Sup Tulang untuk Edel
Air bergelegak di dalam kuali tanah. Aroma kaldu yang gurih menyumpal hidung, berbaur dengan uap yang menerbangkannya ke segala arah. Buih-buih hasil penguraian rempah-rempah bergelembungan di permukaan air, semakin banyak ketika kayu bakar didorong semakin masuk ke dalam tungku bata dengan tumpukan batu berjelaga hitam pekat.
Wanita itu datang membawa sebuah kuali yang lebih kecil. Wajahnya sayu dan pucat. Matanya memandang getir semua hal, menaruh pesimisme menyakitkan dalam setiap pemandangan yang terlihat olehnya, ataupun tentang banyak pikiran yang berusaha menyingkirkan bayangan Edel di benak. Wanita itu terjebak dalam kekalutannya sendiri, entah apa, hanya dia yang tahu.
Edel, anakku. Kemanakah engkau pergi? Teriak suara hatinya.
Wanita itu duduk di depan tungku, mulai menuang isi dari kuali kecil. Potongan wortel dan bawang putih, akan menambah sedikit cita rasa dalam masakannya. Wanita itu yakin Edel akan menyukainya, berniat pulang untuk makan sebanyak apapun yang ia bisa.
Mata wanita itu berkilat, sangat yakin bahwa aroma masakannya benar-benar mengundang selera. Ia mengambil sendok kayu dan mulai mengaduk sup. Terdengar benturan bahan-bahan sup yang keras dengan dasar kuali. Wanita itu menyeringai, tulang yang ia tambahkan sebagai bahan kaldu masih utuh sekalipun sudah sangat lama direbus. Tulang yang tahan lama, terbuat dari bahan paling sempurna di bumi.
Sembari mengaduk, wanita itu menoleh ke palang pintu. Kosong, hanya gundukan tanah-tanah pekuburan dengan batu nisan yang sudah hancur saja yang tampak. Sama sekali tidak ada Edel kecilnya berlari-lari mendekat dengan wajah ceria. Wanita itu meringis, kemanakah Edel pergi?
Ia kembali mengaduk. Uap makin membumbung, mengingatkannya pada kabut pekat di pagi hari semenjak kepergian Edel untuk bermain. Di lapangan sebelah sungai katanya. Dengan seekor Nifrefh, kupu-kupu cahaya yang seringkali datang mengunjunginya saat sendiri.
Membayangkan anaknya, wanita itu makin bersemangat mengaduk, melupakan sebilah parang yang ia pakai untuk memotong tulang-tulang bahan kaldunya kemarin pagi. Darah merah telah mengering, walaupun para lalat masih bergairah berkerumun. Bukan pada parangnya, namun pada sisa-sisa daging yang berceceran di atas tetampah. Wanita itu membelai tampah dan parangnya, menyayanginya sepenuh hati karena dengan dua benda itu ia bisa mendapat makan enak dua hari ini.
“Edel pulanglah! Ibu menunggumu di rumah, dengan sup tulang kesukaanmu, kali ini dengan tulang super istimewa yang Ibu ambil dari… ” Wanita itu menyeringai sambil menyendok tulang bahan kaldu dari kuali dan mengangkatnya sedikit. Ia tertawa, “kepalamu sendiri”
Tulang tengkorak kecil itu sudah mulai melunak, akibat dua hari direbus.
cerita pernah diposting di kemudian.com
Wanita itu datang membawa sebuah kuali yang lebih kecil. Wajahnya sayu dan pucat. Matanya memandang getir semua hal, menaruh pesimisme menyakitkan dalam setiap pemandangan yang terlihat olehnya, ataupun tentang banyak pikiran yang berusaha menyingkirkan bayangan Edel di benak. Wanita itu terjebak dalam kekalutannya sendiri, entah apa, hanya dia yang tahu.
Edel, anakku. Kemanakah engkau pergi? Teriak suara hatinya.
Wanita itu duduk di depan tungku, mulai menuang isi dari kuali kecil. Potongan wortel dan bawang putih, akan menambah sedikit cita rasa dalam masakannya. Wanita itu yakin Edel akan menyukainya, berniat pulang untuk makan sebanyak apapun yang ia bisa.
Mata wanita itu berkilat, sangat yakin bahwa aroma masakannya benar-benar mengundang selera. Ia mengambil sendok kayu dan mulai mengaduk sup. Terdengar benturan bahan-bahan sup yang keras dengan dasar kuali. Wanita itu menyeringai, tulang yang ia tambahkan sebagai bahan kaldu masih utuh sekalipun sudah sangat lama direbus. Tulang yang tahan lama, terbuat dari bahan paling sempurna di bumi.
Sembari mengaduk, wanita itu menoleh ke palang pintu. Kosong, hanya gundukan tanah-tanah pekuburan dengan batu nisan yang sudah hancur saja yang tampak. Sama sekali tidak ada Edel kecilnya berlari-lari mendekat dengan wajah ceria. Wanita itu meringis, kemanakah Edel pergi?
Ia kembali mengaduk. Uap makin membumbung, mengingatkannya pada kabut pekat di pagi hari semenjak kepergian Edel untuk bermain. Di lapangan sebelah sungai katanya. Dengan seekor Nifrefh, kupu-kupu cahaya yang seringkali datang mengunjunginya saat sendiri.
Membayangkan anaknya, wanita itu makin bersemangat mengaduk, melupakan sebilah parang yang ia pakai untuk memotong tulang-tulang bahan kaldunya kemarin pagi. Darah merah telah mengering, walaupun para lalat masih bergairah berkerumun. Bukan pada parangnya, namun pada sisa-sisa daging yang berceceran di atas tetampah. Wanita itu membelai tampah dan parangnya, menyayanginya sepenuh hati karena dengan dua benda itu ia bisa mendapat makan enak dua hari ini.
“Edel pulanglah! Ibu menunggumu di rumah, dengan sup tulang kesukaanmu, kali ini dengan tulang super istimewa yang Ibu ambil dari… ” Wanita itu menyeringai sambil menyendok tulang bahan kaldu dari kuali dan mengangkatnya sedikit. Ia tertawa, “kepalamu sendiri”
Tulang tengkorak kecil itu sudah mulai melunak, akibat dua hari direbus.
cerita pernah diposting di kemudian.com
awal baca cerita ini begitu larut oleh kalimatnya yang deskriptif namun ketika ending kubaca , kulangsung lari terbirit2! sungguh mengerikan !!!!
BalasHapusseseorang yang sendiri tanpa siapapun akan mengalami gagngguan jiwa,maka alangkah baiknya kita memberi perhatian kepada mereka,haiah
BalasHapusserems...tp indah
BalasHapusiih...kanibal banget tuh si ibu. Sakit jiwa ya...duh, jadi gak berani makan sup daging nih. ihhhh...
BalasHapusjaaahhhh gak mau koment apa2 ach.... membayangkannya udah ngeri aq.....
BalasHapusKamu kayaknya berbakat nulis cerita misteri yang ginian chi...
BalasHapus