something and next day, they talked to Aunt Ida.


Someday later, Ryan owed again. He took a candy and when he left shop, Aunt Ida stoped him.

“Ryan, when you will pay your debt?”

“My Dad have payed it, Aunt!”

Aunt Ida shaked her head. “Oh, no, Ryan. You buy it, you eat it, you pay it. Not your mother, not your father. Just you!”

“But, Aunt Ida, I…”

Aunt Ida interrupted. “You have to pay, you can't just escape from this!”
Ryan afraid. Aunt Ida looked so angry. She opened wide her eyes. Ryan started to cry.

“But, I don’t have money, Aunt Ida. I will ask to my mother,” Ryan screamed.

“Oh, no! That’s not your money. That’s your mother’s money.”

“But aunt, I don’t have money…” Ryan cried.

Aunt Ida nodded. “Okay, you don’t have money. You can pay it with work in my shop!”
At least, Ryan didn’t have a choice. He worked in Aunt Ida’s shop. He cleaned the floor and windows while his tear droped down in cheek. He put the goods in shop table, took a snack which was bought by someone.

Aunt Ida let him left on 5 PM. Ryan was very tired. He ran home and cried.

“Mom, I don’t want to broom Aunt Ida’s floor again. I don’t owe again!” he screamed.
Ryan’s mother and father just smiled, they hug Ryan togheter. And right, Ryan never owed anymore.

*****

11April 2009
*Uji coba bikin cerpen bahasa inggris, klo ada salah gramar jangan diketawain*

Rabu, 05 Agustus 2009

17.16.00

Gadis Di Tepi Danau



I step my feed on the beach, try to feel the sands, and smell it like a pellet of chocolate. Meanwhile, I see the sunset kisses my face, touches every tears of mine and down far beyond the sea of hope

Then.......
all gone to an empty room. when I dream of a ladybird, flying around and tell me a tale. Even I know the tale isn't for me, I just want it to be a sweetest tale of us
and keep it all day of this world. Because....
I love you.


****

Apakah yang kamu takutkan saat kamu mempunyai sesuatu?

Kehilangan.....

Aku juga takut, tapi bagaimana kalau aku memang benar-benar akan kehilangan? Ada banyak tangan di luar sana yang bisa merebut apa yang aku miliki, ada banyak kaki yang bisa menginjak langkahku saat ingin merengkuhnya hingga aku terjerembab jatuh. Begitu banyak yang bisa merampasnya, yang bisa membuatku kehilangan.

Dan keadaan juga bisa membuatku kehilangan.

Keadaan.... aku benci membuatnya sebagai alasan. Tetapi itulah kenyataan. Keadaan yang membuatku memilikinya, sekaligus kehilangan.

Aku yang hanya berdiri di tepi danau ini setiap saat, di bawah langit, di atas bumi, hanya bisa memandang air yang bening dan kanopi di kejauhan. Aku tidak bisa melihat ke arah lain, karena aku hanya diciptakan Tuhan untuk itu. Aku bosan, sangat bosan, tetapi aku tidak punya pilihan, karena inilah keadaanku.

Hingga akhirnya dia datang. Pada suatu pagi dengan payung putih dan gaunnya yang melambai-lambai. Ia tidak memakai alas kaki, kulitnya yang putih indah menapak di atas leluruhan daun. Kepalanya tanpa topi hingga rambutnya tergerai di punggung. Sosoknya yang ramping terlihat jelas saat payung itu diletakan di dekat tumpukan batu sementara dia duduk merendam kaki. Apakah ini surga?

Dia begitu indah, dan salahkah bila aku ingin memilikinya? Senandungnya ada saat aku merasakan senyap. Warnanya tertoreh cerah pada pandanganku yang hanya hitam putih. Tawanya yang pelan membuat sekelilingnya terasa ceria. Sosoknya menyelip antara danau serta kanopi, memberi nuansa tersendiri dalam pandanganku yang terasa monoton.

Dia, gadis yang duduk di tepi danau itu setiap jam sembilan pagi. Dialah milikku, dialah yang membuatku betah berlama-lama memandanginya.

Dia, gadis yang duduk di tepi danau itu, dia yang sekarang aku miliki untuk memandang dunia dan membuatnya lebih indah.

Dia, gadis di tepi danau yang suatu saat akan pergi dengan kekasihnya. Aku tahu itu. Dia akan meninggalkanku, sebatang pohon tua yang mulai meranggas menyongsong musim gugur.

Aku tahu aku akan kehilangan, tapi aku lebih tahu bahwa aku sedang memilikinya saat ini, dan untuk seterusnya, dalam kenanganku. Walaupun musim semi depan dia tidak akan datang, tapi dia akan tetap ada. Karena aku tahu... aku mencintainya.


Senin, 27 Juli 2009

16.57.00

Nonton

"Nonton,yuk!" Ajak Ana pada Sita, sahabatnya. "Hari minggu jam 12, kalau kamu mau, aku yang antri tiketnya!"

Sita mikir lama. "Ngg.. ga berani janji, deh. Aku tanya Rizky dulu, ya!"
Rizky adalah pacar Sita.

"Memang kamu ga dibolehin Rizky nonton sama aku?" tanya Ana.

"Bukan begitu," sergah Sita ragu-ragu.

Dan Ana pun mengerti. Sita selalu mengutamakan Rizky, apa-apa nanya sama Rizky. Maklum, pacarnya sedikit agak posesiv, setiap nelpon harus diangkat, setiap sms harus cepat dibalas. Setiap pergi harus bilang. Ana yang sudah semangat, akhirnya hanya bisa tersenyum kecil. Agak kecewa.

Beberapa hari kemudian, Sita menghubungi Ana.

"Jadi nonton kemarin?"

"Tidak, temanku sakit."

"Berarti sama aku nanti, tunggu hingga ada waktu lowong, ya!" pinta Sita.

Namun Ana tidak begitu antusias. Ia ingat kejadian dulu, waktu mereka mau nonton film lain, Ana sudah menunggu waktu lowong Sita. Namun tidak dikiranya, tanpa sepengetahuan Ana, Sita pergi nonton dengan pacarnya. Jika sekarang Sita memintanya menunggui seperti dulu lagi, ia tidak yakin acara mereka akan kesampaian.

"Sama Rizky nontonnya?" Ana coba bertanya, ia tidak mau Sita 'gimana-gimana' dengan Rizky kalau dia pergi dengannya. Bagi Ana, bukan masalah dijadikan obat nyamuk, karena toh ia juga kenal Rizky. Itu juga kalau Sita mewujudkan ajakan nontonnya kali ini, karena biasanya setiap dia membuat acara dengan Ana, kebanyakan acara itu batal karena Rizky. Maka kali ini Ana ingin melihat apakah acara nonton mereka sudah seizin Rizky, dan itu kunci utama untuk lancarnya rencana itu.

"Ngg.. tidak tahu. Soal itu aku tidak tahu!"

Ana tersenyum. Berarti kejadian biasa akan berulang dan aku tidak mau menunggumu, jawabnya dalam hati.

*****

Rabu, 22 Juli 2009

12.27.00

Hujan Bulan Juli

Aku telah duduk disini selama lima belas tahun, yang mereka tahu, menjadi waktu tersembunyinya jasadnya diantara reruntuhan gudang. Aku yang menemani jasad itu membusuk oleh oksigen, daging-daging mulusnya tercabik oleh jasad renik, aroma tubuh wanginya yang disemprot dengan parfum seharga tujuh digit berubah busuk. Aku, yang duduk tepat di sebelah kanannya, yang bisa memperhatikan saat darah mengalir dari lehernya yang tergorok, yang setia menemaninya dalam bisu lima belas tahun ini.

Tetapi mengapa, orang-orang berseragam itu merenggutku seolah-olah aku adalah sampah yang menghalangi mereka. Tempatku dekat jasad itu, tapi sekarang aku berakhir di karung barang bekas yang teronggok di luar pintu. Tidakkah mereka tahu kalau aku menyaksikan bagaimana tubuh yang cantik itu awalnya menjadi jasad, lalu menulang hingga seperti sekarang. Bagaimana caranya aku memberitahu mereka bahwa jasad itu ada karena seseorang mengakibatkannya, bukan karena ia membunuh dirinya sendiri seperti orang-orang berseragam itu kira.

Jasad itu, yang dulunya adalah seorang gadis, dikira telah melarikan diri karena hamil. Pacarnya tidak bertanggung jawab untuknya, jadi dia memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan minum cairan serangga dan membusuk di gudang tua ini.

Tapi apa yang benar? Hooh, polisi itu mempercayai mereka. Seandainya saja aku bisa memberitahu mereka kejadian yang sebenarnya. Bagaimana aku melihat gadis itu sebenarnya tidak minum obat serangga, tidak juga hamil. Tidak ada tulang janin di sekitar perutnya kini, aku yakin itu. Tetapi dia dipaksa disini, dipaksa untuk.... ah aku tidak tahan mengatakannya, aku tidak tahan. Terlalu menyakitkan.

Hujan gerimis mulai turun di bulan Juli yang kering ini. Hujan pertama yang bisa aku lihat setelah lima belas tahun terperangkap dalam tubuh kecil ini. Lima belas tahun memendam sebuah kisah mengerikan yang menimpa jasad malang itu. Apa hidupku akan berakhir di karung ini dan terakhir ke tempat pembuangan sampah terdekat?

Polisi masih berkeliaran disekitar lokasi, tidak melirikku sedikitpun. Bahkan ketika tetes-tetes air hujan membasahi tubuhku. Apa yang harus aku lakukan, diam disini atau beraksi? Tetapi kalaupun beraksi, aku bisa apa. Tubuh ini mati sudah dan memang tidak bisa bergerak. Walau jiwaku masih hidup seutuhnya, sangat hidup untukku merasa bingung.

Seakan langit menjawab, setetes air hujan mengalir masuk ke telingaku yang berbulu dan berkata, "Waktumu sudah tiba. Waktumu sudah tiba..."

"Waktuku? Waktuku untuk apa?"

"Waktumu untuk pergi,"

"Bukannya sudah, sudah lima belas tahun lalu waktuku pergi?"

Hening. Tetes air itu tidak berbicara. Aku menunggu beberapa saat, terperangkap dalam tubuh mati, memang, hanya menunggu yang bisa aku lakukan.

Angin berdesir di seluruh tubuhku yang berbulu cokelat, menyentuh hidung hitamku yang berbahan dari kancing baju.

"Lima belas tahun lalu memang waktumu pergi dari tubuh itu, tapi waktumu pergi dari dunia baru akan datang sebentar lagi, Hani!"

Aku tercenung. Begitukah memang? Aku tidak pernah menyangka bahwa semua ini akan berakhir. Memandang tubuh yang indah itu setiap detik selama lima belas tahun, melihatnya menyusut sampai hingga tulang dan menderita karena tidak dikebumikan secara layak, apakah itu hukumanku untuk dosa yang telah aku perbuat karena menentang mereka?

"Kurasa," jawab angin itu. "Kurasa itu tidak benar. Kamu hanya menunggu jasad itu ditemukan. Pernah kan mendengar bahwa roh tidak akan sampai surga sampai jasadnya dikebumikan?! Kami melindungimu disini, menahanmu disini agar kamu tidak menghabiskan waktu lima belas tahun ini di neraka!"

Dan begitulah. Sebuah tangan mengambilku dari tubuh boneka teddy bear ini setelah lima belas tahun terperangkap di dalamnya oleh alam. Hujan bulan Juli mengiringi kepergianku ke surga, tempat katanya tidak ada seorang orang tuapun yang akan membunuh anak gadisnya sendiri karena tidak mau menikah dengan duda anak lima, demi harta.

Aku tenang sekarang, bisa tenang. walau besok headline koran akan menyebut berita bohong bahwa....

"Sebuah kerangka ditemukan di sebuah gudang tua. Kerangka itu diidentifikasi sebagai Hani Siska, yang bunuh diri karena hamil. Seperti yang telah dikonfirmasi orang tuanya, Hani meninggalkan rumah karena........."


The end


Cerpen kesekian di hari-hariku yang sepi dari kreatifitas.
Dear Sis Suzhu yang minta Hujan Bulan Juni, hii

Kamis, 09 Juli 2009

10.19.00

Tentang Sebuah Gigi Impor

Teman-teman, walaupun sekarnag bukan saatnya bagi kita untuk MySpace, tapi aku ingin mendongeng. Siap siap ya, ambil bantal atau kerupuk jika ada, jangan lupa minumnnya kalau haus dan pastikan toilet ada di dekat anda bagi yang baru aja makan sambal. Santai saja, dongengnya pendek kok. Oke, mari kita mulai.

Pada salah satu hari di bulan Juli yang panas, seekor semut cantik sedang berjalan pulang dari taman surga. Tidak disangka, ia bertemu seekor anjing yang sedang jalan lenggak-lenggok sambil menoleh ke sekeliling. Gayanya bangga dan pongah, seakan ia sedang membawa sesuatu yang berharga.

Memang, dia sedang menggigit sebuah tulang warna putih. Bentuk tulangnya aneh, lonjong,kecil, kek berkaki bawahnya. Walau sang semut ga ngerti bahasa anjing, tetapi binatang itu seakan mengatakn padanya bahwa tulang itu adalah rejeki paling berharga yang ia punya dan ia dapatkan kemairn. Entahlah, bagaimana itu bisa terjadi, yang jelas anjing itu membawa tulang itu ke sebuah gang kecil, dengan banyak anaknya disana.

singkat kata, karena penasaran, semut itu mengikuti anjing itu. Ternyata tulang itu dipakai untuk ngegarukin pantat anak anaknya, yang gatal karena kelamaan duduk. Setelah semua pantat anaknya digaruk, anjing itu meletakan tulang itu di tanah, lalu mengencinginya.

Jyah, semut itu kaget, kenapa anjing itu memperlakukan tulang, yang seharusnya jadi makanannya itu sejelek itu. setelah ditengok, ternyata tulang itu mirip gigi, sebuah gigi geraham yang tengahnya bolong dan berkarang laut. Hmm... kecium baunya ga enak.

"ini siapa yang punya gigi, sih?" gumam semut itu.

mendengarnya, sang anjing mendongak lalu menunjuk sebuah label kecil yang ada di gigi. sang semut membaca tulisan di label itu, "made in Makasar"

"Jah, ini gigi dari makasar?" tanya sang semut.

sang anjing mengangguk. "Iya, aku kan impor dari Makasar, dari seorang dokter gigi bernama dokter Panda. dokter itu bilang katanya hari rabu ada seorang kucing berkutu yang mau nambal gigi, tetapi ternyata giginya kelewat hancur. dokter itu ga bisa menambal giginya, jadinya gigi itu dicabut dan diganti dengan gigiku yang dulu aku donorin sewaktu melahirkan. sebagai kenang-kenangan, ternyata dokter panda mengirim gigi ini padaku, untuk alat garuk pantat katanya"

"walau gigi itu rada bolong, tetapi dokter panda bilang kalau gigi it akhirnya ditembel pake semen empat roda, biar kualitasnya bagus"

Sang semut tercengang tidak percaya. Saat itu juga dia lari ke Nchi, dan menceritakan apa yang ia dengar. Lalu Nchi Manis berseru. "Oh, ternyata begitu. Kok kebetulan banget ya, kemarin temanku yang ngakunya cakep juga ke dokter Panda, jangan-jangan..."

Ternyata, gigi yang diceritakan di atas milik salah satu blogger yang seminggu belakangan ini mengerang-erang sakit gigi. Jah, sepertinya giginya bolong terus, ada yang punya semen lima roda mungkin untuk nambal? silahkan hibahkan saja sama yang punya gigi.

Sudah teman-teman, segitu saja dongengnya. Maaf kalau endingnya selalu diributkan jelek sama yang punya gigi, bukan karen aku tidak suka bikin teman senang, tetapi memang sang gigi minta endingnya begitu. dan pesannya, sikat gigilah yang benar. dan buat yang punya miswa, sis pastiin odolnya pake pasir ya, biar semennya ga hilang.MySpace



N.B menyadur sepenuhnya dari salah satu komeng dari page blog yang bersangkutan, sampai sampai gambarnya (biar ga ada yang protes) and aku ga kena MySpace

Senin, 29 Juni 2009

08.35.00

Kambing Ngepet (1)

Masih ingat desa Capugua edisi Kakaktua Gundul? Kalau tidak ingat, nggak apa. Cerita ini sama sekali tidak berhubungan dengan itu, tapi cerita ini lanjutannya. Kalau tengah jalan bingung, silahkan kembali saja ke bagian atas.

Setelah heboh dengan kebakaran malam itu, selanjutnya desa Capugua tengah dilanda keresahan karena saban malam ada saja uang penduduk yang hilang. Entah yang disimpan di bawah taplak meja, di bawah kasur, sampai-sampai yang disimpan di kantung celana hilang. Siapa gerangan yang ngambil? Entahlah, sampai saat ini masih simpang siur.

"Apa ada yang ikut pesugihan, ya?" celetuk seorang Bapak botak yang tengah nongkrong di warung kopi.

"Bisa jadi tuh. Abisnya waktu malam uangku hilang, aku dengar ada suara kambing di sekitar rumah. aku kan tidak punya kambing," sahut Bapak berkumis panjang di sebelahnya sambil memakan jajan.

"Tapi mana ada pesugihan yang niru kambing, adanya yang niru babi!" bapak botak tidak percaya.

"Siapa tahu ada ilmu pesugihan baru, jaman sekarang lagi ada flu babi. Mungkin dukunnya takut ketular. Lagipula, akan bahaya kalau ngepet babi. Wong orang ngelihat babi diam aja udah pada mau ngebunuh, apalagi ngelihat babi ngepet," bapak berkumis itu ngomel.

"Jadi kambing ngepet gitu?" tanya bapak di sebelahnya, "Lucu juga ya, Bang. Dunia perdukunan juga kena imbas flu babi. nanti kalau ada flu kambing, jangan-jangan kambing ngepetnya diganti ayam ngepet lagi."

"Tambah bahaya, kan ada flu burung!"

"Nah, terus gimana, Bang? masak manusia ngepet?"

Bapak berkumis panjang itu hanya mengangkat bahu. sementara itu dari luar warung, nampak Bu Kukun datang tergopoh-gopoh sambil membawa plastik kresek hitam yang nampak penuh. Entah apa isinya.

"Aduh, Bapak-bapak. Enak banget ngopi di warung sore-sore. Ga ada kerjaan ini?" sapa Bu Kukun.

"Iya nih, Bu. lagi sepi, maklum musim angin-angin begini truk jarang lewat. Dari mana ni, Bu?"

"Dari tetangga sebelah, ngambil jahitan baju untuk anak saya. dia kan mau sunatan bulan depan, harus pakai baju baru, kan?!" jawab Bu Kukun sambil menepuk kresek hitamnya. Ia lalu menoleh ke penjaga warung yang datang membawakan kopi untuk Bapak-bapak itu. "Eh, Ibu Nun. Bu, saya ambil lilin lagi, lim pax ya, Bu!"

Bapak berkumis panjang itu bertanya "Banyak sekali beli lilin, Bu?"

"Iya, lagi perlu soalnya," jawab Bu Kukun, setelah mendapat lilin dan membayar, ia pun pamit.

"Nah, tuh. Bu Kukun beli lilin banyak, jangan-jangan mau dipake ngepet lagi, Dun!" ujar Bapak Berkumis panjang.

"Memang orang ngepet pake lilin ya, Bang?"

"Lha, kan di tipi-tipi begitu. Itu lilin ditaruh di atas baskom, terus ketika suaminya ngepet, istrinya jagain nyala lilinnya biar ga mati."

Bapak yang lagi satu berpikir. Ia mengingat-ingat pilem yang ditonton anaknya saban hari di televisi. "Betul juga, Bang! apalagi sekarang Pak Kukun sepertinya hidupnya tambah makmur. Buktinya bisa ngadain sunatan buat anaknya, dia kemarin kan habis kena musibah kebakaran itu. Barang-barangnya pada basah semua. jangan-jangan memang bener, gimana ni, Bang?"

Bapak berkumis panjang berpikir. "Benar juga, Dul! bagaimana kalau nanti malam kita selidiki?"

"Setuju, Bang!"

Akhirnya, pada malam harinya kedua Bapak itu bersembunyi di belakang rumah Pak Kukun. mereka mengenakan baju hitam-hitam, muka mereka diarangi biar hitam, jadi biarpun mereka senyum, tetap tidak akan terlihat karena gigi mereka juga ditempeli kain hitam.

Suasana rumah Pak Kukun gelap gulita. Tidak ada suara, hanya nyala cahaya lemah dari ruang belakang. Kedua Bapak yang mengintai itu berpendapat bahwa itu cahaya lilin yang Ibu Kukun beli tadi siang. Maka makin besar prasangka mereka atas kambing ngepetnya Pak Kukun.

Menjelang tengah malam, kedua bapak yang dikerubungi nyamuk itu mendengar suara-suara aneh. Suara ribut Ibu Kukun dan juga suara mbekkan binatang. Itu suara Kambing.

"Dul, suara kambing. Benar berarti, pak Kukun itu miara kambing ngepet."

"Bagaimana ini, Bang?"

"Kita lapor saja!"

Kedua bapak itu melapor ke kepala desa. dalam sekejap, mereka telah mengumpulkan penduduk desa dan mengepung rumah Pak Kukun. Awalnya mereka bingung kenapa diajak kesini, tapi setelah dijelaskan dan mendengar sendiri suara-suara kambing dari rumah Pak Kukun, massa itu berteriak marah.

Sementara dari dalam rumah, terdengar teriakan anaknya Pak Kukun.
"Mak, lilinnya mau mati!"
"Jangan sampai mati, Nak!" teriak Bu Kukun. "Kalau lilinnya mati, nanti Bapakmu celaka. Jaga nyala lilinnya!"

massa makin beringas, obor mereka teracung ke udara sambil berteriak-teriak. Mereka sangat marah, bahkan sangat sangat sangat murka. apakah mereka mau membakar Pak Kukun sekeluarga hidup-hidup?
Bagaimana nasib Pak Kukun sekeluarga?
Lihat episode duanya ya. hiiii

to Be contuinued........

Senin, 22 Juni 2009

08.16.00

Capugua : Kakaktua Gundul

Capugua. Ini adalah sebuah desa kecil, lebarnya hanya seukuran telapak tangan manusia dewasa berumur dua puluh empat tahun kurang beberapa bulan saat dilihat dari udara. Tidak terlacak satelit manapun, tidak pula tercetak di peta saat Dora mencarinya. Intinya, hanya keajaiban yang membuat desa ini ada dan kini berpenduduk.

Namun bukan itu yang ingin dibahas sekarang, ada hal yang lebih mendesak. Keramaian sedang terjadi, pusatnya dari halaman depan sebuah rumah di sudut utara desa. Penduduk desa yang jumlahnya bisa dihitung dengan anak sempoa sedang berkumpul disana, pada terheran-heran dengan sebuah benda baru yang bertengger di sebuah dahan kecil yang sengaja dipancangkan oleh si Tuan rumah.

“Tetanggaku semuanya, ini namanya burung Kakaktua. Aku mendapatkannya dari seorang kenalan yang akan bepergian ke luar pulau dan tidak pulang-pulang. Burung ini tidak bisa dibawanya, karena itu diberikannya padaku. Burung ini burung keramat, sudah berpindah tangan secepat uang dari keluarga kaya satu ke keluarga kaya lainnya. Artinya, dimanapun ia bertengger, maka kekayaan akan memenuhi rumah itu,” ujar Pak Kukun dengan bangganya.

Tetangganya berseru, sambil menunjuk-nunjuk burung itu dengan sedikit sangsi.

“Apa bagusnya? Bagusan burung merpatiku di rumah,” seru seseorang, disambut seruan membenarkan yang lain.

“Iya, burungnya jelek juga. bulunya jarang-jarang, gundul!”

Memang burung itu wajahnya tidak menentu, bulunya jarang-jarang, nampak banyak dicabuti, satu dua mencuat-cuat seperti rambut pemuda kerempeng yang kurang gisi dan kurang mandi.

“Jangan lihat penampilannya, lihatlah kemampuannya. Burung ini bisa bicara. Tidak percaya, kita lihat sendiri.”

Pak Kukun maju mendekati burungnya, sambil menggaruk lehernya dia bertanya. “Siapa namamu burung manis?”

Burung itu menjawab, “Kak... kakkk... kakkan…”

“Rumahmu dimana?”

“Kukun.. kukun… kukun….”

“Rumahnya Pak Kukun, maksudnya,” Pak Kukun menjelaskan. Ia kembali pada burungnya.
“Apa makananmu?”

“Kakkk…. Kakk…. Kak…. Makan… Makan… Makan… kelaparan.. kelaparan… kelaparan….”

Semua tetangga berdecak kagum, ternyata burung itu bisa bicara seperti manusia. Sepanjang hari, burung itu terus saja berteriak-teriak, menyebut nama Pak Kukun tanpa henti. Itu membuat cuping hidung Pak Kukun kembang-kempis karena bangganya. Ia memamerkan burungnya sepanjang hari, dan pengunjung terus membludak seakan-akan tetangganya bisa kenyang hanya mendengar burung itu berteriak ‘Makan.. makan.. makan..”

