Peri Stroberi
Memi duduk termenung di dekat jendela. Pandangannya mengarah ke halaman luar, pada sebuah pot yang diletakan di teras. Pot itu berisi rumpun tumbuhan stoberi, Memi dan Mamanya membelinya waktu ke pasar minggu lalu. Sudah ada bakal buah kecil saat pot itu pertama kali dibawa pulang, dan sekarang setelah beberapa waktu berlalu bakal buah itu sudah membesar dan Memi menunggunya matang.
Mama muncul di belakangnya, lalu membelai kepala Memi. "Ada apa Memi, Sayang? Kenapa kamu bengong?"
Memi menoleh sesaat. "Mama, bagaimana cara stroberi itu matang, Ma? Dari kemarin Memi lihat, warnanya tetap hijau, tidak mau merah seperti yang Memi sering makan."
Mamanya tersenyum, lalu duduk di sebelah Memi. "Hmm... Memi mau Mama ceritain cerita, nggak? Cerita tentang Peri Stroberi?"
Gadis kecil berumur lima tahun itu mengangguk semangat. "Bagaimana ceritanya, Ma?"
"Tapi Memi janji dulu, setelah ini mandi, makan, dan bantu Mama bikin ketupat, mau?"
Memi kembali mengangguk, menunggu Mamanya bercerita.
Sang Mama mulai bercerita sambil memandangi pot di teras. "Stroberi itu matangnya pada malam hari. Konon katanya, waktu malam adalah waktu terbaik bagi Peri Stroberi untuk keluar dan mewarnai stroberi dengan cat ajaibnya."
"Peri, Mama?" tanya Memi dengan takjub.
Sang Mama mengangguk. "Seorang peri kecil yang cantik, punya sayap dan mahkota. Malam-malam, saat matahari tenggelam, mereka terbang menghampiri buah-buah stroberi itu sambil membawa kendi berisi cat ajaib serta kuas. Dengan sekali gerakan, mereka melumuri buah yang hijau itu dengan cat, dan dalam semalam, maka buah-buah itu akan menjadi lunak dan manis."
Memi masih memandang Mamanya dengan takjub, mulutnya terbuka membentuk hurup O panjang. "Jadi begitu, ya, Ma?"
Mama mengangguk. "Iya, dan sekarang karena sudah sore, Memi mandi dulu! Oke?"
Memi mengangguk, lalu turun dari kursi dan lari ke kamar mandi. Malamnya, setelah Mamanya meninggalkannya di kamar untuk tidur, ia berpikir kembali soal Peri Stroberi yang diceritakan Mamanya. Ia penasaran, lalu diam-diam tanpa sepengetahuan Mamanya kemudian keluar kamar. Ia berjingkat-jingkat di ruang tengah, menuju ke teras untuk mengambil pot stroberi dan membawanya ke kamar.
Pot itu diletakan di meja sebelah tempat tidur. Menurut cerita Mama, peri itu muncul saat gelap, karena itu ia juga mematikan lampu kamarnya. Memi mengambil kursi dan meletakannya di depan meja, sambil memeluk bonekanya, ia duduk disana dan memandangi pot itu.
Selama beberapa lama, matanya bisa terjaga. Ia memandangi buah stroberi itu tanpa kedip. Sesekali mulut mungilnya membisikan sesuatu, datanglah Peri Stroberi, datanglah! Namun tidak ada yang datang, dan buah stroberi itu tetap saja hijau.
Saat jam berdentang sepuluh kali, kantuk mulai menyerang Memi. Perlahan matanya tertutup, kepalanya terangguk-angguk sampai akhirnya ia tertelungkup di meja di samping pot. Ia tertidur.
Hiii....
Suara cekikikan terdengar dari arah jendela. Tirai yang tertutup tiba-tiba berkibar-kibar, padahal angin tidak bisa menembus jendela kacanya. Nampak kemudian sesosok tubuh kecil bercahaya kekuningan di luar jendela, melayang-layang dengan sepasang sayap tipis. Sosok itu membawa sesuatu di tangannya, sebuah kendi cokelat berlumuran sesuatu berwarna merah, dan tongkat dengan ujung hitam lunak di tangan kanan. Sesaat sosok itu melayang-layang, dan kemudian menembus kaca begitu saja untuk memasuki ruangan.
Kini ia terbang di kepala Memi, memutarinya selama beberapa kali. Lalu ia hinggap di meja dekat telinga kanan Memi, dan mulai membisikan sesuatu.
"Memi, bangunlah!"
Perlahan, Memi terbangun. Matanya mengerjap karena silau oleh cahaya yang melingkupi sosok itu. Namun saat bisa melihat jelas, ia berseru takjub. "Wow, Peri Stroberi! Aku sudah menunggumu lama. Akhirnya kamu datang juga!"
Peri itu, bersosok wanita dengan wajah kecilnya yang damai, tersenyum. "Stroberimu akan dimatangkan mulai malam ini, Memi. Apakah kamu mau melihat bagaimana aku membuatnya merah dan manis?"
Memi duduk tegak, dan mengangguk. "Aku mau, aku mau, aku mau!"
Peri itu kembali terbang sejajar matanya. "Baiklah, tapi kamu harus berjanji tidak menceritakan hal ini pada siapapun. Mau?"
Memi teringat Mamanya sejenak, namun sebelum ia berkata sesuatu, sang peri terlebih sudah menyahut.
"Kecuali Mamamu, setuju?"
Memi mengangguk. Kemudian mulailah sang peri melakukan tugasnya. Ia terbang mendekati bakal buah terbesar dan melayang-layang selama beberapa saat di dekatnya. Tangan kanannya mulai memutar-mutar tongkat yang ternyata ujungnya berisi kuas itu ke buah yang selama beberapa saat terangkat. Ada sinar keemasan yang muncul dari kuas lalu melingkari buah itu, berputar seperti cincin. Saat warna keemasan berubah jadi kuning, Peri Stroberi menarik kuasnya, lalu mencelupkan ke kendi. Kuasnya berubah jadi merah, dan sekali olesan, stroberi di depan mereka beurbah warna, menjadi merah muda.
Memi mendekatkan wajahnya ke arah Peri Stroberi, sehingga secara tidak sengaja ujung kuas sang peri menyentuh ujung hidung Memi saat ia menarik tangan. Memi mengikik geli.
"Apa sudah selesai?" tanya Memi.
Sang peri mengangguk.
"Tapi kenapa merahnya belum ranum?" tanya Memi melihat merah buah itu masih tidak semerah yang sering ia makan.
"Karena matangnya butuh waktu, dan besok akan ada peri lain yang akan menyempurnakannya."
Memi mengangguk paham.
"Nah, Memi. Sekarang sudah selesai untuk malam ini, kamu kembali tidur, ya!" kata sang peri, lalu mengayunkan kuasnya. Cahaya merah lembut melesat dari ujungnya, lalu mendarat tepat di kening Memi. Memi pun kembali tertelungkup, tidur.
*****
"Memi, bangun, Sayang!"
Memi membuka mata dan langsung teringat dengan kejadian semalam. "Aku melihatnya, aku melihatnya, aku melihatnya, Mama!"
Mamanya bingung. "Melihat apa, Sayang?"
"Peri Stroberi, semalam aku bertemu dengannya, Mama!"
Mamanya hanya tersenyum, lalu mengambil boneka Memi yang tergeletak di lantai. "Kamu bertemu dengannya di dalam mimpi, Sayang. dan..." Mamanya melihat pot stroberi di meja, "Wow, Sayang! Buahnya hampir matang!"
Memi memandang takjub buah itu. Iya, warnanya merah muda, sama seperti warna yang dilihatnya semalam.
"Tapi, Mama, aku melihatnya semalam. Aku melihat peri itu!" kata Memi berusaha meyakinkan.
Mamanya berjongkok disampingnya. "Mama percaya. Kamu tahu kenapa? Karena Mama pernah mengalaminya dulu, dulu sekali waktu seumuran kamu, Sayang!"
"Karena itu Mama tahu?"
Mamanya mengangguk. "Tapi, tapi itu hanya mimpi, Sayang!"
Memi mengerang sedih. Mamanya mengalaminya juga, tapi Mama yakin itu mimpi. Memi jadi sedih, ia kira ia benar-benar bertemu peri itu. Ia memandangi pot stroberi, memperhatikan buahnya yang merah muda.
Tiba-tiba matanya berbinar, ia ingat sesuatu. Tangannya dengan cepat mengambil cermin kecil dan memastikan bahwa tanda itu ada. Dan ternyata benar, ia gembira sekali.
"Itu benar, Mama! Lihat tanda merah di hidungku ini!" Memi menunjuk titik merah kecil di ujung hidungnya, yang teroles tak sengaja oleh kuas sang peri. "Ini dari sang peri sendiri, Ma!"
Mamanya memperhatikan titik merah itu, lalu tersenyum dan mengangguk. "Mama percaya, Sayang. Selamat, kamu menemukan peri itu, tapi... ingat pesan snag peri?"
Memi mengangguk. "Aku tidak akan menceritakan semua ini pada siapapun!"
"Janji?" Mamanya menjulurkan jari kelingkingnya.
"Janji!" jawab Memi, smabil mengaitkan jari kelingkingnya sendiir.
Jauh di sebuah negeri yang indah, seornag peri terkikik melihat dua jari yang terkait itu lewat cermin ajaibnya.
******
Untuk Memi, Tetaplah semangat! ganbate
Mama muncul di belakangnya, lalu membelai kepala Memi. "Ada apa Memi, Sayang? Kenapa kamu bengong?"
Memi menoleh sesaat. "Mama, bagaimana cara stroberi itu matang, Ma? Dari kemarin Memi lihat, warnanya tetap hijau, tidak mau merah seperti yang Memi sering makan."
Mamanya tersenyum, lalu duduk di sebelah Memi. "Hmm... Memi mau Mama ceritain cerita, nggak? Cerita tentang Peri Stroberi?"
Gadis kecil berumur lima tahun itu mengangguk semangat. "Bagaimana ceritanya, Ma?"
"Tapi Memi janji dulu, setelah ini mandi, makan, dan bantu Mama bikin ketupat, mau?"
Memi kembali mengangguk, menunggu Mamanya bercerita.
Sang Mama mulai bercerita sambil memandangi pot di teras. "Stroberi itu matangnya pada malam hari. Konon katanya, waktu malam adalah waktu terbaik bagi Peri Stroberi untuk keluar dan mewarnai stroberi dengan cat ajaibnya."
"Peri, Mama?" tanya Memi dengan takjub.
Sang Mama mengangguk. "Seorang peri kecil yang cantik, punya sayap dan mahkota. Malam-malam, saat matahari tenggelam, mereka terbang menghampiri buah-buah stroberi itu sambil membawa kendi berisi cat ajaib serta kuas. Dengan sekali gerakan, mereka melumuri buah yang hijau itu dengan cat, dan dalam semalam, maka buah-buah itu akan menjadi lunak dan manis."
Memi masih memandang Mamanya dengan takjub, mulutnya terbuka membentuk hurup O panjang. "Jadi begitu, ya, Ma?"
Mama mengangguk. "Iya, dan sekarang karena sudah sore, Memi mandi dulu! Oke?"
Memi mengangguk, lalu turun dari kursi dan lari ke kamar mandi. Malamnya, setelah Mamanya meninggalkannya di kamar untuk tidur, ia berpikir kembali soal Peri Stroberi yang diceritakan Mamanya. Ia penasaran, lalu diam-diam tanpa sepengetahuan Mamanya kemudian keluar kamar. Ia berjingkat-jingkat di ruang tengah, menuju ke teras untuk mengambil pot stroberi dan membawanya ke kamar.
Pot itu diletakan di meja sebelah tempat tidur. Menurut cerita Mama, peri itu muncul saat gelap, karena itu ia juga mematikan lampu kamarnya. Memi mengambil kursi dan meletakannya di depan meja, sambil memeluk bonekanya, ia duduk disana dan memandangi pot itu.
Selama beberapa lama, matanya bisa terjaga. Ia memandangi buah stroberi itu tanpa kedip. Sesekali mulut mungilnya membisikan sesuatu, datanglah Peri Stroberi, datanglah! Namun tidak ada yang datang, dan buah stroberi itu tetap saja hijau.
Saat jam berdentang sepuluh kali, kantuk mulai menyerang Memi. Perlahan matanya tertutup, kepalanya terangguk-angguk sampai akhirnya ia tertelungkup di meja di samping pot. Ia tertidur.
Hiii....
Suara cekikikan terdengar dari arah jendela. Tirai yang tertutup tiba-tiba berkibar-kibar, padahal angin tidak bisa menembus jendela kacanya. Nampak kemudian sesosok tubuh kecil bercahaya kekuningan di luar jendela, melayang-layang dengan sepasang sayap tipis. Sosok itu membawa sesuatu di tangannya, sebuah kendi cokelat berlumuran sesuatu berwarna merah, dan tongkat dengan ujung hitam lunak di tangan kanan. Sesaat sosok itu melayang-layang, dan kemudian menembus kaca begitu saja untuk memasuki ruangan.
Kini ia terbang di kepala Memi, memutarinya selama beberapa kali. Lalu ia hinggap di meja dekat telinga kanan Memi, dan mulai membisikan sesuatu.
"Memi, bangunlah!"
Perlahan, Memi terbangun. Matanya mengerjap karena silau oleh cahaya yang melingkupi sosok itu. Namun saat bisa melihat jelas, ia berseru takjub. "Wow, Peri Stroberi! Aku sudah menunggumu lama. Akhirnya kamu datang juga!"
Peri itu, bersosok wanita dengan wajah kecilnya yang damai, tersenyum. "Stroberimu akan dimatangkan mulai malam ini, Memi. Apakah kamu mau melihat bagaimana aku membuatnya merah dan manis?"
Memi duduk tegak, dan mengangguk. "Aku mau, aku mau, aku mau!"
Peri itu kembali terbang sejajar matanya. "Baiklah, tapi kamu harus berjanji tidak menceritakan hal ini pada siapapun. Mau?"
Memi teringat Mamanya sejenak, namun sebelum ia berkata sesuatu, sang peri terlebih sudah menyahut.
"Kecuali Mamamu, setuju?"
Memi mengangguk. Kemudian mulailah sang peri melakukan tugasnya. Ia terbang mendekati bakal buah terbesar dan melayang-layang selama beberapa saat di dekatnya. Tangan kanannya mulai memutar-mutar tongkat yang ternyata ujungnya berisi kuas itu ke buah yang selama beberapa saat terangkat. Ada sinar keemasan yang muncul dari kuas lalu melingkari buah itu, berputar seperti cincin. Saat warna keemasan berubah jadi kuning, Peri Stroberi menarik kuasnya, lalu mencelupkan ke kendi. Kuasnya berubah jadi merah, dan sekali olesan, stroberi di depan mereka beurbah warna, menjadi merah muda.
Memi mendekatkan wajahnya ke arah Peri Stroberi, sehingga secara tidak sengaja ujung kuas sang peri menyentuh ujung hidung Memi saat ia menarik tangan. Memi mengikik geli.
"Apa sudah selesai?" tanya Memi.
Sang peri mengangguk.
"Tapi kenapa merahnya belum ranum?" tanya Memi melihat merah buah itu masih tidak semerah yang sering ia makan.
"Karena matangnya butuh waktu, dan besok akan ada peri lain yang akan menyempurnakannya."
Memi mengangguk paham.
"Nah, Memi. Sekarang sudah selesai untuk malam ini, kamu kembali tidur, ya!" kata sang peri, lalu mengayunkan kuasnya. Cahaya merah lembut melesat dari ujungnya, lalu mendarat tepat di kening Memi. Memi pun kembali tertelungkup, tidur.
*****
"Memi, bangun, Sayang!"
Memi membuka mata dan langsung teringat dengan kejadian semalam. "Aku melihatnya, aku melihatnya, aku melihatnya, Mama!"
Mamanya bingung. "Melihat apa, Sayang?"
"Peri Stroberi, semalam aku bertemu dengannya, Mama!"
Mamanya hanya tersenyum, lalu mengambil boneka Memi yang tergeletak di lantai. "Kamu bertemu dengannya di dalam mimpi, Sayang. dan..." Mamanya melihat pot stroberi di meja, "Wow, Sayang! Buahnya hampir matang!"
Memi memandang takjub buah itu. Iya, warnanya merah muda, sama seperti warna yang dilihatnya semalam.
"Tapi, Mama, aku melihatnya semalam. Aku melihat peri itu!" kata Memi berusaha meyakinkan.
Mamanya berjongkok disampingnya. "Mama percaya. Kamu tahu kenapa? Karena Mama pernah mengalaminya dulu, dulu sekali waktu seumuran kamu, Sayang!"
"Karena itu Mama tahu?"
Mamanya mengangguk. "Tapi, tapi itu hanya mimpi, Sayang!"
Memi mengerang sedih. Mamanya mengalaminya juga, tapi Mama yakin itu mimpi. