Kamis, 30 April 2009

12.33.00

Hemm..... Hemm.. Hem....

Jalan-jalan gratis yang menyenangkan, nebeng dan ditraktir makan. hemm.. enak tenan pokoknya, walau pulangnya kehujanan dan keram di setiap sendi sampe esok harinya. Berangkat jam 8.30 (lewat sih), di perjalanan melihat banyak mobil ngetem sementara penghuninya piknik karena capek nunggu. Syukur pake motor, jadi ga perlu ikut acara ngetemnya. Segitu aj ah pengantarnya, nih poto-poto dari masa depan. Eh, buat Nyin yang mu liat mocca_chi bukan versi kartun, ambil kaca pembesar dulu ya untuk nyariinya. wkwkwkwk


 Pura Besakih, dari atas. 



   Kepalaku mana ya, perasaan ada diantara kerumunan ini sebelum jadi monyet, hmmmm...



 Yang nanya            :  Jueng, dirimu kok ga ada?
 Yang Jawab            : Jelaslah ga ada, wong Jeung cantik yang jadi potografernya
  Yang Nanya           : ohhhh 




 Adek, seneng ya ngeliatin kakak yang cakep ni? hiii 



mocca-chi                       : Mana gunungnya ya?
Ariel Peterpan            :   Di balik awan....
 mocca_chi                     : Kyaa... ada ariel....



Waw, tingginyaaaa...........



idih, ipodnya narsis amat


Mau jadi anggurnya saja, manis sih....
penutup yang menyenangkan deh

maaf, mocca_chi gaptek nih, ga bisa bikin caption poto pas di tengah-tengah. hiiii



Rabu, 29 April 2009

09.39.00

Seperti Bunga



Tak perlu mekar untuk menjadi indah
Semasa kuncup pun mereka sudah tahu
Betapa indahnya ia saat mekar nanti


Happy Birthday, My Lovely Ayuk
28 april 2009

Senin, 27 April 2009

16.00.00

Kadonya Apa Teh?

Wah, lama juga tidak update blog. hii... abisnya ga tahu harus posting apaan, stok cerpen masih ada cuman kepanjangan, takutnya teman-teman malas baca melihat yang panjang begitu. sampai tadi ada koment dari pak menteri, katanya "apdate ya non".
Hiii... tahu saja aku lagi malas apdate blog.

Secangkir teh enak kali ya di pagi hari. Sarapan nasi kuning, minumnya teh hangat. sambil buka kompi, nyalain ym, blog dan fb secara bersamaan. dan entah kenapa, keseharianku memang tidak bisa dilepaskan dari teh. seakan sudah nyandu, tidak ngeteh maka seharian akan ngantuk dan lemas. atau tidak ngeteh, maka hari libur akan dipenuhi dengan migrain menyebalkan. Ah, sang teh tercinta.

Tapi lucunya waktu malam pertama si panah hujan menjejakan kaki di Bandung, dia menyapaku dengan "Selamat malam, Teh".
edan, baru sehari logat balinya musnah dihantam logat sunda. aduh duh duh duh.... begitu cepat orang berubah.

Tapi jangan kira teh enak untuk sore. walau kata seorang teman yang calon jas putih dengan stetoskop di leher, teh itu tidak mengandung kafein. Namun jangan harap aku mau minum teh di kala sore, atau menjelang jam tujuh malam.
insomniaku sering kumat waktu minum teh menjelang malam, dan sampai jam... entah jam berapa, yang jelas pagi-pagi baru bisa tidur, ga nyenyak pula.
Eh ralat ding, tadi baca di wiki, ternyata teh mengandung kafein. Pantesan insomniaku kambuh, tetapi lebih cenderung ke sugesti sih.

Kata sebuah produk teh kecantikan yang sering aku lihat-lihat dulu. Teh bisa melangsingkan badan. Buehh,... yang bener? minum teh setiap hari dalam sebulan berat badan turun beberapa kilo, yah, kalau mau sepuluh kilo asal ga kena sindrom yoyo. tapi mau tahu kenapa bisa kurus?

jawabannya (kalau ga salah), dalam teh terkandung suatu zat yang bisa memperlancar pengeluaran cairan. Makanya abis minum teh kita akan sering-sering kebelet (makanya aku beser). Keseringan memang bisa bikin kurus, namun kurusnya tidak sehat karena yang turun volume air dalam sel-sel tubuh. jadi bukan lemak-lemak dan gelambir menyebalkan itu.

Oh ya, biar suatu saat nanti ga ada yang komplain, analisa ini dari kepalaku sendiri yang sudah pernah merasakan susahnya menurunkan berat badan dengan minum teh. memang belum pernah kutemukan sih penjelasan seperti ini, namun entah dimana aku pernah baca tentang keburukan menurunkan berat badan dengan memperlancar pengeluaran cairan. Jadi otakku menyambung-nyambungkannya dengan lancarnya (maklum, ilmuwan ga lulus)

Udah deh soal teh. Kegiatan terakhir ini selain kebosanan kerja itu, hmm.. hunting kado. besok salah satu sahabatku ulang tahun, aku lupa benar-benar. Syukur beberapa waktu lalu saat inget, sempat pasang pengingat. kalau tidak, terlewat deh.

Maunya sih kasih hadiah pigura sama poto-poto yang sudah diedit dan diapain kek seperti desain-desain yang keren itu. Tapi, masalahnya aku tidak bisa potosop. hiii.... gaptek amet, padahal kemarin sempat minta diajarin sama si memi. Tapi niat ga bulet, akhirnya hanya belajar sekotak-sekotak.

Pilihan yang tepat meminta tolong, tapi kok sms permintaan tolongku belum dijawab ya sama teman. hikss... apa dia sibuk gambar ya, sampai ga tahu ada sms. atau ga punya pulsa? Duh, sebellllllll

what everlah, kali ini tidak bisa ngasi hadiah ultah cerpen. Mungkin cari hadiah yang nyata, walau sedang kere tapi diusahakan dengan sebaik-baiknya. Walau akhirnya telat, dan kok smsnya ga dibalas ya, padahal udah hampir setengah jam. hikss...
atau... jangan-jangan ga direstuin ngasih hadiah macam begituan.
dan kyaa.....
ngacir ke wece dulu, kebelet.

Kamis, 23 April 2009

10.52.00

Seorang Anak Laki-laki dan Anjingnya

Seorang anak laki-laki duduk di sudut ruangan sambil ditemani anjing kecilnya. Ia memainkan sebuah mobil-mobilan usang yang terbuat dari kayu. Gumaman bernada terdengar dari mulutnya, menirukan suara deruman mobil yang sesekali disertai loncatan-loncatan air liurnya. Ia asyik dengan mainannya, menerbangkannya kesana-kemari sambil sesekali menyeringai.

Seekor lalat dari pembuangan sampah di dekat rumah masuk melalui jendela. Binatang itu kelaparan, terbang rendah, naik turun sambil mengamati ruangan gelap gulita, mengharap pada sesuatu yang lembek yang bisa ia nikmati.

Pandangannya jatuh pada sudut bibir anak laki-laki itu, tempat buih-buih putih teronggok seperti busa-busa sabun. Sejenak lalat itu berpikir dengan otak kecilnya, mengira itu ada bekas keju yang menempel karena kesembronoan anak itu saat memakannya. Binatang itu senang, tanpa pikir panjang menyerbu buih putih itu dengan dengungan berisik.

Setengah telinga anak laki-laki itu menangkap keberadaan pengganggu. Ia pura-pura tidak tahu, sambil tetap memainkan mobilnya ia bersiaga. Lewat sudut matanya ia mengamati laju binatang itu. ia menyeringai senang, ketika semakin lama binatang itu semakin mendekat.

Hap...

Lalat itu mendarat di buih putih. Sesaat ia merasakan sesuatu yang lengket dan berbau aneh dan saat itu ia sadar matanya tertipu oleh perut. Ia melambaikan sayap, menolakan kaki ke dalam buih untuk terbang. Tapi terlambat, sebuah lidah telah terjulur dari sampingnya, menggelempar cepat dan mendarat tepat di atas tubuhnya.

“Hmm… lalat, lumayan,” gumam anak laki-laki itu sambil menepuk kepala anjingnya. “Kemarin dapat nyamuk, sekarang lalat," kata anak itu dengan suara parau.

Ia kemudian tertawa lirih. Anjingnya tiba-tiba saja mendengking, merasakan aroma kematian yang semakin lama semakin mendekat. Badannya bergetar, ketika perlahan tangan anak laki-laki itu menyelinap ke bawah tengkuknya, mencengkram lehernya erat dan mengangkatnya tinggi sejajar mata.

Anak laki-laki itu tertawa melihat anjingnya gemetaran. Ia membuka mulutnya, memamerkan gigi-giginya yang kecil-kecil, tapi sangat tajam. Ia memutar kepala anjing itu, menegakannya agar bisa ia lihat ke dalam matanya sembari berkata dengan pelan,

"Kalau nanti sudah tidak apa-apa, maka kamulah selanjutnya, Goonku!”


Denpasar.
12 Desember 2008
saat otak sedang dilanda virus yang bernama suspense


Selasa, 21 April 2009

09.58.00

Tentang Sebuah Kebaya Putih Dua Motif

Seorang gadis berkebaya merah jambu baru saja tersenyum kepada penonton. Tidak menunggu hingga MC menyuarakan betapa banyak tepuk tangan yang ia peroleh, ia sudah bergerak mundur dan menuruni panggung. Teriakan masih bergemuruh saat ia mendarat di sisi panggung, tempat seorang gadis lain dengan kebaya putih bermotif aneh menunggu dengan tenang.

“Giliranmu, Wi. Semangat, ya!” ucapnya.

Gadis berkebaya putih itu tersenyum, tidak berkata apa-apa setelahnya. Wajahnya terlihat tegang, walau berkali-kali mengusapkan tangan pada kedua sikunya. Ia berusaha mengendalikan diri. Seperti gadis berkebaya merah muda tadi, ia juga ingin penonton bertepuk tangan. Tetapi ia sadar bahawa ia tidak bisa disamakan dengannya, terutama dengan pakaiannya, kebayanya.

Sekali lagi gadis berkebaya putih itu memperhatikan kebaya yang dikenakannya. Jelas sekali terbuat dari dua bahan kain berbeda yang disambung. Motifnya berbeda, warnanya juga agak berbeda walau sama-sama putih. Tetapi ia senang, setidaknya hanya dua motif, tidak seperti kebayanya tahun lalu.

MC terdengar memanggil namanya, dan sekarang waktunya untuk naik panggung. Lomba interpretasi tentang buku R.A Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang dan dirinya didaulat untuk mewakili kelas. Tepuk tangan dan teriakan penonton terdengar, walau tidak semeriah tadi. Gadis kebaya putih itu tahu teriakan itu milik teman sekelasnya yang memberinya dukungan. Dan dia, tidak mau mengecewakan mereka.

Akhirnya ia menaiki panggung dengan sedikit gemetar. Ia gugup, apalagi melihat seluruh pasang mata yang memandanginya, persis seperti serumpun rumput hijau di tengah-tengah domba yang kelaparan. Syukurnya mereka bukan domba, dan dia bukan rumput. Jadi ia bisa tenang kalau badannya masih utuh saat selesai nanti.

“Selamat siang,” itu kata pembukaannya yang diucapkannya dengan bergetar. Semua orang diam, menunggunya. Gadis itu menelan ludah, matanya memandang ke seluruh penonton. Debar-debar di jantungnya makin keras, jika dibiarkan dengan berdiam semakin lama, ia takut kalau ia bisa saja lari ketakutan dari panggung dan ditertawakan.

“Door Duisternis Tot Licht. Habis gelap, terbitlah terang. Bagi saya maknanya adalah pagi,” ia berhenti sejenak, menunggu reaksi penonton. Ia sudah memprediksi kerut di dahi mereka, atau alis yang hampir bertautan, atau tolehan kepala ke samping sambil bergumam heran. Gadis itu tersenyum puas.

“Marilah berbicara tentang sebuah kebaya. Bukan kebaya terindah yang pernah ada, tetapi kebaya paling berharga yang pernah ada, bagi seorang gadis yang mendapat hadiah dari ibunya. Kebaya itu bermula dari suatu pagi, tanggal 21 April setahun yang lalu. Hari Kartini, Ibu itu tahu bahwa kebaya yang ada di lemari anaknya hanya akan cukup sampai Kartini tahun itu saja. Sudah tiga kali Kartini kebaya itu ada, yang ia buat dari sisa-sisa kain bekas jahitan pelanggannya. Sedih memang, tetapi Ibu itu tidak bisa memberikan anaknya kebaya baru. Suaminya yang telah tiada yang hanya meninggalkan sepetak rumah kecil yang mereka tempati, dua orang anak yang masih kecil pula. Pekerjaannya hanya sebagai tukang jahit kebaya, dan itu hanya cukup untuk makan dan sekolah anak pertamanya.”

“Ibu itu mengambil kebaya anaknya di lemari, memperhatikan dengan seksama. Di bawah keremahan cahaya bohlam 25 Watt, sekarang ia melihat bagaimana kusutnya kebaya itu. Jelek, warna merahnya yang berbeda-beda kusam dimana-mana. Ibu itu ingat bagaimana ia mengumpulkan sisa kain kebaya warna merah selama beberapa tahun, hingga setelah dijahit lagi cukup untuk membuat satu kebaya. Pertama kali melihatnya, sang anak tercenung, antara kaget dan terharu. Ibu itu tahu anaknya tidak menyukainya, namun ia tercengang saat pagi menjelang, anaknya tersenyum dan memintanya untuk membantu memakai kebaya. Ia bahkan menangis sesenggukan di dapur setelah anak perempuannya meninggalkan rumah dengan kebaya itu.”

“Setelah tiga tahun, kebaya itu tidak muat lagi. Jahitannya sudah ada yang lepas, walau bisa ditambal, tetapi ukurannya sudah tidak muat. Anak perempuannya sudah besar, sudah kelas lima sekolah dasar. Saatnya untuk memakai kebaya baru. Namun Ibu itu tidak punya uang. Sementara kebaya di tangannya hanya muat untuk tahun itu saja.”

“Maka, seminggu sebelum Kartini tahun berikutnya, setelah sang anak pergi ke sekolah dengan menjunjung nampan berisi kue dagangan, sang Ibu pergi ke kamarnya sendiri dan mengeluarkan pakaian-pakaian bekas punya suaminya. Masih ada beberapa potong yang tersisa, pakaian kesukaan sang Ibu yang sangat sayang untuk diberikannya pada keluarga yang meminta. Pakaian-pakaian itu punya sejarah, salah satunya dipakai suaminya saat melamarnya dulu. Satu potong lainnya dipakai suaminya saat ia melahirkan anak pertama.”

“Ibu itu memperhatikan pakaian itu sekali lagi, menguatkan niat. Toh, ini untuk anaknya, suaminya tidak akan marah. Setelah menarik napas, maka sang Ibu pergi ke sebuah toko pakaian bekas, ia menawarkan pakaian suaminya. Pemilik toko tidak terlalu tertarik karena pakaian itu sudah kuno, namun sang Ibu membujuk. Ia bahkan bersedia bekerja seharian di tempat cuci pakaian bekas milik pemilik toko, hanya agar pakaiannya dibeli. Dan, Ibu itu cukup puas, ia berhasil mendapatkan uang sebesar lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk membeli selembar kain kebaya.”

“Namun, tampaknya kain sekarang semakin mahal. Uang itu hanya cukup untuk membeli setengah dari kain yang diperlukan. Ibu itu bingung sementara dagang kain bilang bahwa semakin hari harga kain akan semakin mahal. Jika ia membelinya kemudian hari, takutnya uangnya semakin kurang. Sang Ibu akhirnya memutuskan untuk membeli kain berwarna putih dari jenis termurah, membelinya setengah bagian dahulu.”

“Ibu itu akhirnya pulang dengan membawa kain itu dan menyembunyikannya dari anaknya. Ia kembali ke lemari bajunya sendiri, mulai memilih baju-bajunya sendiri yang masih layak. Ia sudah bertekad bahwa anaknya harus mendapatkan kebaya baru tahun ini, dan ia akan melakukan apa saja. Ia membawa beberapa potong bajunya ke pedagang baju bekas yang sama, kembali bekerja seharian di tempat cucinya seharian, dan kembali ke penjual kain yang sama beberapa hari kemudian. Ia ingin mendapatkan setengah bagian kainnya lagi. Namun sayang, pedagang kain bilang bahwa kain jenis kemarin sudah habis. Yang ada hanya kain berwarna putih lain, dengan harga sedikit lebih mahal. Kain serupa baru hanya akan ada seminggu, dan Ibu itu tidak punya waktu.”

“Akhirnya Ibu itu merelakan sandalnya untuk menambahkan uang yang ia punya, ia membeli kain kebaya berwarna putih itu. Ia cepat-cepat pulang dan mulai mengerjakan kebaya anaknya. Setidaknya anaknya punya kebaya baru, walau kainnya berbeda.”

Gadis itu menarik napas, matanya sudah berkaca-kaca. Ia tersenyum. “Door Duisternis Tot Licht. Habis gelap, terbitlah terang. Bagi saya adalah pagi. Pagi saat cahaya matahari datang setelah kegelapan malam yang panjang, cahaya kehidupan yang membuat saya bisa terus berjalan maju. Cahaya putih yang menuntun dan melindungi saya dari kegelapan yang menakutkan. Dan cahaya itu adalah, Ibu saya sendiri. Ibu yang rela menjual baju serta sandalnya untuk kebaya dua motif saya. Ibu yang saya cintai. Terimakasih!”

Tidak ada tepuk tangan dari penonton. Hanya senyum terharu dengan mata berkaca-kaca. Namun ketika gadis berkebaya putih dua motif itu membalas tersenyum, penonton bergemuruh lebih hebat daripada saat gadis berkebaya merah jambu menyelesaikan kata terakhirnya.


Denpasar, 21 April 2009
11.04 WITA
*juga untuk mengerjakan PR dari Wafi. Semoga bisa dalam wujud cerpen, karena hanya itu yang saya bisa. walaupun belum tahu apakah pantas, tapi aku pajang juga hadiahnya. Selamat hari kartini ^ ^




Jumat, 17 April 2009

10.37.00

Hedy, Idamanku

Aku tetap menyebutnya Hedy. Dia akan datang dan aku sedang menunggunya. Entahlah, apa yang kurasakan ini karena apa. Jujur, aku deg-deggan, aku grogi. Bagaimana tidak, ini pertemuan pertama kami setelah obrolan singkat kami lewat telpon.

Aku menemukannya ketika sedang jenuh. Waktu itu aku sedang melatih tanganku. Aku mengklik-klik asal di web yang terbuka, dan menemukan gambarnya disana. Dia, sungguh cantik, dia imut, dia menggemaskan. Potonya, memakai pita merah muda kecil, langsung memikatku waktu pertama kali melihatnya di layar monitor. Entahlah, mungkin aku terlalu sensitive, aku merasa dia adalah reinkarnasi Hedyku yang dulu, yang telah pergi karena sebuah kecelakaan mengerikan.