Menjelang malam, tetangganya mulai kembali ke rumah masing-masing. Suasana sudah sepi, dan Pak Kukun meletakan burung itu di belakang rumah, di sebuah ranting tertinggi pohon yang menghadap ke timur. Nampaknya burung itu senang di tempat tinggi, karena suara berisiknya tidak terdengar lagi.

Desa Capugua terlelap dalam hening, hanya derik binatang malam dan kerling bintang yang mengintip. Anak-anak mendengkur pelan di bantalnya. Orang dewasa bergelung dengan selimut hidupnya, semuanya senyap, seakan tanpa kehidupan.

Jam lima pagi, tiba-tiba smeuanya gempar karena ada yang berteriak dengan nyaring.

“Kebakaran… kebakaran… kebakaran….”

Bu Kukun yang duluan terjaga, ia mendengar teriakan itu. Dekat sekali rasanya, ia takut rumah sebelah yang terbakar. Dengan panik ia membangunkan suaminya.

“Pak, kebakaran, pak!”

Suaminya terlonjak bangun, mendengarkan ribut-ribut di luar serta teriakan kebakaran. “Bu, selamatkan perhiasan di peti, bawa tevenya keluar, lukisan kumis Bapak yang baru dibungkus selimut, bawa keluar…”

Sambil meneriakan ini itu, Pak Kukun meloncat dari tempat tidur, menyambar selimut di lemari dan berlari menuju ruang tengah. Ia membungkus apa yang bisa dibungkusnya, televise, kulkas, DVD, netbook kecilnya. Sementara istrinya di kamar, mengambil kotak perhiasan sambil menangis meraung-raung.

“Bu, si Komat masih tidur, cepat bangunkan!” teriak pak Kukun, ingat anaknya.

Istrinya melempar kotak perhiasan, berlari ke kamar anaknya. Pak Kukun sebal, lalu meraih kotak perhiasannya, meletakannya di atas bungkusan teve dan bersama istrinya yang menggendong anak mereka, ia berlari menuju pintu.

“Ibu, orang-ornag ramai di luar. Cepat, seperti apinya di rumah sebelah!”

Bu Kukun sempat mengintip lewat tirai, “Iya, Pak. Mereka ramai sekali di depan, nampaknya rumah bu Kiyap yang kebakaran.”

“Iya, Bu! Ayo cepat!” ujar Pak Kukun sambil membuka pintu.

Ceklik… kriet…. Dan burr……

Air menyembur dari luar, menerjang ke arah pintu dan mengenai Pak Kukun. Orang-orang berteriak padanya, sambil melemparkan air dari dalam ember, Pak Kepala desa yang membawa selang, menerjang maju dan mengarahkan airnya ke seluruh ruang tamu Pak Kukun. Orang-orang ikut menerjang masuk, suasana kacau, air bertumpahan dimana-mana, lantai tanah jadi becek.

“Berhenti! Berhenti! Berhenti!” teriak Pak Kukun, namun tidak ada yang mendengar. Semuanya sudah menyiramkan air ke rumahnya dengan cepat, tanpa ba bi bu lagi. Pak Kukun dan Bu Kukun terus berteriak-teriak, meloncat-loncat sambil melindungi barang-barang mereka dari guyuran air. Namun sia-sia, semua sudah basah.

Pak Kukun merebut selang air dan balik mengguyur pak Kepala desa.

“HENTIKAN! HENTIKAN! HENTIKAN!”

Semua diam seketika, pak Kukun meloncat-loncat, menyemprot kesana kemari seperti orang gila.

“Kenapa kalian menyemprot rumah saya? Semua barang saya rusak, rumah saya kebanjiran!!!”

Pak kepala desa menajwab. “Bukannya Bapak tadi yang berteriak kebakaran?”

“Tidak, saya tidak berteriak. Justru saya kira rumah sebelah yang kebakaran!”

“Tidak, kebakarannya dari sini!” seru warga lain.

“Iya, suaranya jelas sekali dari sini!”

“Betul, itu dengar suaranya saja masih ada.”

Semua diam, memasang telinga. Teriakan yang mengatakan kebakaran masih terdengar nyaring, berputar-putar disekitar mereka.

“Siapa yang berteriak?” teriak pak Kukun.

Tidak ada yang menjawab, namun semuanya menunjuk ke atas. Mata Pak Kukun melebar, suara itu memang dari atas. Ia menerjang keluar rumah, lalu berputar ke arah pohon belakang. Suaranya datang dari atas sana. Ia mendongak, matanya bekrilat-kilat marah.

Burung kakaktua gundulnya menatap ke arah matahari terbit sambil melonjak-lonjak di sangkarnya. Suaranya yang nyaring masih juga berteriak, “Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!”


N.B
Selidik punya selidik, ternyata burung itu bulunya gundul karena setiap pagi dicabuti pemiliknya yang marah setelah rumahnya kebanjiran dan diguyur warga akibat teriakannya saat melihat matahari terbit. Dan pagi itu, bulunya benar-benar gundul saat berpindah tangan ke orang 'kaya' yang tidak dikenali.





Rabu, 27 Mei 2009

10.12.00

Saat Tergelap WaktuMalam

Dhewy_re
"Saat paling gelap terjadi tepat sebelum fajar merekah namun setelah itu adalah awal dari segalanya"
Mocca_chi
Emang jam berapa fajar merekah yak?

Dhewy_re
"Yang jelas, kalao di bali lebih cepet (+/-) 1 jam, haha"
Mocca_chi
Ngeles dia, wuakakak


**********************************************



"Ko,emang benar malam paling gelap itu saat sebelum matahari terbit?"

Koko tidak langsung menjawab, melainkan bersidekap sambil memandang ujung kakinya yang bergelantungan. Mereka berdua duduk di balkon rumah, memandangi bintang-bintang kecil yang kadang timbul tenggelam di balik awan. Embun belum turun, matahari baru menghilang satu jam lalu di belakang sana.

"Koko malah tahunya malam itu paling gelap saat jam sembilan malam."

"Lho, kata buku yang di baca Mama begitu, katanya malam paling gelap itu muncul sebelum matahari terbit,"

"Memang Kiki pernah lihat malam saat matahari mau terbit?"

Kiki menggeleng polos, ia memeluk bonekanya erat sambil menggoyangkan kakinya. Kokonya memandangnya dengan wajah mengejek, sesekali memainkan alis menggoda karena Kiki tidak bisa membuktikan perkataannya.

"Kiki bangunnya siang melulu, sih! Mana bisa lihat matahari terbit."

"Kan, Kiki belum sekolah. Jadi Mama bilang boleh bangun jam tujuh. Koko juga bangunnya siang terus, sampai Mama marah-marah karena Koko mau telat sekolah, baru Koko bangun," balas Kiki.

Koko tidak mau kalah. "Yey, tapi kan kata Koko Malam paling gelap itu saat jam sembilan malam, bukan saat matahari terbit seperti Kiki bilang!"

"Tapi Koko ngejek Kiki yang bangun siang," Kiki merajuk.

"Biarin, memang Kiki selalu bangun siang,"

"Koko juga,"

"Nggak!"

"Iya,"

"Nggak!"

Mama muncul dari belakang, dengan baju tidur warna putih dan rambut terurai. Beliau tersenyum dan menyentuh bahu keduanya.

"Sudah, ayo tidur, Sudah jam sembilan ini, biar besok tidak kesiangan."

Kedua kakak beradik itu menurut, masuk kamar dan tidur di ranjang masing-masing. Kiki masih takut tidur sendiri, jadi Mama meminta Koko menemani.

"Selamat Malam, Kiki dan Koko. Tidur nyenyak, ya!" ujar Mama sambil menyentuh tombol lampu.

Seketika lampu padam dan ruangan menjadi gelap. Setelah Mama menutup pintu, Koko berbisik pada adiknya.

"Kiki, benar kan kata Koko, malam paling gelap itu pada jam smebilan malam, yaitu saat Mama mematikan lampu dan menutup pintu."

Namun tidak ada jawaban, Kiki sudah terlelap dengan sangat cepat, dan bermimpi sedang duduk dengan kokonya di balkon sambil menyaksikan detik-detik sebelum matahari terbit.


Denpasar, 27 May 2009
10.31 AM
*maksud cerita ini apa ya? ada yang tahu? hiii



About