Cerita Telur (repost)
Di sebuah peternakan ayam, ruang incubator sedang sibuk-sibuknya. Sekali lagi, ini adalah musim dingin, jadi ayam-ayam akan merasa sangat kerepotan mengerami telor-telornya. Selain itu,para ayam menganggap bahwa lebih baik mereka tidak mengerami anak. Toh sudah ada yang menanganinya.
Dua ekor ayam betina berusia tiga minggu berjalan beriringan. Mereka memakai setelan putih pudar yang mengingatkanku pada seragam suster ngesot, topi perawat bertengger diatas bulu-bulu mereka dan mereka memakai rok dengan model berbeda. Salah satu memakai rok span pendek yang seharusnya, satunya lagi memakai rok model pencil yang panjang dengan belahan di kiri kanannya. Bisa dibayangkan berapa meter kain yang mereka habiskan untuk menutupi pantat mereka yang menonjol ke belakang. Tapi sudahlah! Toh mereka kini melenggok-lenggok anggun.
Mereka tiba di ruangan isolasi, tempat dimana telur-telur yang lahir (terjadi sesuatu dalam perjalanan membuatnya) tidak sempurna. Ruang ini letaknya paling ujung, pintunya langsung menghadap koridor dan selalu dalam keadaan tertutup.
“Kau lihat kan telur malang yang diduduki induknya kemarin?” Tanya salah seorang ayam perawat dengan rok pensil serta jambul lebatnya, wajahnya menunjukkan rasa kasihan, “Seandainya induknya bisa melahirkannya tanpa mendudukinya, kuyakin ia akan tetap mulus sampai cangkangnya pecah.”
Temannya hanya tersenyum, “Yah, kita bangsa burung tak akan bisa melahirkan kalau tidak menduduki telur kita,” sahutnya enteng sambil mengeluarkan segenggam kunci dari saku bajunya.
“Yah, setidaknya induknya harus mendudukinya secara…” ia mengangkat bahu, sambil mengibaskan jambulnya ia menoleh ke kanan, “… pelan-pelan!”
Temannya tak menanggapi, ia sibuk membuka pintu.
Ruang isolasi adalah ruang terhangat (untuk ukuran ayam), ukurannya tak lebih dari tiga puluh centi persegi. Dua buah telur besar lonjong di balik dinding kaca langsung terpampang begitu pintu menjeblab. Kedua perawat ayam memeriksa banyak hal, mengatur suhu, memutar lampu, membersihkan ceceran debu sampai mematuki semut-semut yang menjilati ceceran protein telur di lantai.
Sekitar setengah jam kemudian, setelah memastikan semua baik-baik saja merekapun akhirnya kembali menutup pintu dan pergi dengan gema suara sepatunya menggaung di koridor.
Ruang isolasi kembali gelap gulita. Sesaat setelah pintu tertutup, setelah suara sepatu si perawat menghilang, sebuah ringkikan pelan terdengar.
“Hiii… perawat yang sama kukira, Dez!”
Telur itu ternyata bisa berbicara. Mereka berdua terkikik keras, baru ketika suara keretakan terdengar, sebutir dari telor itu berseru.
“Sudah Dez! Jangan tertawa lagi, nanti retakan cangkakmu tambah keras!”
Helaan napas terdengar dari telur di sisi kanan, mereka ditempatkan di sebuah incubator yang beralaskan kain lembut dan empuk. Telur yang kanan, seperti disampaikan perawat ayam yang ganjen, cangkng bagian atasnya pecah dan penyok. Karena itu ia tak boleh bergerak ataupun bersuara terlalu keras kalau masih mau berhasil menetas.
“Yah, kurasa perawat ganjen itu benar. Indukku tak seharusnya mendudukiku saat aku lahir. Kalau tidak… mungkin aku akan lahir sempurna dan bisa bebas tertawa sepertimu, Zill” kata telur itu dengan nada iri.