“Aku menginginkannya, Papa!” rajukku saat itu.

Papa, yang sedang ada di Singapura heran. “Apa sayang?”

“Aku menginginkannya, Papa! Dia Hedyku dulu.”

Nada suara papa meninggi, “Hedy?”

Aku mulai terisak, mengenang Hedy bagiku sangat menyakitkan. Tak seharusnya dia pergi dalam waktu secepat itu. Papa juga menyadarinya, dia tahu bagaimana dekatnya Hedy denganku.

“Tenanglah, Sayang! Kalau Papa sudah pulang, Papa janji, kita akan mendapatkannya.”

Tangisku makin menjadi, “Tapi Papa, dia tidak disini. Dia.. dia….”

“Tenang, sayang!” bujuk papa, “Sekarang bilang, dia dimana? Papa akan menemukannya untukmu.”

Papa memang baik. Sambil sesenggukan aku menyebut alamat di bawah potonya. Papapun berjanji akan terbang ke Bali untuk menjemputnya. Dan papa memang menepati janjinya, seminggu setelah aku menangis, ketika di perjalanan pulangnya, ia menelpon pulang dan memperdengarkan suara Hedyku padaku.

Kringg.. kring.. kring….

Telpon di ruang keluarga berbunyi. Mama sedang di halaman belakang. Suster sedang menebus obatku ke apotek. Pembantuku juga dalam perjalanan menuju supermarket. Jadi hanya aku yang disini, dan telpon itu menungguku.

Pelan-pelan aku mendorong roda kursiku ke depan dengan kedua tangan yang terus bergetar hebat. Syukurlah mama orangnya telaten dengan tidak membiarkan apapun berserakan di lantai. Kalau tidak, kursi rodaku tidak akan meluncur selancar ini menuju meja telepon.

Suara papa langsung terdengar sebelum aku mengucapkan halo. “Sayang, papa sama Hedy sudah di depan. Kamu coba toleh keluar!”

Aku terlonjak, cepat-cepat menoleh ke arah pintu. Papa terlihat di belakang jendela, memegang hanphonenya sambil melambaikan tangannya. Hedy tak nampak bersamanya, tapi aku yakin papa berhasil membawanya untukku.

Gagang telpon langsung kulempar, suara benturannya terdengar keras. Aku tahu mama pasti terkejut di halaman belakang, tapi aku terlalu senang saat ini. Tergesa-gesa roda kursi aku dorong menuju pintu, aku sudah tak sabar. Jantungku berdetak kencang, grogi tadi hilang entah kemana, mungkin gairah karena akan memeluknya menguapkannya ke udara.

“Ara, hati-hati, sayang!” teriak mama di belakang sambil berlari mengejarku.

Aku tetap peduli, pintu semakin dekat, dekat dan dekat. Entah kenapa rasanya kok begitu lama. Aku makin tak sabar, seandainya saja kaki ini tak kebas permanent, seandainya saja tulangku tumbuh benar, aku tak perlu menunggangi kursi roda ini. Hohoo… cepatlah kursi, ayo cepat!

Dua meter dari pintu, entah kenapa sesuatu seakan-akan menjegalku. Kursi rodaku berhenti tiba-tiba, melontarkan aku ke depan. Aku tersuruk, sebenarnya aku sudah sering mengalaminya dan kedua tanganku refleks terjulur ke depan. Tapi aku begitu ingin melihat Hedy, hingga lupa menjulurkan tanganku. Aku terjungkal dengan wajah pertama menyentuh lantai.

Pintu membuka tepat ketika daguku menyentuh lantai. Mama menjerit panic di belakang, papa langsung menerjang masuk dan merangkulku. Maaf, sekali ini aku tak menghiraukan kalian, aku terlalu senang, karena dua mata bening dari seekor pudel cantik berpita merah menatapku. Aku senang, walau setelahnya semuanya menjadi gelap.

Denpasar, 24 April 2008 (wow, ini cerita sudah hampir setahun, ternyata)
posted in www.kemudian.com



Selasa, 14 April 2009

12.53.00

Follower itu......???

Tujuan gadget follower di blog untuk apa sih sebenarnya? Untuk tahu postingan terbaru blog yang kita ikuti bukan? lalu setelah tahu, mestinya kita berkunjung kesana dan kalau memang bisa ya koment. atau kalau tidak bisa saat itu, ya besoknya.Nah, bukankah begitu fungsi follower. seperti yang ada di description tentang follower saat add new gadget "Displays a list of users who follow your blog".

Tapi dari pengamatanku, ada beberapa blogger yang memfolow blogku, tapi mereka sama sekali tidak pernah mampir di postingan, bahkan di buku tamupun ga pernah. Jangankan mampir, kata kata perkenalan saja tidak ada.


beberapa saat lalu aku sempat nanya sama mbak fany, apakah setiap ada yang follow blognya dia selalu follow balik. Dia bilang iya dan aku juga berpikir begitu, namanya hukum rimba dimana mana sama. Saling memberi saling menerima, saling membantu juga selain untuk nambah teman dan pergaulan.

Namun untuk kasus blogger seperti itu, hanya datang, follow, kabur dan tidak pernah balik lagi, aku jadi malas untuk follow balik. Apalagi jika, blogger yang memfolow itu isi blognya iklan mulu, bisnis dan segala macam. setelah tadi itung-itung, dari 45 follower blog jelek ini, ada sekitar 21 blogger yang hanya setor nama. yang aktif hanya sisanya, walaupun kadang aku memang tidak bisa mengomentari semua postingan teman-teman, tapi.. apa yah...

Ah, intinya gitu dah. sekarang kalau ada yang follow aku cek dulu apa dia ninggalin kata kata yang menunjukan dia ingin kenalan. kalau tidak, aku abaikan saja. aku ga follow balik. karena prinsip yang aku punya, aku tidak mentok ingin cari teman baru sebanyak-banyaknya, tapi lebih memprioritaskan untuk memelihara teman yang sudah ada dengan tetap menjalin silahturahmi (hmm... gayanya nok -__-")

jadi yah... termasuk kategori blogger ga ramah yak aku? wkwkwkwk


Senin, 13 April 2009

12.06.00

Payung Cantik Itu Kembali

Ada yang bilang dulu kalau payung itu sudah ada yang punya, dan saya memaksa diri untuk percaya. Namun tempo hari, saya kembali melihatnya di etalase toko. Sang payung cantik masih tertidur disana dengan nyenyaknya, tidak tampak ia pernah diboyong ke sebuah rumah atau dimiliki orang lain.

