Kamis, 29 Januari 2009

14.48.00

Fata Yang Menuju Hari Kemarin

“Kamu bahagia sekarang?” sosok kecil itu bertanya padanya.

Fata berpikir sejenak, berusaha mengingat unsur-unsur hidupnya yang bisa dikatakan bahagia. Apakah dia bahagia?

Sosok kecil itu berputar di depannya. Cantik sekali. Entah dari mana ia berasal, yang jelas Fata tahu kalau dia muncul begitu saja di kegelapan malam.
Dia terus tersenyum melihat Fata masih menunduk.

Hingga akhirnya Fata menjawab, walaupun sedikit ragu. “Iya, aku… aku bahagia, aku bahagia kemarin!”

Sosok kecil itu masih tersenyum, kini melayang rendah tepat di depan mata Fata. Debu cahaya berjatuhan secara teratur dari balik punggungnya, seperti rintik hujan dalam slow motion. Sayap tipisnya mengepak seperti kupu-kupu, itulah yang membuatnya tetap bisa mengisi udara kosong tanpa pijakan. Dua kaki kecilnya besepatukan daun berwarna hijau, lalu topi dari bunga kecubung ungu, lengkap dengan bel kuning mungil di ujungnya. Gaunnya, berbahan dari kelopak bunga mawar merah.

Dia adalah seorang peri cantik, namanya Ino.

“Oh, ya? Kalau begitu, mari kita terbang ke hari kemarin!”

Fata mengerutkan dahi, tidak mempercayai apa yang ia dengar. Ia kemudian menggeleng. “Tidak masuk logika!” ujarnya tegas.

Peri Ino masih saja tersenyum. Ia mendekat ke mata Fata sambil menari, membuat sebuah loncatan indah sebelum bertengger di hidung Fata. Fata tersentak, sontak memundurkan duduknya sampai mendesak pintu di belakangnya.

“Pikiran tidak selalu menang oleh perasaan, sadarkah kamu bahwa banyak hal di dunia ini yang hanya bisa kamu rasakan, namun tidak bisa kamu ceritakan kembali?!”
Fata tercenung, merasa bahwa kata-kata Peri Ino adalah benar.

Seakan bisa membaca pikiran, Peri Ino tahu Fata setuju. Ia kembali melayang di udara, membelakangi Fata hingga gadis itu bisa melihat debu cahayanya. “Debuku adalah penghirup jiwa. Hanya perlu bernapas ketika aku berdiri di depanmu, dan jiwamu akan terbang kemanapun yang engkau bayangkan.”

“Jiwaku?” Fata terkejut.

Dia hanya mengangguk.

Fata berpikir sejenak. “Lalu.. badanku?”

“Masih tetap tidur disini.”

Fata cemas mendengarnya, “Tanpa jiwa?”

Lagi-lagi Peri Ino hanya tersenyu. “Hidup tidaklah sempurna. Lalu kenapa kau harus memikirkan kesedihan jika kau bisa mendapatkan kebahagiaan?”

Fata kembali tercenung. Ia merenungi semuanya, merenungkan waktunya hari ini yang habis hanya untuk memikirkan bagaimana ia hidup di hari esokku. Ia memeriksa kenyataan hidupnya, tempat tidurnya hanya beralaskan kertas koran bekas. Tak ada selimut hangat, tidak pula segelas kopi saat ia bangun di pagi hari. Kebahagiaan terakhirnya hanyalah sebungkus mie instant yang dijatuhkan oleh seorang pemuda, dan itupun terjadi kemarin. Kemudian Fata tahu, tidak akan ada masa depan yang cerah untuknya, jika ia tetap bertahan pada logika.

Peri Ino tahu Fata sudah mengerti. “Ikuti aku dan kau akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terhingga,” janjinya smabil tersenyum, lalu kembali meloncat di angkasa, membuat sebuah tarian indah. Debunya berterbangan, memenuhi udara dengan cahaya kelap-kelip.

Fata menegang, Peri Ino telah memenuhi udara di depannya dengan debu-debu cahaya. Ia khawatir orang-orang sekeliling melihat dan heboh, namun saat menoleh, Fata sadar bahwa ia hanya sendiri disini.

“Tutup matamu, dan bernafaslah!”

Fata mengikutinya. Ia menutup matanya, merasakan hembusan udara hangat saat ia bernapas, yang mengalir lewat hidung, ke tenggorakan, lalu memenuhi dada. Rasanya hangat dan damai.

“Buka matamu!”

Fata membuka mata, takjub mendapati dunia menjadi begitu luas. Luas dan besar. Segala hal berubah ukuran, meraksasa sampai beratus kali lipat, entah berapa ratus.Termasuk Peri Ino, kini ukurannya sama dengan tubuh Fata.

“Sekarang lihatlah ke belakangmu!” kata Peri Ino.

Fata menurut, ia menoleh ke belakang dan terhenyak mendapati tubuhnya sendiri yang telah meraksasa seperti sekeliling, sedang tertidur sambil bersandar di pintu rolling door kumuh sebuah toko lampu hias.

Peri Ino memegang tangan Fata, mengajaknya melayang. “Ayo! Kita bermain ke hari kemarin. Gerakan sayapmu, jangan buang-buang debumu terlalu banyak! Itu umur kita.”

Fata terperangah, ia bisa melayang. Ia lalu menatap badan yang dimiliki sekarang, tak banyak berubah, masih dua tangan, dua kaki. Tapi… tapi ketika Fata merasakan dengung asing di belakangnya, ia terkesiap, sepasang sayap capung mengepak di belakang punggungnya. Oh, tubuh ini jauh lebih ringan dari yang sebelumnya.

“Sekarang kamu sama sepertiku, kita peri yang terbang bebas tanpa logika. Ayo!”

Peri Ino menarik tangannya, melayang menembus kegelapan malam, menuju hari kemarin yang bahagia.


untuk mbak fata, sebagai janji hari kemarin
maaf, sebenarnya ini cerita lama yang sedikit dirubah, maap pula tidak bisa membuatkan yang baru dikarenakan *&%^&^%
Kemarilah, menjadi seorang penulis yang bisa melewatkan logika.
marilah berimajinasi ^ ^

Selasa, 27 Januari 2009

14.58.00

Cerita Telur (repost)

Di sebuah peternakan ayam, ruang incubator sedang sibuk-sibuknya. Sekali lagi, ini adalah musim dingin, jadi ayam-ayam akan merasa sangat kerepotan mengerami telor-telornya. Selain itu,para ayam menganggap bahwa lebih baik mereka tidak mengerami anak. Toh sudah ada yang menanganinya.

Dua ekor ayam betina berusia tiga minggu berjalan beriringan. Mereka memakai setelan putih pudar yang mengingatkanku pada seragam suster ngesot, topi perawat bertengger diatas bulu-bulu mereka dan mereka memakai rok dengan model berbeda. Salah satu memakai rok span pendek yang seharusnya, satunya lagi memakai rok model pencil yang panjang dengan belahan di kiri kanannya. Bisa dibayangkan berapa meter kain yang mereka habiskan untuk menutupi pantat mereka yang menonjol ke belakang. Tapi sudahlah! Toh mereka kini melenggok-lenggok anggun.

Mereka tiba di ruangan isolasi, tempat dimana telur-telur yang lahir (terjadi sesuatu dalam perjalanan membuatnya) tidak sempurna. Ruang ini letaknya paling ujung, pintunya langsung menghadap koridor dan selalu dalam keadaan tertutup.

“Kau lihat kan telur malang yang diduduki induknya kemarin?” Tanya salah seorang ayam perawat dengan rok pensil serta jambul lebatnya, wajahnya menunjukkan rasa kasihan, “Seandainya induknya bisa melahirkannya tanpa mendudukinya, kuyakin ia akan tetap mulus sampai cangkangnya pecah.”

Temannya hanya tersenyum, “Yah, kita bangsa burung tak akan bisa melahirkan kalau tidak menduduki telur kita,” sahutnya enteng sambil mengeluarkan segenggam kunci dari saku bajunya.

“Yah, setidaknya induknya harus mendudukinya secara…” ia mengangkat bahu, sambil mengibaskan jambulnya ia menoleh ke kanan, “… pelan-pelan!”

Temannya tak menanggapi, ia sibuk membuka pintu.

Ruang isolasi adalah ruang terhangat (untuk ukuran ayam), ukurannya tak lebih dari tiga puluh centi persegi. Dua buah telur besar lonjong di balik dinding kaca langsung terpampang begitu pintu menjeblab. Kedua perawat ayam memeriksa banyak hal, mengatur suhu, memutar lampu, membersihkan ceceran debu sampai mematuki semut-semut yang menjilati ceceran protein telur di lantai.

Sekitar setengah jam kemudian, setelah memastikan semua baik-baik saja merekapun akhirnya kembali menutup pintu dan pergi dengan gema suara sepatunya menggaung di koridor.

Ruang isolasi kembali gelap gulita. Sesaat setelah pintu tertutup, setelah suara sepatu si perawat menghilang, sebuah ringkikan pelan terdengar.

“Hiii… perawat yang sama kukira, Dez!”

Telur itu ternyata bisa berbicara. Mereka berdua terkikik keras, baru ketika suara keretakan terdengar, sebutir dari telor itu berseru.

“Sudah Dez! Jangan tertawa lagi, nanti retakan cangkakmu tambah keras!”

Helaan napas terdengar dari telur di sisi kanan, mereka ditempatkan di sebuah incubator yang beralaskan kain lembut dan empuk. Telur yang kanan, seperti disampaikan perawat ayam yang ganjen, cangkng bagian atasnya pecah dan penyok. Karena itu ia tak boleh bergerak ataupun bersuara terlalu keras kalau masih mau berhasil menetas.

“Yah, kurasa perawat ganjen itu benar. Indukku tak seharusnya mendudukiku saat aku lahir. Kalau tidak… mungkin aku akan lahir sempurna dan bisa bebas tertawa sepertimu, Zill” kata telur itu dengan nada iri.

Zill, telur di sebelah kiri mengeluarkan dengungan pilu, “Oh Dez, jangan begitu! Kalau aku sempurna, aku tak akan bisa berada disini. Kau lihat kan! Cangkangku cokelat pucat, tak berbintik cantik seperti saudaraku. Beratku kurang karena cairan putihku kurang. Setiap hari aku juga diberi infuse, kalau tidak aku tak akan bisa menetas sempurna, sepertimu.”

Mereka berdua terdiam sesaat, saling meratapi kemalangan masing-masing. Namun setelah beberapa waktu, mereka sadar bahwa kemalangan ini akan semakin menjadi malang kalau diratapi.

“Semuanya ada hikmahnya, kurasa!” sahut Zill.

Dez setuju, “Iya! Kalau tidak sama-sama malang, belum tentu kita bertemu dan bersama-sama seperti ini.”

“Aku ingin tetap bersama saat kita menetas nanti,” pinta Zill.

Dez ragu-ragu, “Kalau aku lahir tak sempurna, apa kau masih mau menerimaku?”

Tarikan napas Zill terdengar panjang, “Aku akan menerimamu apa adanya, sebab kurasa aku akan lebih nyaman bersama-samamu daripada perawat-perawat centil itu.”

Keduanya lalu tertawa senang. Setelah sepakat tentang hal itu, merekapun melalui hari-hari dengan saling menghibur satu sama lain. Saat Zill menjalani infuse atau tranfusi putih telur, Dez siang malam berdoa. Ketika Dez mengalami rahabilitasi cangkangnya untuk menghindari infeksi, Zill dengan setia menemaninya. Mereka menjadi pasangan yang saling mengisi bahkan ketika belum menjejak bumi sama sekali, dan mensyukuri keberadaan satu sama lain di sisinya.

Waktunya menetas akhirnya tiba. Berdua mereka gugup menunggu hari itu. Mereka sudah tak sabar untuk berangkulan, maklum, selagi didalam telur mereka tentu saja tak dapat melakukannya.

Sang ayam perawat semakin sering menengok mereka, kadang bergiliran dengan ayam dokter dengan stetoskopnya yang mengerikan tergantung di leher. Kedua telur terus saja saling mendukung, dan hati mereka semakin dekat satu sama lain.

Hari H akhirnya tiba, di pagi-pagi buta, ketika matahari belum terbit dan ayah-ayah mereka yang banyak di luar sana berkokok sombong, keretakkan terdengar dari cangkak Dez. Cangkangnya pecah, terbelah menjadi dua. Seekor anak ayam tampan, berbulu kuning gading halus, berparuh kuning muda, berkaki cokelat muda berdiri di tengah-tengah belahan cangkak.

“Dez….” Zill berseru di sampingnya, “Kau tampan sekali! Tak pernah aku melihat anak ayam setampan engkau!”

Dez, dengan malu-malu mengibaskan bulu-bulu jarumnya. Ia meliuk pelan, tubuh mungilnya lahir sempurna. Ia berjalan, sambil memekik kegirangan ia melompat-lompat riang. Tubuh yang sempurna, kebebasan yang sempurna.

“Kau senang Dez?” Tanya Zill dengan manja.

Dez, dengan langkah gagahnya mendekati Zill yang belum menetas.

“Aku senang sekali, sayangku!” ujarnya, suaranya terdengar lebih merdu daripada sewaktu di dalam telur, “Dan aku yakin kau juga akan cantik,” lanjutnya sambil menggosokkan kepala ke cangkak Zill.

Tepat saat itu terdengar derap sepatu snag perawat dari koridor dan diikuti suara kunci diputar. Pintu kemudian terbuka, cahaya matahari pagi menyorot langsung ke dalam incubator. Dua ekor ayam perawat langsung tercengang melihat makhluk mungil di dalamnya, mereka langsung memekik kegirangan dan berlari mendekat.

“Oh Na, lihatlah dia! Dia tampan sekali.” Seru perawat berjambul lebat sambil menempelkan paruhnya ke dinding incubator.

Ayam perawat yang dipanggil sedang sibuk memencet sebuah kepala ayam yang menempel di dinding tak jauh dair incubator. Itu adalah bel pemanggil, dan tak lama dokter ayam menerjang masuk dengan wajah masih berbau ranjang.

“Apa yang terjadi?” teriaknya, tapi ia langsung terpana melihat Dez yang tengah menggosokkan paruhnya ke kulit Zill. “Oh, dia sudah lahir, dia sudah menetas. Na, Ketie, cepat keluarkan dia!”

Zill yang masih didalam telur panic, ia tak rela menetas tanpa ditemani Dez. Dez pun demikian, ia tak mau dibawa pergi kalau tidak bersama Zill. Karena itu, ketika perawat Ketie memasukan paruhnya untuk membimbing Dez keluar, Dez bersembunyi di balik telur Zill.

“Ayolah ayam tampan! Kemari, kita lihat dunia luar. Kita lihat matahari bersama tante Ketie!” pinta Ketie.

Tapi Dez tidak mau, ia tetap bersembunyi.

“Kelihatannya dia tidak mau,” tebak Na, otaknya yang sebesar apel berpikir keras, “Kurasa ia mau menunggu temannya.”

Dokter ayam menunduk, matanya menatap nyalang Zill dan Dez bergantian.

Sesuatu terjadi saat itu juga. Keretakkan tiba-tiba terdengar dari cangkang Zill. Dez mundur dua langkah sambil menunggu penuh minat. Perawat dan dokter memandang Zill dengan jantung berdebar-debar. Seperti apakah anak ayam yang ada didalam cangkak itu, apakah cantik jelita seperti perawat ketie?

Ujung telur terbelah, retakannya memanjang ke samping dan akhirnya bertemu lagi di bawah telur. Cangkang kini berbaring ke samping, seekor anak ayam mungil, berbulu abu-abu pucat dan proporsi tubuh aneh beringkik diantaranya. Kakinya terlalu panjang sebelah, bulu di kepalanya jarang, membuatnya terlihat botak.

Zill meringkik, memandang Dez penuh harap. Ia tersenyum bahagia melihat kekasihnya secara langsung, ia senang karena kini mereka bisa berpelukan secara langsung. Ia memekik memanggil Dez, berjalan tertatih-tatih mendekati Dez yang diam terbelalak.
“Jangan mendekat!” teriak Dez.

Zill kaget, “Kenapa? Bukannya kau senang?”

Dez menggeleng, Perawat Na, Ketie dan dokter hanya diam mengamati mereka. Serasa menonton sandiwara ayam di stasiun teve Keker. Adegan yang mengharukan, semoga.
Zill terus mendekat, tapi Dez melihatnya dengan wajah ketakutan. Dez kabur, berlari ke arah pintu incubator, menerjang keluar dan membuat perawat Ketie terjungkal jatuh.

“Aku tak mau!” teriak Dez, “Aku tak mau padamu, kau botak, kelabu dan cacat!”
Perawat Na dan dokter ayam berlari mengejar Dez yang kabur seperti orang gila. Tinggal perawat ketie yang terkapar di lantai, ia tak bisa bangun, susah berdiri karena terhalang oleh rok bentuk pensilnya.

“Tolong…!” lolongnya pilu, “Aku janji aku tak akan memakai rok pensil lagi saat kerja, seseorang tolong akuu….”

Tak ada yang berderap datang dari arah koridor, tak ada yang datang membantu perawat Ketie. Hanya sesenggukan pilu yang terdengar dari arah incubator. Zill, terduduk sendirian, menangis, pilu, sedih, hancur, luluh dan juga… menyesal.

ini cerita adaftasi untuk sebuah kisah milik seorang teman, bernama cecil ^ ^

Jumat, 23 Januari 2009

16.24.00

The Lover After Me

Bayangkan saat kamu berada di atas sebuah tebing, memandangi kaki langit yang bersatu dengan lautan. Cerah jingganya menerpa mata, menarik kedua tangan untuk terangkat.
Debur ombaknya bergemuruh, bersamaan dengan kepak sayap burung-burung senja.
Namun hatimu tidak disana, dibawa angin pada sebuah kenangan masa lalu yang indah, yang mungkin pernah ada di tempat itu.

Sebuah lagu tentang masa lalu, saat sesuatu yang pernah dekat tiba-tiba menjauh dan hilang. Dan mirisnya, semua hal yang kita temui menyebut tentang dia, selalu, kemana pun kita pergi.


Hanya untuk merayakan bertemunya lagu ini, terimakasih untuk seorang teman yang bersedia mencarikannya.

Lagunya ada disini, coba dengarkan dan resapi, dan apakah.... terasa?


"The Lover After Me"

Here I go again I promised myself
I wouldn't think of you today
It's been seven months and counting
You've moved on
I still feel exactly the same
It's just that everywhere I go
all the buildings know your name
Like photographs and memories of love
Steel and granite reminders
The city calls your name and I can't move on

Ever since you've been gone
The lights go out the same
The only difference is
You call another name
To your love
To your lover now
To your love
The lover after me

Am I all alone in the universe?
There's no love on these streets
I have given mine away to a world that didn't want it anyway
So this is my new freedom
It's funny
I don't remember being chained
But nothing seems to make sense anymore
Without you I'm always twenty minutes late

Ever since you've been gone
The lights go out the same
The only difference is
You call another name
To your love
To your lover now
To your love
The lover after me

And time goes by so slowly
The nights are cold and lonely
I shouldn't be holding on
But I'm still holding on for you

Here I go again
I promised myself I wouldn't think of you today
But I'm standing at your doorway
I'm calling out your name because I can't move on

Ever since you've been gone
The lights go out the same
The only difference is
You call another name
To your love
To your lover now
To your love
The lover after me


Lirik from http://www.azlyrics.com/lyrics/savagegarden/theloverafterme.html

Rabu, 21 Januari 2009

09.55.00

Peri Stroberi

Memi duduk termenung di dekat jendela. Pandangannya mengarah ke halaman luar, pada sebuah pot yang diletakan di teras. Pot itu berisi rumpun tumbuhan stoberi, Memi dan Mamanya membelinya waktu ke pasar minggu lalu. Sudah ada bakal buah kecil saat pot itu pertama kali dibawa pulang, dan sekarang setelah beberapa waktu berlalu bakal buah itu sudah membesar dan Memi menunggunya matang.

Mama muncul di belakangnya, lalu membelai kepala Memi. "Ada apa Memi, Sayang? Kenapa kamu bengong?"

Memi menoleh sesaat. "Mama, bagaimana cara stroberi itu matang, Ma? Dari kemarin Memi lihat, warnanya tetap hijau, tidak mau merah seperti yang Memi sering makan."

Mamanya tersenyum, lalu duduk di sebelah Memi. "Hmm... Memi mau Mama ceritain cerita, nggak? Cerita tentang Peri Stroberi?"

Gadis kecil berumur lima tahun itu mengangguk semangat. "Bagaimana ceritanya, Ma?"

"Tapi Memi janji dulu, setelah ini mandi, makan, dan bantu Mama bikin ketupat, mau?"

Memi kembali mengangguk, menunggu Mamanya bercerita.

Sang Mama mulai bercerita sambil memandangi pot di teras. "Stroberi itu matangnya pada malam hari. Konon katanya, waktu malam adalah waktu terbaik bagi Peri Stroberi untuk keluar dan mewarnai stroberi dengan cat ajaibnya."

"Peri, Mama?" tanya Memi dengan takjub.

Sang Mama mengangguk. "Seorang peri kecil yang cantik, punya sayap dan mahkota. Malam-malam, saat matahari tenggelam, mereka terbang menghampiri buah-buah stroberi itu sambil membawa kendi berisi cat ajaib serta kuas. Dengan sekali gerakan, mereka melumuri buah yang hijau itu dengan cat, dan dalam semalam, maka buah-buah itu akan menjadi lunak dan manis."

Memi masih memandang Mamanya dengan takjub, mulutnya terbuka membentuk hurup O panjang. "Jadi begitu, ya, Ma?"

Mama mengangguk. "Iya, dan sekarang karena sudah sore, Memi mandi dulu! Oke?"

Memi mengangguk, lalu turun dari kursi dan lari ke kamar mandi. Malamnya, setelah Mamanya meninggalkannya di kamar untuk tidur, ia berpikir kembali soal Peri Stroberi yang diceritakan Mamanya. Ia penasaran, lalu diam-diam tanpa sepengetahuan Mamanya kemudian keluar kamar. Ia berjingkat-jingkat di ruang tengah, menuju ke teras untuk mengambil pot stroberi dan membawanya ke kamar.

Pot itu diletakan di meja sebelah tempat tidur. Menurut cerita Mama, peri itu muncul saat gelap, karena itu ia juga mematikan lampu kamarnya. Memi mengambil kursi dan meletakannya di depan meja, sambil memeluk bonekanya, ia duduk disana dan memandangi pot itu.

Selama beberapa lama, matanya bisa terjaga. Ia memandangi buah stroberi itu tanpa kedip. Sesekali mulut mungilnya membisikan sesuatu, datanglah Peri Stroberi, datanglah! Namun tidak ada yang datang, dan buah stroberi itu tetap saja hijau.

Saat jam berdentang sepuluh kali, kantuk mulai menyerang Memi. Perlahan matanya tertutup, kepalanya terangguk-angguk sampai akhirnya ia tertelungkup di meja di samping pot. Ia tertidur.

Hiii....

Suara cekikikan terdengar dari arah jendela. Tirai yang tertutup tiba-tiba berkibar-kibar, padahal angin tidak bisa menembus jendela kacanya. Nampak kemudian sesosok tubuh kecil bercahaya kekuningan di luar jendela, melayang-layang dengan sepasang sayap tipis. Sosok itu membawa sesuatu di tangannya, sebuah kendi cokelat berlumuran sesuatu berwarna merah, dan tongkat dengan ujung hitam lunak di tangan kanan. Sesaat sosok itu melayang-layang, dan kemudian menembus kaca begitu saja untuk memasuki ruangan.

Kini ia terbang di kepala Memi, memutarinya selama beberapa kali. Lalu ia hinggap di meja dekat telinga kanan Memi, dan mulai membisikan sesuatu.

"Memi, bangunlah!"

Perlahan, Memi terbangun. Matanya mengerjap karena silau oleh cahaya yang melingkupi sosok itu. Namun saat bisa melihat jelas, ia berseru takjub. "Wow, Peri Stroberi! Aku sudah menunggumu lama. Akhirnya kamu datang juga!"

Peri itu, bersosok wanita dengan wajah kecilnya yang damai, tersenyum. "Stroberimu akan dimatangkan mulai malam ini, Memi. Apakah kamu mau melihat bagaimana aku membuatnya merah dan manis?"

Memi duduk tegak, dan mengangguk. "Aku mau, aku mau, aku mau!"

Peri itu kembali terbang sejajar matanya. "Baiklah, tapi kamu harus berjanji tidak menceritakan hal ini pada siapapun. Mau?"

Memi teringat Mamanya sejenak, namun sebelum ia berkata sesuatu, sang peri terlebih sudah menyahut.

"Kecuali Mamamu, setuju?"

Memi mengangguk. Kemudian mulailah sang peri melakukan tugasnya. Ia terbang mendekati bakal buah terbesar dan melayang-layang selama beberapa saat di dekatnya. Tangan kanannya mulai memutar-mutar tongkat yang ternyata ujungnya berisi kuas itu ke buah yang selama beberapa saat terangkat. Ada sinar keemasan yang muncul dari kuas lalu melingkari buah itu, berputar seperti cincin. Saat warna keemasan berubah jadi kuning, Peri Stroberi menarik kuasnya, lalu mencelupkan ke kendi. Kuasnya berubah jadi merah, dan sekali olesan, stroberi di depan mereka beurbah warna, menjadi merah muda.

Memi mendekatkan wajahnya ke arah Peri Stroberi, sehingga secara tidak sengaja ujung kuas sang peri menyentuh ujung hidung Memi saat ia menarik tangan. Memi mengikik geli.

"Apa sudah selesai?" tanya Memi.

Sang peri mengangguk.

"Tapi kenapa merahnya belum ranum?" tanya Memi melihat merah buah itu masih tidak semerah yang sering ia makan.

"Karena matangnya butuh waktu, dan besok akan ada peri lain yang akan menyempurnakannya."

Memi mengangguk paham.

"Nah, Memi. Sekarang sudah selesai untuk malam ini, kamu kembali tidur, ya!" kata sang peri, lalu mengayunkan kuasnya. Cahaya merah lembut melesat dari ujungnya, lalu mendarat tepat di kening Memi. Memi pun kembali tertelungkup, tidur.
*****

"Memi, bangun, Sayang!"

Memi membuka mata dan langsung teringat dengan kejadian semalam. "Aku melihatnya, aku melihatnya, aku melihatnya, Mama!"

Mamanya bingung. "Melihat apa, Sayang?"

"Peri Stroberi, semalam aku bertemu dengannya, Mama!"

Mamanya hanya tersenyum, lalu mengambil boneka Memi yang tergeletak di lantai. "Kamu bertemu dengannya di dalam mimpi, Sayang. dan..." Mamanya melihat pot stroberi di meja, "Wow, Sayang! Buahnya hampir matang!"

Memi memandang takjub buah itu. Iya, warnanya merah muda, sama seperti warna yang dilihatnya semalam.

"Tapi, Mama, aku melihatnya semalam. Aku melihat peri itu!" kata Memi berusaha meyakinkan.

Mamanya berjongkok disampingnya. "Mama percaya. Kamu tahu kenapa? Karena Mama pernah mengalaminya dulu, dulu sekali waktu seumuran kamu, Sayang!"

"Karena itu Mama tahu?"

Mamanya mengangguk. "Tapi, tapi itu hanya mimpi, Sayang!"

Memi mengerang sedih. Mamanya mengalaminya juga, tapi Mama yakin itu mimpi. Memi jadi sedih, ia kira ia benar-benar bertemu peri itu. Ia memandangi pot stroberi, memperhatikan buahnya yang merah muda.

Tiba-tiba matanya berbinar, ia ingat sesuatu. Tangannya dengan cepat mengambil cermin kecil dan memastikan bahwa tanda itu ada. Dan ternyata benar, ia gembira sekali.

"Itu benar, Mama! Lihat tanda merah di hidungku ini!" Memi menunjuk titik merah kecil di ujung hidungnya, yang teroles tak sengaja oleh kuas sang peri. "Ini dari sang peri sendiri, Ma!"

Mamanya memperhatikan titik merah itu, lalu tersenyum dan mengangguk. "Mama percaya, Sayang. Selamat, kamu menemukan peri itu, tapi... ingat pesan snag peri?"

Memi mengangguk. "Aku tidak akan menceritakan semua ini pada siapapun!"

"Janji?" Mamanya menjulurkan jari kelingkingnya.

"Janji!" jawab Memi, smabil mengaitkan jari kelingkingnya sendiir.

Jauh di sebuah negeri yang indah, seornag peri terkikik melihat dua jari yang terkait itu lewat cermin ajaibnya.
******

Untuk Memi, Tetaplah semangat! ganbate

Jumat, 16 Januari 2009

15.46.00

Bantal Saya Hilang, Pak

Ibu Sari melangkah cepat menuju kantor polisi. Wajahnya merah padam, keringat mengucur seiring dengan langkahnya yang cepat. Ia panik, sangat khawatir, nampak dari caranya memegang dompet.

Setibanya di kantor polisi, ia langsung menggebrak meja. "Pak, saya mau melaporkan kehilangan!" kata Bu Sari cepat.

Pak polisi siap dengan pulpennya, lalu membuka buku. "Apa yang hilang, Bu?"

Bu Sari menelan ludah. "Bantal saya,"

Pak polisi melotot, "Bantal?"

"Iya, Bantal saya. Baru saya pulang, rumah saya sudah dalam keadaan terbuka. Ketika saya tengok ke kamar, ternyata bantal guling saya hilang."

Pak polisi berpikir sejenak. "Ada barang lain yang hilang?"

"Ada, teve saya hilang."

"Teve? Tapi kenapa Ibu hanya melaporkan bantal ibu saja?"

Bu Sari diam sejenak. "Karena.. karena harga bantal saya lebih mahal dari teve, Pak."

Dahi pak polisi berkerut. Dalam bayangannya ada sebuah bantal emas, dengan sayap mengkilat dan melayang-layang. "Bagaimana bisa bantal Ibu lebih mahal dari Teve? "

"Karena bantal saya terbuat dari uang, Pak!"

Pak polisi masih tak mengerti. "Memang semua barang dibuatnya dari uang, Ibu! Kapasnya beli pake uang, benang pake uang, kain pake uang..."

"Bukan begitu, Pak! Itu bantal celengan saya! isinya uang semua!"

Pak polisi hanya melongo. Membayangkan, sebuah bantal dengan bahan pengisi berupa uang.

ini percobaan, merambah ke genre lain.keknya ga seru hikss

Kamis, 15 Januari 2009

08.38.00

Ubi dan Daging Sapi

Sebuah keluarga di tepian kali, sudah beberapa hari meranggas karena kekurangan makanan. Mereka miskin, teramat miskin untuk membeli beras. Jangankan beras, kadang mereka hanya makan ubi atau umbi-umbian lain yang tumbuh di sekitar. Dan sedikit beruntung karena mereka tinggal di dekat sungai, sehingga tanah yang mereka diami sedikit subur.

Dan sekarang, makanan mereka juga hanya ubi. Dan sang anak bungsu, dengan muka polosnya berujar,

"Ibu, lama-lama aku bosan makan ubi terus!"

Ayah dan Ibunya saling menatap, dengan kerling muram dan sedih.

Anak yang tertua berkata, "Jangan begitu, Dik! ini kita sudah bisa makan. Bersyukurlah!"

Ayah dan Ibunya tersenyum, terharu melihat pengertian anak sulungnya.

"Tapi aku ingin merasakan daging sapi, enakah?" lanjut anak bungsu.

Ayah dan Ibunya kembali diam. Anak sulungnya mengerti bahwa orang tuanya sedih, sementara adiknya juga terlalu polos dan ia yakin bahwa adiknya tidak bermaksud untuk menambah kesedihan orang tuanya. Hanya celoteh anak-anak istilahnya.

"Adik ingin tahu rasa daging sapi?" goda sang kakak. Saat adiknya mengangguk, ia melanjutkan. "Rasanya sama dengan rasa ubi yang kamu makan saat kamu benar-benar lapar. Apa kamu bisa membayangkan?"

Adiknya diam, membayangkan. Sesaat kemudian wajahnya menjadi cerah. "Tahu, Kak. Aku tahu, dulu kan pernah kita dua hari tidak makan karena musim kemarau, dan Ibu akhirnya dapat ubi dari Pak Lurah. Dan saat dimasak, rasanya itu enakkkkkk sekali! Apa begitu rasa daging sapi itu?"

Kakaknya mengangguk. "Begitulah rasanya. Enaknya sama, tidak berbeda sama sekali," ujarnya puas. "Nah, kalau kamu sudah tahu rasanya, apa kamu masih ingin makan daging sapi?"

Sang adik menggeleng. "Tidak, kak! Kalau rasanya sama dengan ubi, kenapa kita harus beli daging sapi yang harganya jauh lebih mahal, iya, kan, Bu?!"

Sang Ayah dan Ibu hanya bisa mengangguk, sedih, takjub, bangga, haru, dan juga lega.


NB dari penulis
awalnya idenya ga begini ding, tapi kok begini ya jadinya, kekekeke

Selasa, 13 Januari 2009

13.51.00

Payung Itu Sudah Ada Yang Punya, Ternyata


Sebuah payung dipajang di satu etalase kaca. Bentuknya indah, dengan warna manis semanis senyuman. Daunnya terbuka lebar, ramah, seakan mengundang semua orang untuk bernaung di bawahnya. Tangkainya panjang dan ramping, seperti tongkat indah sang peri. Motifnya juga unik, kain penutupnya seperti bahan rajut dengan lubang-lubang kecil, sangat orisinil dan khas, tidak ada payung lain yang seperti dia. Sistem untuk menutupnya pun canggih, menunjukan bahwa payung itu begitu mutakhir, hebat (untuk seukurannya) dan juga pintar. Semuanya, semuanya seperti dia.

Saya menyukai payung itu.
Sejak lama malah, sekitar hampir setahun, dan sayangnya baru tersadar sejak beberapa bulan yang lalu tentang itu.

Saya menyukainya, dan seperti kebanyakan orang, saya ingin memilikinya. Namun saya tahu bahwa memilikinya mengandung banyak resiko, membutuhkan banyak kesabaran.

Seandainya saya memilikinya, maka saya harus siap saat untuk merasa kedinginan suatu waktu karena kainnya yang bermotif rajut, seolah dia tidak melindungi saya walaupun caranya sebenarnya berbeda. Atau, saya harus menyediakan pikiran ekstra untuk menyaingi kehebatan sistemnya, tidak seru kan kalau payungnya hebat namun saya bodoh? Dan yang paling utama, saya harus merawatnya sedemikian rupa agar bahannya yang lembut itu tidak robek, hingga meninggalkan saya selamanya.

Tapi itu baru seandainya, karena nyatanya saya tidak bisa memilikinya.
Pernah saya mencoba untuk itu, dengan perjuangan besar kala itu, dengan resiko bahwa pengorbanan yang saya lakukan pastilah berat.
Kala itu,saya menawarkan rumah saya untuk menjadi tempatnya dipajang, namun ternyata dia masih terlalu istimewa untuk menempati ruangan saya, dan ia hanya meninggalkan selembar brosur rekamannya, yang siap saya lihat setiap hari.

Bagaimana rasanya melihatnya hanya lewat brosur?
Menyakitkan sekali, tapi entahlah, berbulan-bulan belakangan ini saya mengalaminya. Sedikit demi sedikit saya berusaha melupakan warnanya yang manis, atau sistem tutup-bukanya yang hebat, namun susah, karena mungkin karena dia begitu unik hingga susah digantikan dengan payung lain.

Hingga akhirnya tadi, seorang teman berkata, bahwa, payung itu ternyata sudah dimiliki orang lain, yang entah siapa, entah sejak kapan. Payung itu sudah ada yang punya, ternyata.

Dan sekarang, saya hanya bisa menangis sedih, dengan harapan bahwa kenangan akan brosur itu bisa menghilang secepat fisiknya.

Terimakasih, Payung Yang Manis.
Semoga berbahagia di rumah orang itu

Senin, 12 Januari 2009

14.46.00

Ashmozulaire, Negeri Tanpa Kepala

Inilah impian seorang anak manusia yang terpinggirkan oleh pergaulan zaman, yang tersudut di dalam kamarnya sendiri, dengan luka hati dan kepedihan atas sekeliling.

“Aku ingin manusia di dunia ini tidak punya wajah, sehingga tidak ada perbedaan antara tampan atau jelek, jerawatan atau mulus. Aku juga tidak ingin manusia di dunia ini punya otak, sehingga pikiran-pikiran buruk yang tercipta darinya bisa dicegah. Hanya ada hati nurani yang tulus, yang lahir dari hati. aku… aku tidak ingin manusia di dunia ini punya kepala!”

Namanya, Ash, umur delapan belas. Tidak ada yang khusus darinya, kecuali kenyataan bahwa dia berkulit hitam, dengan wajah lebar yang disebut wajah monyet oleh teman-temannya, dan sangat tidak diterimanya. Malangnya, sebutan itu datang dari seorang gadis, bernama Illie, yang sayangnya lagi, mengisi keseluruhan relung hati Ash. Bisa dibayangkan bagaimana jika orang yang kalian puja menyebut kalian muka monyet?
Ash langsung merebahkan badan setelah mengucapkan doa. Selimut ditariknya sampai ke kepala, seakan ia lelah melihat dunia. Dan memang benar, ia lelah melihat dirinya ditindas oleh pergaulan dan juga lelah melihat tipu muslihat Illie.

Ia memejamkan mata, dan tak lama, mulai tidak yakin apakah itu nyata atau maya, ia merasa berada di depan sebuah gerbang. Ia hanya melihat gelap, namun bisa merasakan dan benar-benar yakin bahwa di depannya memang gerbang. Dua orang penjaga berada disana, masing-masing berdiri tegak dengan memegang semacam tongkat yang terbuat dari bahan mengkilat.

Gerbang itu sendiri berupa dua buah pilar yang terbuat dari bahan entah apa, berwarna keemasan, dan menyangga sebuah kubah kecil. Ada tulisan mengkilat di bagian depannya, Ash mengetahuinya dan terbaca Ashmozulaire.

Seseorang muncul dari balik gerbang, Ash merasakannya. Ia tidak tahu wujudnya, namun bisa membedakan antara orang itu dengan kedua penjaga, bahwa orang ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Entah bagaimana caranya ia tahu, yang jelas pengetahuan itu muncul begitu saja seiring dengan kedatangan orang itu.

Selamat datang, di Asmozulaire, Negeri Tanpa Kepala.

Tidak terdengar apa-apa, namun Ash tahu itulah yang dikatakan orang itu.

Ash, kamu orang ke seratus sepuluh yang datang kesini. Satu orang dalam jangka seabad, dan untuk itu, kamu adalah warga kehormatan di sini. Silahkan masuk!

Ash tidak bingung, walaupun ia tidak tahu maksudnya. Ia melangkah masuk ke celah antara pilar, dengan orang itu berjalan disampingnya. Daerah di dalam pilar tidak berbeda dengan di luar tadi, hanya rasanya lebih ramai dan hangat. Pemandangan tetap gelap, tidak terlihat apa, namun Ash tahu kemana harus melangkah.

Tiba-tiba Ash ingin bertanya, tempat apa ini? Dan oh, ia terkejut, karena tanpa ia bicara, ia seakan bisa mendengar suaranya sendiri. Kenapa pertanyaanku terdengar padahal aku belum mengatakannya?

Karena kita bicara dengan bahasa hati, jawab orang itu.

Bahasa hati? Ash berhenti sejenak, seraya merasakan ada seseorang lewat di sebelahnya. Maksudnya? Apa yang aku ingin aku katakan, langsung tercetus begitu saja?

Iya

Wow, keren! Seru Ash senang. Tidak ada yang bisa disembunyikan, semua orang disini jujur karena hati mereka langsung mengatakan apa yang dirasakannya. Benar-benar keren…

Bukankah kamu sendiri yang menginginkannya?! Kata orang itu, seraya kembali melangkah.

Aku? Sentak Ash terkejut, makin terkejut karena nyata-nyatanya hatinya langsung mengungkapkan keterkejutannya. Oh, sial, aku harus menjaga perasaanku! Sesalnya lagi, dan lagi-lagi meringis karena tetap lupa mengontrol apa yang dirasakannya.

Orang itu tertawa. Lucu sekali, begitu suara hatinya. Lucu sekali, lucu sekali, lucu sekali…

Hmm… Ash menggumam, dan orang itu menghentikan tawanya, dan berdeham.

Kamu yang menginginkannya, dan Tuhan menyampaikannya padaku tadi.. jawab orang itu. Ingatkah kamu? bahwa kamu memintanya pada Tuhan tadi, negeri tanpa wajah, negeri tanpa otak, dan negeri tanpa kepala!

Dan jadi kenyataan? sentak Ash cepat, karena jujur ia kaget. Aku tidak tahu kalau doaku dijawab secepat ini, dan.. dan.. dan... apa benar aku tidak punya kepala sekarang? dan bagaimana aku melihat, mendengar atau mengetahui sekeliling? batin Ash terburu-buru, sambil menaikan kedua lengannya ke atas tubuh. benar saja, ia tidak punya kepala, bagian atas badannya hanya sebatas leher.

Orang itu tertawa kecil. Sebenarnya kamu tidak perlu heran akan semua itu. Karena kamu sendiri sudah merasakannya. Kamu tahu kan bahwa kita sedang berjalan dimana? bersama siapa, dan bahkan ada apa di sekitar kita sekarang?!

Ash diam, mengerti. Iya, aku tahu begitu saja, entahlah. Aku tahu, sekarang ada dua orang di belakang, sedang berjalan dan bergandengan tangan. Ada semut di sebelah kakiku, ada pohon kelapa di sisi jalan, tumbuh terpisah dengan jarak tertaur, dan.. dan.. dan...

Ada suara hati lain, dan Ash sadar itu dari Pohon kelapa terdekat. Kamu benar anak muda, disini kita semua bisa berkomunikasi, selama sesuatu itupunya hati dan nyawa, semuanya bisa berkomunikasi.

Ash takjub. Betapa menyenangkannya,

Iya, menyenangkan. karena itulah negeri impian, negeri yang kita impikan bersama. sahut orang di sampingnya.

Dan tanpa wajah juga, kan?! dan, kamu tahu bukan, wajahku jelek, karena itu aku benci kalau manusia punya wajah, sahut Ash dengan semangat.

Tanpa wajah,tanpa mata, tanpa telinga, tanpa hidung, tanpa otak, tanpa rambut dan tetek bengek lain yang membuat kita khawatir rusak atau cacat. Hanya ada hati, dan itulah impianmu, dan juga impianku! jawab orang itu.

Ash tersenyum, walau ia tahu tidak akan ada orang yang melihatnya, namun dua orang di belakangnya, yang ia tahu sebagai gadis-gadis, terkikik malu-malu dengan senyumnya.

Mereka terus berjalan, hingga sampai di samping sebuah kolam dan mereka berhenti. Ash merasakan ada kehadiran makhluk-makhluk air disana, ikan, kepiting, katak, belut, dan udang. Menyadari udang besar itu, girang Ash tidak tertahankan.

Ada lobster, oh, aku suka sekali makan lobster! seru Ash.

Tiba-tiba lobster itu marah. Enak saja! Disini, aku sama denganmu. Jika aku bisa dimakan, maka kamupun bisa dimakan!

Ash menggeleng. Enak saja, masak manusia mau dimakan, kata hati Ash.

Lobster itu makin marah. Kenapa aneh?

Tentu saja aneh, kamu mau makan aku? Mana boleh binatang makan manusia, mana bisa. yang bisa dimakan ya kamu, binatang. karena kamu binatang, diciptakan Tuhan untuk membantu manusia!


Yang marah tidak hanya sang lobster, namun Ikan, kepiting, katak, bahkan binatang-binatang di sekeliling. Ash menyadari kehadiran mereka di sekeliling, mengepungnya dari segala penjuru. Itu membuat Ash panik, nampaknya seisi Ashmozulaire marah, karena bukan hanya binatang, para manusiapun mulai berkerumun.

Orang yang mendampingi Ash mengambil alih keadaan, ia mengangkat tangan, mencoba menyabarkan semuanya. Sabar saudara-saudara! Ash masih baru disini, ia belum tahu sekeliling. Jadi ia masih membawa kebiasaannya di dunia yang dulu. Sekarang tugas kitalah yang membimbingnya, mengajarinya agar menjadi hati yang tulus dan baik disini.

Mengerikan sekali disini! ujar hati Ash tiba-tiba, dan karena hatinya menyuarakan apa yang dirasakannya, semua orang bisa mengetahuinya. Kemudian ia kaget sendiri, karena merasa perhatian semuanya mengarah padanya.

Ash, kontrollah suara hatimu! nasehat orang disampingnya, karena kita semua disini berbagi segalanya.

Ash menggeleng. Aku susah mengaturnya, karena kadang hatiku bersuara sendiri.

Itu karena dia bukan orang jujur, sahut sang lobster. Kalau ia jujur dan baik hati, ia tidak akan berpikir untuk memakanku, Tuan!


Itu karena aku bukan vegetarian! Aku tidak hanya makan tumbuha, tapi daging juga! sahut Ash cepat, secepat ia bisa menguasai diri. Dan akibatnya, semuanya makin marah.

Enak saja, tidak ada rantai makanan disini, seru pohon kelapa. Tidak ada yang makan memakan, terserah itu binatang atau tumbuhan. Semua disini sama!

Ash mengerang. Ia membayangkan tidak bisa makan lobster, atau kerang yang disukainya. Tidak bisa mengumpat dalam hati karena semua orang akan mengetahuinya. Ide-idenya yang brilian juga bisa dicuri, dan juga, ia tidak akan bisa lagi berfantasy akan Illie. Begitu banyak yang tidak bisa ia lakukan, dan ia jadi ingat bagaimana reaksi teman-temannya saat ia menemukan ide untuk membuat mesin pembuat roti.

Ia bukan seorang yang baik, ia tidak cocok disini!
Dia masih memikirkan memakan aku dan lobster
Betul, dia juga tidak suka berbagi
Dia orang jorok
Hatinya busuk
Tidak ada tempat untuk orang seperti itu disini
Betul, hatinya penuh hawa nafsu
Usir dia dari sini!
Musnahkan dia!
Usir dia!
Ashmozulaire tidak bisa menerima orang seperti dia



Suara-suara itu terus berteriak di sekeliling, Ash tahu mereka marah. Ia jadi panik, merasa bahwa ia tersudut dan mereka semakin mengepungnya. Tolong aku! pekik suara hati Ash, namun semuanya tidak menerima kenyataan bahwa ia masih punya hawa nafsu dalam hatinya.

Semuanya semakin mengepungnya, Sang Tuan, yang sedari tadi bersamanya juga tidak bisa melakukan apa-apa. Penjelasannya tidak didengar, dan kemarahan penghuni Ashmozulaire telah meluap.

Akhirnya Ash memutusan untuk kabur. Dalam kekalutannya, ia mengingat Illie. Gadis itu tidak menyukainya karena ia jelek, itu pendapat secara fisik. Namun penghuni Ashmozulaire tidak menyukainya karena hatinya masih penuh hawa nafsu, itu pendapat yang lebih mendalam. Di sela-sela pelariannya menuju gerbang, mau tidak mau, ia membandingkan keduanya. Keduanya sama-sama berpendapat buruk tentangnya, namun ada lobster dan kerang yang enak, dengan saus tiram di meja makannya, dan perutnya yang gendut merindukan aromanya itu. Dan, hatinya berkata, aku mau kembali ke duniaku, cepatlah lari, Ash!

Gerbang masih jauh di depan, namun selesai membatin begitu, tiba-tiba ada tangan besar dari atas. Warnanya cerah, seperti cahaya. Tangan Cahaya itu mengayun ke arahnya, meraup Ash ke telapaknya dan membawanya naik menyongsong cahaya.
*****

Blar...
kilat menyambar. Ash tersentak lalu terlonjak bangun dari tidurnya. Napasnya terengah, dan ia buru-buru memegangi kepalanya.

"Syukurlah!" erangnya lega, kepalanya masih utuh. Lalu wajahnya yang lebar, semuanya masih ada, termasuk jerawat-jerawatnya yang banyak. Ash bersyukur dalam hati bahwa ia tidak kehilangan itu, dan ia tambah bersyukur, hatinya tidak menyuarakan suaranya sendiri.

"Oh, terimakasih. Aku bisa mengontrol semuanya!" teriaknya gembira. Dan lalu, ia ingat sesuatu dan terlonjak turun dari tempat tidur. Ia berlari keluar kamar, menuruni tangga dan sampai di ruang tengah dengan meja yang diapit anak kursi. Tudung Saji merah tergelatak di atas meja, dan karena terlalu sedih atas ejekan Illie tadi sore, ia lupa membuka tudung itu. Dan ternyata, uhh.... rupanya ada lobster besar di bawahnya, lengkap dengan kerang dan saos tiram.

"Uh, lezatt....!"

Siapa yang peduli dengan negeri impian tanpa kepala, dengan hanya orang jujur di dalamnya jika ada lobster dan kerang saus tiram di atas meja?


untuk Ary Al Andonesy
sebuah impian merupakan hal baik, namun jauh dairpada itu, kenyataanlah yang terbaik.
selamat bermimpi

Jumat, 09 Januari 2009

16.40.00

Cerita Tentang Nenek Pemakan Katak

Sinar bulan sedang penuh, purnama di kaki bukit. Angin-angin bersiul nakal, menyukai kedamaian semesta dalam bingkai malam ini. Sawah-sawah bersorak gembira setelah hujan, kini menghidupkan derik katak dan jangkerik di sekitarnya. Alam sedang bersenandung.

Di bawah pohon Andita bertanya pada kakaknya. "Kakak, memang benar cerita Nenek Pemakan Katak itu ada?"

Kakak mengangguk. "Ceritanya begitu pada jaman dahulu."

Andita bersila, sambil mendekatkan badan ke kakaknya. "Bagaimana ceritanya?"

Kakak tersenyum, dan mulai bercerita. "Katanya pada malam kajeng kliwon, para nenek yang bisa ilmu hitam butuh makanan untuk ilmunya. Mereka membawa ketupat bekas sesajen hari itu, saat semua sudah terlelap di alam mimpi, sang nenek mengendap-endap keluar rumah. Ia membawa tongkatnya, berjalan terbungkuk-bungkuk menuju sawah. Seekor katak saat itu lewat, meloncat-loncat kegirangan oleh air dan cahaya bulan. Ia tidak sadar ada langkah yang mendekat. Ia terus meloncat, hingga sang nenek menangkapnya."

Andita mengerang ngeri. Tapi ia mendengarkan jua lanjutan cerita kakak.

"Katak itu dimakan, dipakai lauk ketupat yang dibawa sang Nenek. Kemudian katak-katak yang lain ikut menjadi santapan sang Nenek. Hingga akhirnya pagi menjelang, sang Nenek kekenyangan, ketika hendak pulang ia baru sadar kalau perutnya membesar. Karena panik, maka di sepanjang jalan, ia memuntahkan lagi makanannya di atas pematang-pematang sawah. Dan esoknya, orang-orang akan menemukan tumpukan kotoran putih bercampur abu-abu seperti kulit kodok."

Andita merinding. Ia melihat sekeliling dengan ketakutan. "Kenapa ceritanya seram begitu?"

"Memang begitulah keadaanya."

"Lalu, apakah bayangan bungkuk yang di pematang sawah sebelah barat itu adalah Nenek itu?"

Kakak menoleh ke arah yang ditunjuk Andita. Tampak bayangan orang bungkuk sedang mengendap-endap di pematang sawah, membawa sebuah tongkat dengan sesuatu seperti bungkusan tersangkut di ujung tongkatnya.

Kakak mendelik kaget, lalu meraup Anditia dan menggendongnya pulang.


10 September 2008
Kenangan akan Impian yang telah mati


Rabu, 07 Januari 2009

12.49.00

Kupu-kupu Mbak Fata

Malam bolong, ketika bertamu di rumah si Panah Hujan, dan merampas inetnya yang super lemot, saya melihat pesan dari
Mbak fata. Oh, ternyata saya dapat award, yang dikarenakan judul blognya BINTANG UTARA.

Asyik, award pertama tanpa PR (maaf, ada dua utang PR ke Memi dan Mbak fata yang belum dikerjakan hehehe).Cepat deh dipajang.

Dan, sesuai juga aturan, saya juga harus ngasi ini award ke orang lain (walau belum yakin apa cukup kompeten ngasi award), saya mau ngasi award yang sama pada Memi untuk ide ide tulisannya yang kreatif dan informatif. Diterima yak Mi, noh, itu yang ada gambar kupu-kupunya.

Dan untuk memi, ada aturan mainnya lagi ini. seperti ini:
1. Put the logo on your blog.
2. Add a link to the person who awarded it to you.
3. Link to the other bloggers whom you wanted to share this award to.
4. Give a reason why you consider that person's blog cool.

Selasa, 06 Januari 2009

16.48.00

Sup Tulang untuk Edel

Air bergelegak di dalam kuali tanah. Aroma kaldu yang gurih menyumpal hidung, berbaur dengan uap yang menerbangkannya ke segala arah. Buih-buih hasil penguraian rempah-rempah bergelembungan di permukaan air, semakin banyak ketika kayu bakar didorong semakin masuk ke dalam tungku bata dengan tumpukan batu berjelaga hitam pekat.

Wanita itu datang membawa sebuah kuali yang lebih kecil. Wajahnya sayu dan pucat. Matanya memandang getir semua hal, menaruh pesimisme menyakitkan dalam setiap pemandangan yang terlihat olehnya, ataupun tentang banyak pikiran yang berusaha menyingkirkan bayangan Edel di benak. Wanita itu terjebak dalam kekalutannya sendiri, entah apa, hanya dia yang tahu.

Edel, anakku. Kemanakah engkau pergi? Teriak suara hatinya.

Wanita itu duduk di depan tungku, mulai menuang isi dari kuali kecil. Potongan wortel dan bawang putih, akan menambah sedikit cita rasa dalam masakannya. Wanita itu yakin Edel akan menyukainya, berniat pulang untuk makan sebanyak apapun yang ia bisa.

Mata wanita itu berkilat, sangat yakin bahwa aroma masakannya benar-benar mengundang selera. Ia mengambil sendok kayu dan mulai mengaduk sup. Terdengar benturan bahan-bahan sup yang keras dengan dasar kuali. Wanita itu menyeringai, tulang yang ia tambahkan sebagai bahan kaldu masih utuh sekalipun sudah sangat lama direbus. Tulang yang tahan lama, terbuat dari bahan paling sempurna di bumi.

Sembari mengaduk, wanita itu menoleh ke palang pintu. Kosong, hanya gundukan tanah-tanah pekuburan dengan batu nisan yang sudah hancur saja yang tampak. Sama sekali tidak ada Edel kecilnya berlari-lari mendekat dengan wajah ceria. Wanita itu meringis, kemanakah Edel pergi?

Ia kembali mengaduk. Uap makin membumbung, mengingatkannya pada kabut pekat di pagi hari semenjak kepergian Edel untuk bermain. Di lapangan sebelah sungai katanya. Dengan seekor Nifrefh, kupu-kupu cahaya yang seringkali datang mengunjunginya saat sendiri.

Membayangkan anaknya, wanita itu makin bersemangat mengaduk, melupakan sebilah parang yang ia pakai untuk memotong tulang-tulang bahan kaldunya kemarin pagi. Darah merah telah mengering, walaupun para lalat masih bergairah berkerumun. Bukan pada parangnya, namun pada sisa-sisa daging yang berceceran di atas tetampah. Wanita itu membelai tampah dan parangnya, menyayanginya sepenuh hati karena dengan dua benda itu ia bisa mendapat makan enak dua hari ini.

“Edel pulanglah! Ibu menunggumu di rumah, dengan sup tulang kesukaanmu, kali ini dengan tulang super istimewa yang Ibu ambil dari… ” Wanita itu menyeringai sambil menyendok tulang bahan kaldu dari kuali dan mengangkatnya sedikit. Ia tertawa, “kepalamu sendiri”

Tulang tengkorak kecil itu sudah mulai melunak, akibat dua hari direbus.

cerita pernah diposting di kemudian.com

Senin, 05 Januari 2009

09.20.00

Sebelum Tidur

Edisi Minggu, 4 Januari 2009
Lampu kamar telah mati. Pencahayaan dua duanya hanya berasal dari lampu teras dan televisi yang belum dimatikan. Ribut suara yang mengatakan bahwa snack ini enak terdengar di sekeliling kamar, berputar-putar di ruangan dan menyajikan amanat bahwa esok saya harus mencobanya. tapi maaf, kali ini saya tidak tertarik.

Saya naik ke ranjang, bersimpuh di atas seprai kesayangan yang hangat saat dingin namun adem saat panas. kedua tangan terangkat, tertangkup di depan dada dan kemudian, semua terjadi, seperti biasa...


Untuk Tuhan,

Tuhan, aku mohon....(diam sesaat, menarik napas), tunjukan jalan yang harus kutempuh. beri aku restu untuk mencapai apa yang menjadi tujuan hidupku. tetaplah membimbingku, karena aku tahu semua terjadi berkat ijin-Mu.Tetapkan jalanku agar aku tidak berpaling terlalu jauh, atau menyerah di tengah jalan.

Tolong, saat aku jatuh, berilah aku kekuatan untuk bangun dan kembali berlari. saat aku putus asa, berilah aku semangat hingga aku selalu bisa mengatasinya.

Hanya itu untuk kali ini, Terimakasih. Aku tidur.


bersambung, sampai malam selanjutnya ^ ^

Jumat, 02 Januari 2009

15.22.00

Say, Nikah, Yuk!

Malam tahun baru saya ditelpon sama seorang sahabat.Sebut saja namanya Ayu.
"Aku bawa berita buruk," katanya. Saat saya tanya beritanya apa, dia menjawab, "Aku diajain nikah,"

WHAT??
bukannya harusnya dia senang, atau seperti iklan di teve itu yang memperlihatkan seorang gadis dilamar dan ia membanggakan cincinnya sambil berkata "Aku dilamar..."

Haha, saya tertawa ngakak. lucu. Masalahnya dia belum siap akan berkeluarga, umurnya masih sebaya saya dan masih senang main-main. Belum lagi, cowoknya memang belum mapan banget, belum juga lulus kuliah, namun sang mertua sudah kebelet nimang cucu. padahal cowoknya itu anak kedua, namun udah ditentukan pembagian bahwa ia harus memberi cucu cowok. (halah)

lain ceritanya dengan teman saya yang lain, sebut saja Dewi. Sudah sering ia cerita saat ketemu kalau pacarnya mendesaknya untuk cepat-cepat merid. saking sayangnya, cowoknya sampai pindah kerja ke bali hanya untuk 'menjaga' dia agar tidak diambil cowok lain. padahal cowok itu menyukai hidupnya di Jakarta.

Namun sampai sekitar setahun pindah, dewi tetap saja belum setuju untuk menikah. alasannya sama, belum siap, padahal cowoknya udah mau kepala tiga, anak pertama lagi.

wkwkwk....
ada ada aja kelucuan sahabat-sahabat saya. Satu persatu diantara mereka dipinang dan diajak nikah, saya yang menampung cerita mereka sih (sementara) hanya bisa ngakak. semetara yah. karena saat mereka benar-benar menikah, saya pasti akan merasa kehilangan (jahat ya?).
But, semua kan harus berjalan.

dan ough, jadi ingat kasus teman sekamar saya dulu. sebut saja Pipit. dia punya pacar umur menjelang tiga puluhan, siap lahir batin dan kepala (ups apa hubungannya?) dan lagi-lagi, cowoknya mendesaknya untuk merid. parahnya dikasih batas waktu lagi (kek somasi aj). kalau dalam jangka waktu yang ditentukan Pipit ga mau nikah, maka cowoknya akan tetap nikah dengan cewek lain.

Hmm... bingung? tentu saja dia bingung. jangankan dia, saya yang dimintain pendapat aja bingung. secara, saya ga pengalaman soal itu. namun setelah banyak pertimbangan, termasuk dari keluarganya, akhirnya mereka merid sudah, dan anaknya sudah hampir setengah tahun belun saya tengok.

hiiii...
melihat rentetan fenomena ini, saya ngikik sendiri. begitu rumit ya keputusan untuk berumah tangga itu, seakan tidak pernah ada istilah yang namanya 'siap', setiap bride selalu mengatakan bahwa ia siap atau tidak siap, hal itu haruslah dijalanin.
dan melihat kenyataan, kakak ipar saya sendiri yang menikah pada umur 15 tahun, toh siap ga siap, sekarang setelah hampir satu setengah tahun menikah dan punya anak yang siap menempel saat saya pulang, kesiapan itu memang akan datang ketika memang diinginkan dan diharuskan.

hah, pusing ama kata kata saya?
jangan pusing, karena saya juga pusing jika disuru memberi saran oleh Ayu ataupun Dewi nanti.

About