Zill, telur di sebelah kiri mengeluarkan dengungan pilu, “Oh Dez, jangan begitu! Kalau aku sempurna, aku tak akan bisa berada disini. Kau lihat kan! Cangkangku cokelat pucat, tak berbintik cantik seperti saudaraku. Beratku kurang karena cairan putihku kurang. Setiap hari aku juga diberi infuse, kalau tidak aku tak akan bisa menetas sempurna, sepertimu.”
Mereka berdua terdiam sesaat, saling meratapi kemalangan masing-masing. Namun setelah beberapa waktu, mereka sadar bahwa kemalangan ini akan semakin menjadi malang kalau diratapi.
“Semuanya ada hikmahnya, kurasa!” sahut Zill.
Dez setuju, “Iya! Kalau tidak sama-sama malang, belum tentu kita bertemu dan bersama-sama seperti ini.”
“Aku ingin tetap bersama saat kita menetas nanti,” pinta Zill.
Dez ragu-ragu, “Kalau aku lahir tak sempurna, apa kau masih mau menerimaku?”
Tarikan napas Zill terdengar panjang, “Aku akan menerimamu apa adanya, sebab kurasa aku akan lebih nyaman bersama-samamu daripada perawat-perawat centil itu.”
Keduanya lalu tertawa senang. Setelah sepakat tentang hal itu, merekapun melalui hari-hari dengan saling menghibur satu sama lain. Saat Zill menjalani infuse atau tranfusi putih telur, Dez siang malam berdoa. Ketika Dez mengalami rahabilitasi cangkangnya untuk menghindari infeksi, Zill dengan setia menemaninya. Mereka menjadi pasangan yang saling mengisi bahkan ketika belum menjejak bumi sama sekali, dan mensyukuri keberadaan satu sama lain di sisinya.
Waktunya menetas akhirnya tiba. Berdua mereka gugup menunggu hari itu. Mereka sudah tak sabar untuk berangkulan, maklum, selagi didalam telur mereka tentu saja tak dapat melakukannya.
Sang ayam perawat semakin sering menengok mereka, kadang bergiliran dengan ayam dokter dengan stetoskopnya yang mengerikan tergantung di leher. Kedua telur terus saja saling mendukung, dan hati mereka semakin dekat satu sama lain.
Hari H akhirnya tiba, di pagi-pagi buta, ketika matahari belum terbit dan ayah-ayah mereka yang banyak di luar sana berkokok sombong, keretakkan terdengar dari cangkak Dez. Cangkangnya pecah, terbelah menjadi dua. Seekor anak ayam tampan, berbulu kuning gading halus, berparuh kuning muda, berkaki cokelat muda berdiri di tengah-tengah belahan cangkak.
“Dez….” Zill berseru di sampingnya, “Kau tampan sekali! Tak pernah aku melihat anak ayam setampan engkau!”
Dez, dengan malu-malu mengibaskan bulu-bulu jarumnya. Ia meliuk pelan, tubuh mungilnya lahir sempurna. Ia berjalan, sambil memekik kegirangan ia melompat-lompat riang. Tubuh yang sempurna, kebebasan yang sempurna.
“Kau senang Dez?” Tanya Zill dengan manja.
Dez, dengan langkah gagahnya mendekati Zill yang belum menetas.
“Aku senang sekali, sayangku!” ujarnya, suaranya terdengar lebih merdu daripada sewaktu di dalam telur, “Dan aku yakin kau juga akan cantik,” lanjutnya sambil menggosokkan kepala ke cangkak Zill.
Tepat saat itu terdengar derap sepatu snag perawat dari koridor dan diikuti suara kunci diputar. Pintu kemudian terbuka, cahaya matahari pagi menyorot langsung ke dalam incubator. Dua ekor ayam perawat langsung tercengang melihat makhluk mungil di dalamnya, mereka langsung memekik kegirangan dan berlari mendekat.
“Oh Na, lihatlah dia! Dia tampan sekali.” Seru perawat berjambul lebat sambil menempelkan paruhnya ke dinding incubator.
Ayam perawat yang dipanggil sedang sibuk memencet sebuah kepala ayam yang menempel di dinding tak jauh dair incubator. Itu adalah bel pemanggil, dan tak lama dokter ayam menerjang masuk dengan wajah masih berbau ranjang.
“Apa yang terjadi?” teriaknya, tapi ia langsung terpana melihat Dez yang tengah menggosokkan paruhnya ke kulit Zill. “Oh, dia sudah lahir, dia sudah menetas. Na, Ketie, cepat keluarkan dia!”
Zill yang masih didalam telur panic, ia tak rela menetas tanpa ditemani Dez. Dez pun demikian, ia tak mau dibawa pergi kalau tidak bersama Zill. Karena itu, ketika perawat Ketie memasukan paruhnya untuk membimbing Dez keluar, Dez bersembunyi di balik telur Zill.
“Ayolah ayam tampan! Kemari, kita lihat dunia luar. Kita lihat matahari bersama tante Ketie!” pinta Ketie.
Tapi Dez tidak mau, ia tetap bersembunyi.
“Kelihatannya dia tidak mau,” tebak Na, otaknya yang sebesar apel berpikir keras, “Kurasa ia mau menunggu temannya.”
Dokter ayam menunduk, matanya menatap nyalang Zill dan Dez bergantian.
Sesuatu terjadi saat itu juga. Keretakkan tiba-tiba terdengar dari cangkang Zill. Dez mundur dua langkah sambil menunggu penuh minat. Perawat dan dokter memandang Zill dengan jantung berdebar-debar. Seperti apakah anak ayam yang ada didalam cangkak itu, apakah cantik jelita seperti perawat ketie?
Ujung telur terbelah, retakannya memanjang ke samping dan akhirnya bertemu lagi di bawah telur. Cangkang kini berbaring ke samping, seekor anak ayam mungil, berbulu abu-abu pucat dan proporsi tubuh aneh beringkik diantaranya. Kakinya terlalu panjang sebelah, bulu di kepalanya jarang, membuatnya terlihat botak.
Zill meringkik, memandang Dez penuh harap. Ia tersenyum bahagia melihat kekasihnya secara langsung, ia senang karena kini mereka bisa berpelukan secara langsung. Ia memekik memanggil Dez, berjalan tertatih-tatih mendekati Dez yang diam terbelalak.
“Jangan mendekat!” teriak Dez.
Zill kaget, “Kenapa? Bukannya kau senang?”
Dez menggeleng, Perawat Na, Ketie dan dokter hanya diam mengamati mereka. Serasa menonton sandiwara ayam di stasiun teve Keker. Adegan yang mengharukan, semoga.
Zill terus mendekat, tapi Dez melihatnya dengan wajah ketakutan. Dez kabur, berlari ke arah pintu incubator, menerjang keluar dan membuat perawat Ketie terjungkal jatuh.
“Aku tak mau!” teriak Dez, “Aku tak mau padamu, kau botak, kelabu dan cacat!”
Perawat Na dan dokter ayam berlari mengejar Dez yang kabur seperti orang gila. Tinggal perawat ketie yang terkapar di lantai, ia tak bisa bangun, susah berdiri karena terhalang oleh rok bentuk pensilnya.
“Tolong…!” lolongnya pilu, “Aku janji aku tak akan memakai rok pensil lagi saat kerja, seseorang tolong akuu….”
Tak ada yang berderap datang dari arah koridor, tak ada yang datang membantu perawat Ketie. Hanya sesenggukan pilu yang terdengar dari arah incubator. Zill, terduduk sendirian, menangis, pilu, sedih, hancur, luluh dan juga… menyesal.
ini cerita adaftasi untuk sebuah kisah milik seorang teman, bernama cecil ^ ^
Dua ekor ayam betina berusia tiga minggu berjalan beriringan. Mereka memakai setelan putih pudar yang mengingatkanku pada seragam suster ngesot, topi perawat bertengger diatas bulu-bulu mereka dan mereka memakai rok dengan model berbeda. Salah satu memakai rok span pendek yang seharusnya, satunya lagi memakai rok model pencil yang panjang dengan belahan di kiri kanannya. Bisa dibayangkan berapa meter kain yang mereka habiskan untuk menutupi pantat mereka yang menonjol ke belakang. Tapi sudahlah! Toh mereka kini melenggok-lenggok anggun.
Mereka tiba di ruangan isolasi, tempat dimana telur-telur yang lahir (terjadi sesuatu dalam perjalanan membuatnya) tidak sempurna. Ruang ini letaknya paling ujung, pintunya langsung menghadap koridor dan selalu dalam keadaan tertutup.
“Kau lihat kan telur malang yang diduduki induknya kemarin?” Tanya salah seorang ayam perawat dengan rok pensil serta jambul lebatnya, wajahnya menunjukkan rasa kasihan, “Seandainya induknya bisa melahirkannya tanpa mendudukinya, kuyakin ia akan tetap mulus sampai cangkangnya pecah.”
Temannya hanya tersenyum, “Yah, kita bangsa burung tak akan bisa melahirkan kalau tidak menduduki telur kita,” sahutnya enteng sambil mengeluarkan segenggam kunci dari saku bajunya.
“Yah, setidaknya induknya harus mendudukinya secara…” ia mengangkat bahu, sambil mengibaskan jambulnya ia menoleh ke kanan, “… pelan-pelan!”
Temannya tak menanggapi, ia sibuk membuka pintu.
Ruang isolasi adalah ruang terhangat (untuk ukuran ayam), ukurannya tak lebih dari tiga puluh centi persegi. Dua buah telur besar lonjong di balik dinding kaca langsung terpampang begitu pintu menjeblab. Kedua perawat ayam memeriksa banyak hal, mengatur suhu, memutar lampu, membersihkan ceceran debu sampai mematuki semut-semut yang menjilati ceceran protein telur di lantai.
Sekitar setengah jam kemudian, setelah memastikan semua baik-baik saja merekapun akhirnya kembali menutup pintu dan pergi dengan gema suara sepatunya menggaung di koridor.
Ruang isolasi kembali gelap gulita. Sesaat setelah pintu tertutup, setelah suara sepatu si perawat menghilang, sebuah ringkikan pelan terdengar.
“Hiii… perawat yang sama kukira, Dez!”
Telur itu ternyata bisa berbicara. Mereka berdua terkikik keras, baru ketika suara keretakan terdengar, sebutir dari telor itu berseru.
“Sudah Dez! Jangan tertawa lagi, nanti retakan cangkakmu tambah keras!”
Helaan napas terdengar dari telur di sisi kanan, mereka ditempatkan di sebuah incubator yang beralaskan kain lembut dan empuk. Telur yang kanan, seperti disampaikan perawat ayam yang ganjen, cangkng bagian atasnya pecah dan penyok. Karena itu ia tak boleh bergerak ataupun bersuara terlalu keras kalau masih mau berhasil menetas.
“Yah, kurasa perawat ganjen itu benar. Indukku tak seharusnya mendudukiku saat aku lahir. Kalau tidak… mungkin aku akan lahir sempurna dan bisa bebas tertawa sepertimu, Zill” kata telur itu dengan nada iri.
Zill, telur di sebelah kiri mengeluarkan dengungan pilu, “Oh Dez, jangan begitu! Kalau aku sempurna, aku tak akan bisa berada disini. Kau lihat kan! Cangkangku cokelat pucat, tak berbintik cantik seperti saudaraku. Beratku kurang karena cairan putihku kurang. Setiap hari aku juga diberi infuse, kalau tidak aku tak akan bisa menetas sempurna, sepertimu.”
Mereka berdua terdiam sesaat, saling meratapi kemalangan masing-masing. Namun setelah beberapa waktu, mereka sadar bahwa kemalangan ini akan semakin menjadi malang kalau diratapi.
“Semuanya ada hikmahnya, kurasa!” sahut Zill.
Dez setuju, “Iya! Kalau tidak sama-sama malang, belum tentu kita bertemu dan bersama-sama seperti ini.”
“Aku ingin tetap bersama saat kita menetas nanti,” pinta Zill.
Dez ragu-ragu, “Kalau aku lahir tak sempurna, apa kau masih mau menerimaku?”
Tarikan napas Zill terdengar panjang, “Aku akan menerimamu apa adanya, sebab kurasa aku akan lebih nyaman bersama-samamu daripada perawat-perawat centil itu.”
Keduanya lalu tertawa senang. Setelah sepakat tentang hal itu, merekapun melalui hari-hari dengan saling menghibur satu sama lain. Saat Zill menjalani infuse atau tranfusi putih telur, Dez siang malam berdoa. Ketika Dez mengalami rahabilitasi cangkangnya untuk menghindari infeksi, Zill dengan setia menemaninya. Mereka menjadi pasangan yang saling mengisi bahkan ketika belum menjejak bumi sama sekali, dan mensyukuri keberadaan satu sama lain di sisinya.
Waktunya menetas akhirnya tiba. Berdua mereka gugup menunggu hari itu. Mereka sudah tak sabar untuk berangkulan, maklum, selagi didalam telur mereka tentu saja tak dapat melakukannya.
Sang ayam perawat semakin sering menengok mereka, kadang bergiliran dengan ayam dokter dengan stetoskopnya yang mengerikan tergantung di leher. Kedua telur terus saja saling mendukung, dan hati mereka semakin dekat satu sama lain.
Hari H akhirnya tiba, di pagi-pagi buta, ketika matahari belum terbit dan ayah-ayah mereka yang banyak di luar sana berkokok sombong, keretakkan terdengar dari cangkak Dez. Cangkangnya pecah, terbelah menjadi dua. Seekor anak ayam tampan, berbulu kuning gading halus, berparuh kuning muda, berkaki cokelat muda berdiri di tengah-tengah belahan cangkak.
“Dez….” Zill berseru di sampingnya, “Kau tampan sekali! Tak pernah aku melihat anak ayam setampan engkau!”
Dez, dengan malu-malu mengibaskan bulu-bulu jarumnya. Ia meliuk pelan, tubuh mungilnya lahir sempurna. Ia berjalan, sambil memekik kegirangan ia melompat-lompat riang. Tubuh yang sempurna, kebebasan yang sempurna.
“Kau senang Dez?” Tanya Zill dengan manja.
Dez, dengan langkah gagahnya mendekati Zill yang belum menetas.
“Aku senang sekali, sayangku!” ujarnya, suaranya terdengar lebih merdu daripada sewaktu di dalam telur, “Dan aku yakin kau juga akan cantik,” lanjutnya sambil menggosokkan kepala ke cangkak Zill.
Tepat saat itu terdengar derap sepatu snag perawat dari koridor dan diikuti suara kunci diputar. Pintu kemudian terbuka, cahaya matahari pagi menyorot langsung ke dalam incubator. Dua ekor ayam perawat langsung tercengang melihat makhluk mungil di dalamnya, mereka langsung memekik kegirangan dan berlari mendekat.
“Oh Na, lihatlah dia! Dia tampan sekali.” Seru perawat berjambul lebat sambil menempelkan paruhnya ke dinding incubator.
Ayam perawat yang dipanggil sedang sibuk memencet sebuah kepala ayam yang menempel di dinding tak jauh dair incubator. Itu adalah bel pemanggil, dan tak lama dokter ayam menerjang masuk dengan wajah masih berbau ranjang.
“Apa yang terjadi?” teriaknya, tapi ia langsung terpana melihat Dez yang tengah menggosokkan paruhnya ke kulit Zill. “Oh, dia sudah lahir, dia sudah menetas. Na, Ketie, cepat keluarkan dia!”
Zill yang masih didalam telur panic, ia tak rela menetas tanpa ditemani Dez. Dez pun demikian, ia tak mau dibawa pergi kalau tidak bersama Zill. Karena itu, ketika perawat Ketie memasukan paruhnya untuk membimbing Dez keluar, Dez bersembunyi di balik telur Zill.
“Ayolah ayam tampan! Kemari, kita lihat dunia luar. Kita lihat matahari bersama tante Ketie!” pinta Ketie.
Tapi Dez tidak mau, ia tetap bersembunyi.
“Kelihatannya dia tidak mau,” tebak Na, otaknya yang sebesar apel berpikir keras, “Kurasa ia mau menunggu temannya.”
Dokter ayam menunduk, matanya menatap nyalang Zill dan Dez bergantian.
Sesuatu terjadi saat itu juga. Keretakkan tiba-tiba terdengar dari cangkang Zill. Dez mundur dua langkah sambil menunggu penuh minat. Perawat dan dokter memandang Zill dengan jantung berdebar-debar. Seperti apakah anak ayam yang ada didalam cangkak itu, apakah cantik jelita seperti perawat ketie?
Ujung telur terbelah, retakannya memanjang ke samping dan akhirnya bertemu lagi di bawah telur. Cangkang kini berbaring ke samping, seekor anak ayam mungil, berbulu abu-abu pucat dan proporsi tubuh aneh beringkik diantaranya. Kakinya terlalu panjang sebelah, bulu di kepalanya jarang, membuatnya terlihat botak.
Zill meringkik, memandang Dez penuh harap. Ia tersenyum bahagia melihat kekasihnya secara langsung, ia senang karena kini mereka bisa berpelukan secara langsung. Ia memekik memanggil Dez, berjalan tertatih-tatih mendekati Dez yang diam terbelalak.
“Jangan mendekat!” teriak Dez.
Zill kaget, “Kenapa? Bukannya kau senang?”
Dez menggeleng, Perawat Na, Ketie dan dokter hanya diam mengamati mereka. Serasa menonton sandiwara ayam di stasiun teve Keker. Adegan yang mengharukan, semoga.
Zill terus mendekat, tapi Dez melihatnya dengan wajah ketakutan. Dez kabur, berlari ke arah pintu incubator, menerjang keluar dan membuat perawat Ketie terjungkal jatuh.
“Aku tak mau!” teriak Dez, “Aku tak mau padamu, kau botak, kelabu dan cacat!”
Perawat Na dan dokter ayam berlari mengejar Dez yang kabur seperti orang gila. Tinggal perawat ketie yang terkapar di lantai, ia tak bisa bangun, susah berdiri karena terhalang oleh rok bentuk pensilnya.
“Tolong…!” lolongnya pilu, “Aku janji aku tak akan memakai rok pensil lagi saat kerja, seseorang tolong akuu….”
Tak ada yang berderap datang dari arah koridor, tak ada yang datang membantu perawat Ketie. Hanya sesenggukan pilu yang terdengar dari arah incubator. Zill, terduduk sendirian, menangis, pilu, sedih, hancur, luluh dan juga… menyesal.
ini cerita adaftasi untuk sebuah kisah milik seorang teman, bernama cecil ^ ^
wah, panjang amat nih cerpennya...
BalasHapusbisa diringkas lagi ?
dipendekin ?
hihi
hiks hiks
BalasHapusinilah hidup. tidak selalu sempurna bagai mimpi indah.
wew..ini bukan sembarang telur yah chi hehehe padahal wen mo order omelet neh, laperrr hihihi gak bisa yah dah kburu netes jadi anak ayam ehm jadi gemna kalo jadiin ayam goreng aja huehehe *bener2 laper mode on pas baca inih*
BalasHapusasli nih bener kata rayearth2601 panjang banget. tapi bagus banget ceritanya.kamu pandai bikin cerita y
BalasHapushooo cerita km bagus...
BalasHapuswah temen km pasti seneng dibuatin cerita ma km..
aku dah kembali ke habitat lho :D
BalasHapushmmmm... aku bilang chie,,, kamu suka nulis banyak hal soal dongeng maupun fabel.... emang kenapa kalo majalah bobo? cocok loh tulisan kamu dimuat disitu... jangan kira yah... bapak2 yg udah berkeluarga pun ada yg jadi penulisnya majalah bobo ... hmm...
BalasHapusgimanaaa?? :)
.
aku bukan cuma suka nulis cerpen, aku suka karikatur dan novel juga. my 1st child, social girl a novel .. pernah baca?
.
cuma saat ini sedang tertarik sama sastra koran saja. btw mana fotomu?