Perlahan, keinginan terdahulu kembali menyeruak ke permukaan. Seperti membuka album kenangan, padahal lembaran brosur dan poto sang payung sudah tersimpan sangat rapat di sudut tersembunyi, lukanya sudah hampir sembuh pula. Tetapi, semenjak melihatnya kembali di etalase setelah sekian lama, saya kembali merasakan romansa yang mengerikan itu. Ternyata, tidak bisa dipungkiri, jauh di lubuk hati, saya masih belum bisa melupakan payung itu.

Manusiawi mungkin. Sungguh shock saat melihatnya kembali. Walau penampilan luarnya sedikit berubah, saya masih bisa mengenalinya. Payung itu ternyata masih tetap sama, masih suka menawan orang dengan keunikannya. Dan yah, saya juga masih sama, tetap tertawan walaupun sudah berusaha sekuat tenaga melangkahkan kaki melewati etalase tanpa menoleh.

Saya akhirnya berdiri di depannya, memandangnya dengan senyum. Namun ternyata dia tidak mengingat saya. Ia lupa dengan, bagaimana saya dahulu memandanginya sepanjang waktu, atau bahkan lupa kapan terakhir kali kami bertemu. Yang lebih menyakitkan, entah kenapa seakan ada jarak, kaca etalase serasa semakin menebal. Walaupun tempo hari itu kami begitu dekat berdampingan, tapi entah kenapa saya merasa dia sangat jauh, semakin jauh, semakin jauh tak terjangkau.

Semakin saya melihatnya, semakin saya sadar bahwa saya tidak pantas memilikinya. Ada banyak tangan lain di luar sana yang lebih cocok, yang lebih sepadan, yang lebih indah. Dan nampaknya memang iya, sebuah tangan sepertinya mulai terjulur ke arahnya. Tangan yang belum bisa saya lihat, tapi bisa saya rasakan. Dan nampaknya payung itu juga mulai mendekat ke arah tangan misterius itu.

Iyak, mungkin memang begitu, walau saya percaya jodoh, tapi saya tidak tahan untuk terus sakit. Memandanginya sangat indah, di dekatnya sangat nyaman. Tapi tahukah dia, bahwa semakin saya melihatnya di etalase, semakin saya kembali terjerat. Rasanya sesak saat kembali pulang setelah memandanginya di etalase. Rasanya sakit membayangkan tangan misterius itu. Rasanya.... mixed like juice, but not a delicious as juice..

Sabtu, 11 April 2009

11.49.00

Tentang Siut dan Anak Laki-laki

“Awas punyamu hilang nanti!” kata Sikem menasehati. Matanya menjelajah ke segala arah, menatapi orang-orang yang duduk di balai-balai sambil membawa pisau dan seutas daun kelapa muda. Kami sedang bergotong-royong di seorang rumah warga yang akan menyelenggarakan pesta pernikahan anak laki-lakinya. Sebagai tetangga yang baik, aku dan para ibu di desa berkumpul untuk mempersiapkan sesajennya.

Aku hanya tersenyum. “Ah, biar sajalah. Kalau orang memang niat, siapa tahu itu berguna bagi orang.”

Tapi Sikem malah menggeleng. “Kamu tidak tahu ya, kalau punyamu dicuri, maka anak perempuanmu nanti tidak akan bisa punya anak laki-laki. Seperti Ibuku, punyanya hilang setelah melahirkan adik laki-lakiku yang seorang, dan setelahnya, aku dan Kakak perempuanku sama sekali tidak punya anak laki-laki.”

Senyumku terkulum. “Yah, itukan sebenarnya hanya mitos saja.”

Tapi ia bergitu bersemangat menolak argumenku. “Eh, jangan sembarangan kamu. Kita tidak boleh mementahkan kepercayaan yang sudah turun temurun dalam masyarakat kita!”

Lagi-lagi aku hanya tersenyum.

“Siut (sejenis sendok untuk mengaduk nasi yang terbuat dari kayu) milik Ibuku merupakan peninggalan Nenek. Sebelumnya Ibu tidak bisa melahirkan anak laki-laki, dari kakakku yang pertama, hingga aku yang anak ketiga, semuanya perempuan. Namun setelah Nenek memberikan Siutnya pada Ibu, maka adikku yang laki-lakipun lahir,” katanya bersemangat. “Dan juga, kamu tahu Bibi Niles? Dia juga begitu. Sebelum Ibu, Siut itu dipegang dia, dan setelah anak laki-lakinya lahir, dikembalikan lagi ke Nenek dan akhirnya ke Ibu.”

Aku masih saja tertawa geli.

“Sayang, Siut itu hilang, coba saja kalau masih. Pasti aku akan bisa punya anak laki-laki,” keluhnya sedih.

Aku mencoba menghiburnya. “Sudahlah, semuanya pasti ada jalannya. Kalau kamu memang belum punya anak laki-laki, itu karena kamu belum. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Siut itu.”

Tapi dia menggeleng. “Kamu yang sudah punya anak laki-laki bisa ngomong begitu. Coba seandainya kamu tidak punya, pasti akan cemas seperti aku.”

Kembali aku menjawabnya dengan senyum.

“Eh, bukannya anakmu yang tiga itu juga perempuan, hanya anak keempatmu yang laki-laki?” tanyanya dengan mata berbinar.

Aku menangkap gejala aneh ketika mengangguk. Nah, tuh, kan! Dia melonjak gembira. Bahkan memegang tanganku.

“Beri aku rahasianya!”

Aku bingung. Apa yang harus aku katakan sekarang? Tidak mungkin aku jujur soal Siut ibunya yang sekarang ada di dapurku. Beberapa saat aku bingung, berpikir, dan akhirnya….

Aku nyengir. “Suamiku memakai ramuan Mak Erot!”
****


Posted in www.kemudian.com
Siut itu beda dengan centong, hampir beda lah. Kalau Siut itu khusus untuk mengaduk nasi yang setengah matang (orang Bali biasanya memasak nasi dengan periuk, kukusan pertama sampe beras kering, lalu diisi air panas agar ngembang dan disanalah Siut dipakai, untuk mengadung nasi setengah matang). ukurannya juga jauh lebih besar, dan pasti hitam karena ditaruh di atas perapian :P

Di Bali ada mitos sejenis ini, jadi jaman dulu banyak orang yang punya anak laki-laki kehilangan Siutnya. Menurut kepercayaan, mencuri Siut keluarga yang pnya anak laki-laki bisa membuat pencurinya ketularan alias bisa punya anak laki-laki. tapi namanya juga mitos :P

Selasa, 07 April 2009

10.21.00

Takdirkah?

percaya ga sih kalau semua itu sudah diatur sama yang diatas?
Hmm.. mungkin pemikiranku ini sempit yak, berasal dari otak yang malas untuk berusaha, tapi dari beberapa masalah yang dihadapi teman, entah kenapa aku berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu memang sudah diatur sama Tuhan.
ada dua contohnya, dan menurutku sih memang begitu.

Sebut saja Adi. Adi seorang canvasser atau sales sebuah produk seluler yang ditempatkan di distributor A. secara bersamaan Ana, istrinya bekerja di distirbutor B yang tidak lain adalah saingan distributor A. Kala itu, salah satu petinggi di distributor B takut kalau Ana akan membocorkan rahasia perusahaan pada Adi, sehingga petinggi itu mendesak pihak seluler untuk memindahkan Adi ke bagian lain. akhirnya Adi dipindahkan ke bagian departmen Customer service yang nota bene ditempatkan di galeri, bukan di distributor A.

Ana sebenarnya kesal, karena ia menilai distributor B tidak profesional, namun Adi dengan sabar menyatakan bahwa ia siap dipindah jika manajemen pikir itu yang terbaik.
Adi akhirnya dipindahkan, dan sampai sekarang ia aman di posisi Team Leader customer services, sementara teman-temannya yang lain yang di canvasser penuh konflik karena supervisornya yang menyebalkan dan juga banyak program sales yang tidak jelas. akhirnya teman-teman canvasser Adi banyak yang mengundurkan diri, yang bertahanpun juga terpaksa karena tuntutan hidup.


kasus lain, terjadi pada Asih. Ia punya affair dengan teman kantornya yang bernama Tio. Yah, kalian pasti bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau punya affair dengan teman kantor, walaupun memang hubungan mereka tidak terlalu jauh namun tentunya kerja jadi tidak nyaman. saat sedang baik-baik saja, mungkin memang tidak ada masalah, namun saat sedang berantem. suasana hati jadi tidak menentu karena setiap hari ketemu dengan Tio.

Apalagi jika Tio memaki-maki tidak jelas, Asih jadi emosi dan tambah tersiksa karena harus menyembunyikan dengan teman-teman di sekeliling.
neraka yang sebenarnya (duh,bahasanya), ketika ingin mengakhiri affair itu. Sangat susah karena setiap hari bertemu, kontak sering terjadi dan perasaan akan jadi sangat sensitif karena keberadaan satu sama lain.

pernah sih aku bilang pada Asih, affair baru akan bisa diakhiri kalau salah satu dari kalian keluar dari perusahaan itu (sebenarnya pengalaman pribadi juga sih :P). tapi tentunya sulit karena masalah kebutuhan. hingga akhirnya pada suatu waktu. Asih cerita kalau Tio dapat kerjaan baru, dan yah keluar. no HP ganti, alamat pindah, Tio benar-benar menghilang, seakan dia menganggap Asih tidak ada.
Dan yah, hidup Asih sekarang lebih tenang dari dulu.

Hahaha... contoh yang ga relevan yak. Sebenarnya banyak contoh-contoh lain terutama dalam hidupku, maka dari itu aku menganggap bahwa Tuhan telah mengatur semuanya. bagi yang tidak percaya ya seterah, tetapi aku percaya bahwa takdir itu ada. Sekarang mungkin kita begini, namun besok siapa tahu berubah.
Tapi tetep dalam hal tertentu kita tetap berusaha, khusus yang berhubungan dengan cita-cita dan impian.
Namun dalam masalah tertentu, yang tidak bisa kita atur sendiri, hadapi sajalah. pasti akan ada jalan keluarnya.
Walaupun sakit, tapi yang jelas ada sebuah kebahagiaan dalam rasa sakit itu. hiiiii




Sabtu, 04 April 2009

09.19.00

Kepala Batu

Hepi birthday buat Memi, wish you all the best ^ ^


Lilin yang indah masih menggoyangkan nyalanya di tengah meja. Cahayanya yang redup, memberi binar ceria di kedua pasang mata yang sedang menghadapnya, mungkin hanya efek cahaya dalam kegelapan dan sebenarnya kedua pasang mata itu sekarang justru sedang tengah sengit.

Kedua pasang mata itu mengedip, hampir bersamaan. Pemiliknya sama-sama cemberut, sama-sama sebal dan dongkol. Ah, begitulah mereka selalu, masalah kecil jadi besar, masalah besar semakin besar.

"Kenapa sih kamu keras kepala sekali?" tanya sang lelaki.

Wanitanya menoleh dengan mata menyipit. "Keras kepala bagaimana, bukannya kamu sendiri juga keras kepala!"

"kamu yang egois, sukanya menang sendiri. Bukannya aku sudah bilang kalau sebaiknya kita bicarakan dulu masalahnya, jangan asal ambil keputusan sendiri. Mau nonton kan kita berdua, jangan asal kamu suka sendiri terus beli tiket yang kamu suka!"

wanita di depannya membelalak. "Oh, jadi urusan tiket juga jadi masalah. memang kenapa sih sesekali nurutin permintaanku?"

"Bukan sesekali, MI! tapi seringkali!"

Wanita itu marah. "Okeh, kita tidak usah ketemu lagi. Ga usah komunikasi, ga usah telpon-telponan. toh juga kita sudah lama putus, tidak mungkin kita bisa bersahabat seperti yang kita sepakati dulu. Pokoknya jangan hubungi aku lagi!"

wanita itu lalu pergi.
*****

Malam datang, dan entah kenapa selalu identik dengan sepi. Mungkin iya, kegelapan memang lambang sunyi, sebuah suasana tanpa warna lain. walau ada suara televisi dari luar kamar, suara derung kendaraan di luar, ataupun sesekali pekikan tertawa dari rumah sebelah. Ah, malam belum larut memang, masih jam tujuh, tapi entah kenapa bagi wanita itu rasanya sudah sangat malam.

Ia baringan di kasur, sambil memandangi layar ponselnya. Sebuah pesan sudah terketik sejak seminggu ini di layar LCDnya, tapi entah kenapa selalu tidak pernah terkirim. Ataupun sebuah panggilan, ia sering membuat sebuah panggilan yang selalu ia putus sebelum tersambung.

Lama lama ia kesal sendiri. Uhh... kenapa dia tidak bisa mengendalikan diri ya. kenapa dia harus resah begini, kenapa ia gelisah. dan kenapa ia menunggu begini.

wanita itu berguling di ranjang, mendekat ke arah meja sebelah ranjang. sebuah pigura membingkai dua senyum lebar. wanita itu tersenyum, kepalanya dengan rasa senang mengingat kembali kenangan saat poto itu dibuat. Saat mereka baru jadian seminggu, jalan-jalan di Ancol dan ahh... wanita itu terus senyum-senyum sendiri merunut kenangan-kenangannya dengan pemilik senyum di pigura, sebelah senyumnya sendiri.

Mereka putus nyambung terus, bahkan sampai tak terhitung berapa kali jumlahnya dalam setahun ini. Yah, mungkin memang mereka sama-sama kepala batu, tapi justru kepala batu itu yang juga membuat acara baikan mereka jadi semakin lucu. Membicarakan tentang kebandelan masing-masing sambil menimati secangkir teh atau kopi, lalu sama-sama saling minta maaf. Ah... mengingatnya wanita itu benar-benar bahagia, tapi...

di saat yang bersamaan dia sedih. ia kehilangan moment itu. seminggu mereka tidak salah menyapa, tidak bertemu, tidak saling bicara. Lelakinya benar-benar tidak menghubunginya, padahal wanita itu benar-benar kangen. Tapi kepalanya memang batu sih, dia tidak akan mau menjilat ludahnya sendiri. Masak dia yang pertama menghubungi, padahal kan dia yang memustuskan.

tok tok tok....
pintu di ketuk, dan tak lama kepala ayah menyembul dari baliknya.
"Dicari, tuh di depan!"

angan wanita itu melambung, semoga lelakinya.
Tanpa banyak bicara, wanita itu langsung keluar, dan yah, harapannya tidak jauh melenceng. lelakinya memang duduk di teras, dengan senyum kikuk dan cengiran innoncentnya.

bahagiakah wanita itu?
Yah, tentu saja. tetapi... ah, gengsi mengakui kalau dia senang dengan kehadiran sosok itu di teras. maka wanita itu memasang wajah masam, dengan lirikan menyepelekan.

"kenapa kesini?"

lelakinya nyengir. "Yah, aku minta maaf."

"Ga guna!"

"Jangan gitu, dong!"

"Lha, terus gimana?"

"Senyum!"

"kenapa harus senyum?"

"Pacar datang diapain coba? masak dijutekin?!"

Kata polos lelaki itu membuat hatinya sungguh bergetar. wanita itu diam sejenak, dengan mimik setengah-setengah. hatinya tergelitik, apalagi sebentarnya lelaki itu menaikan alisnya, menggodanya. lalu apakah ia masih bisa memakai topeng kamuflasenya untuk waktu yang lebih lama?

Ah, ternyata hati lebih menguasai dari sebuah keangkuhan. wanita itu akhirnya tersenyum, dan mereka... yah seperti biasa, baikan lagi. dan kenangan kembali terulang di sebuah warung bubur kacang ijo dekat rumah sang wanita (maklum, ayahnya ga akan ngasi mereka pergi jauh :P)

"Yah, waktu kamu marah maren itu, jelek sekali tau!" canda sang lelaki.

"Yah, kamu juga jelek. Diam saja saat kau pergi."

"Lha, wong kamu yang mau pergi, masak aku cegah!"

"Yah, kan kita masih berantem waktu itu. setidaknya ya, kamu cegah dong, kan begitu harusnya orang berantem." kata sang wanita sambil nada dongkol.

"yah, tapi kan kalau aku cegah, kamu ga bakalan mau berhenti."

"Lha, kamu ga mua nyoba!"

sang wanita mulai kesal. "bagaimana nyoba, kamu sudah kabur duluan!"

"Itu karena kamu ga nyoba! coba kalau kamu kejar aku, kejadiannya kan lain."

sang lelaki menelan ludah. "Kejadiannya lain gimana? paling sama kek waktu kita berantem di kampus. aku kejar, kamu marah-marah. kita berantem, terus seisi kampus tau. malu!"

wanitanya mendelik. "Oh, jadi kamu kapok ngejar?"

"Iya, kenapa?"

"Ya sudah, ga usah lagi datengin aku. kita pisah saja, ga usah ketemu!"

Tapi kali ini wanita itu tidak berdiri dan pergi, dia diem tanpa kata. dengan wajah cemberut, marah.

"Aku mau ganti nomer!" kata wanita itu marah, "Biar kamu tidak bisa menghubungikulagi!"

lelakinya terhenyak. "Mi, kamu jangan gituin aku dong!"

"Lalu?"

"Aku nggak bisa kalau ga ada kamu!"

"Buktinya seminggu ini bisa?"

"Yah.. " Lelakinya nyengir. "Kan, itu karena kamu sedang marah. kalau aku datengin saat kamu lagi marah, ntar berantem lagi."

"Yah..." wanitanya cemberut manja, nada suaranya mulai melembut. "Kamu datangin kapanku, kita bakal berantem lagi, kan?!"

lelakinya nyengir. "Memang kepala kita kepala batu sih, diadu selalu berbunyi. selalu berantem."

wanitanya etrsenyum sambil menyendok bubur. ting.... rupanya sendoknya bersentuhan dengan sesuatu di dasar mangkok. wanita itu mengaduk-aduk bubur, menemukan sesuatu yang berkilauan disana. sebuah cincin ternyata, nyangkut di bubur kacang ijo.

"Kok ada cincin, ya?" kata sang wanita sambil celingukan. "Mas, kok ada beginian sih?" tanyanya pada tukang bubur.

tukang bubur menjelaskan. "OH, itu dari Masnya, Mbak!"

lelakinya ngenyir. "Kamu mau gak jadi pendamping ku, melahirkan anak2 kita, dan hidup selamanya bersama ku"

wanita itu takjub. "Ini lamaran?"

"Kagak,"

"terus?

"Ajakannya saja, jawabannya beberapa tahun lagi juga ga papa."

"Kok?" wanitanya melongo.

"Yah, sekarang kita masih berantem terus. jadi kalau nikah sekarang, malah berantem lagi. jadi nikahnya taran aj, sekarang karena lagi baikan aku kasi cincinnya dulu. Tar palingan berantem lagi, lalu baikan. lalu berantem lagi. ah, capek. tar aja kalau kamu sudah berubah, baru jawab!"

Wanitanya bengong. "jadi kamu mau aku berubah?"

"Iya."

"kalau gitu kamu ga mau menerima aku apa adanya namanya!"

"Lha, siapa bilang ga mau. buktinya selama ini aku tetap sama kamu!"

"Iyak, karena kamu butuh aku."

"Gak, aku ga butuh orang kepala batu!"

wanitanya berdiri. "Kamu juga kepala batu!"

lelakinya ikut berdiri. "Kamu yang lebih batu!"

keduanya bersitegang, tinggal mas tukang bubur yang bengong. "Mbak, Mas. jadi ga sih nikahnya?"

Hadiah buat Memi, setelah mengobrak-abrik arsip ym dan ingatan ^ ^

Kamis, 02 April 2009

08.44.00

Hepy Wedding, Fany

Hari ini baru masuk kantor, buka email, aku dapat email dari seorang teman. Fani aka Noir. Seorang teman di salah satu forum penulis yang dulu aku ikuti.

Dia mengirim undangan pernikahannya. Woala, surprisse. Tentu saja, akhirnya dia nikah juga, gitu pikirku.Yah, kirim emailnya per tanggal 1 April pula, mungkin biar ga dikira boongan, di bagian bawahnya ada tulisan "P.S. Guys, this is real wedding...not an april mop -lol".

Desain undangannya unik, gelap total dengan gambar bulan serta kupu-kupu merah. dan hmm... kuposting sajalah, mohon maaf belum sempat minta ijin sama fany sih. Maaf ya Fan.



Yang unik, ada beberapa baris puisi yang saat kubaca, wow, gila romantis abis. Baiklah sini kuposting sajalah, mumpung puisinya kagak kebaca di gambar atas sana.


Kupu-Kupu merahku,
Ingatkah kau janji di mata badai?
Akan kau bawakan cincin bermata bulan untukku
Jimat pengusir kegelapan

"Mana yang kau inginkan, purnama ataukah bulan sabit? tanyamu malam itu
"Bulan sabit lebih memesonaku"
"Bukankah orang lebih menginginkan purnama?"
"Purnama adalah akhir masaku. Awal ketika kegelapan terbangun. Sedangkan bulan sabit adalah masa ketika kau datang."
"Tidakah kau rindukan purnama utuh, tanpa keterjagaan sang kegelapan?"
"Sudah kutemukan purnamaku."
"Pada apa?"
"Pada masa ketika kau datang untuk menyempurnakan bulanku, hingga menjadi purnama."

Kita pun mengayuh perahu menuju nokturno
Menjalin requim milik kita
Dan kini purnama itu tersemat di jariku
bersama bulan sabit yang kupersembahkan untukmu
Berwujud cincin melingkar di jari manis kita


Pasti bikinan Fany, dan kyaa... romantis abis. Benar-benar cocok dengan tema undangannya yang gelap.

akhirnya sih cuma bisa bilang, Hepy Wedding ya, Fan.
Karena acaranya di Bandung, maaf aku ga bisa datang. Tapi kalau mau kasi uang transport sama akomodasi, hehehe.... eke bersedia datang.
Tapi kok dress codenya hitam sih, Fan? kek mu ke....

Rabu, 01 April 2009

15.22.00

Baik, Nggak. Baik, Nggak. Baik atau Nggak, Sih?

Pikir-pikir, di dunia ini memang banyak hal yang tidak bisa dipandang dari satu sudut saja ya. Tidak semua hal salah, tidak pula semua hal sama benarnya. tidak semua hal jelek, tidak juga semua hal baik. dan percaya ga sih, kalau di dunia ini tidak ada sesuatu yang benar-benar baik. bahkan kangkung saja tidak selalu baik saat dimakan.

bingung?
sebenarnya topiknya sih gampang. masalah patokan kebaikan bagi sesuatu. Selain masalah kuantitatif, pikir-pikir soal kebaikan itu ga ada yang pasti. Bahkan kalaupun secara kuantitatif, banyak orang berpendapat bahwa 1 + 1 pun belum tentu 2. Nah loh...

Sebuah contoh. Misalnya Si A selingkuh. Awal-awalnya pasti banyak orang menghujat, karena selingkuh itu memang ga baik. patokan mereka untuk kebaikan pada hal ini adalah pada norma-norma, dan ini lebih merujuk pada sesuatu yang dipandang baik secara umum oleh masyarakat

Namun kelamaan, setelah selesai menghujat, kemungkinan (pasti ah) akan muncul kata seperti ini, "yah, Tapi wajar juga si A selingkuh, lha wong...".
Nah, semenjak saat itu patokan kebaikan menurut para gosipper itu sudah bergeser ke arah yang lebih individual, ke arah pribadi. ke masalah sebuah kewajaran sebuah hubungan rumah tangga, entah itu dalam hal perlakuan dsb.

Wkwkwkwk. maksud si mocca_chi apaan sih sebenarnya?
Hehehe... ribet. Intinya adalah sebenarnya, bagaimana kita bisa melapangkan dada untuk melihat sesuatu dari sudut pandang lain. ukuran dari sebuah kebaikan itu tidak kaku, apalagi dalam hidup ini memang tidak jelas patokan dari sebuah kebaikan itu sendiri bagaimana. apa iya, Undang-undang itu memang selalu mengandung hal yang baik? belum tentu sih.

Ukuran kebaikan itu fleksibel, menurutku sih. Tidak kaku ataupun konvensional. Ga tegak berdiri seperti tiang bendera di lapangan sekolah. tetapi seperti pohon yang meliuk-liuk di taman.
Bahkan percaya ga sih, kalau Tuhanpun sudah memberi tahu kita sejak awal. Buktinya kita punya dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki dan serba dua bagian tubuh lagi yang lain. bukankah itu untuk menilai sesuatu dari dua sisi yang berbeda, dari kanan serta dari kiri.

kalau tidak begitu maksudnya, kenapa ada dua. kenapa tidak ada satu seperti mulut dan hidung? Eh, hidungpun lubangnya dua yak, kanan dan kiri. Tapi ah, anggap aja begitu. hiiiii




About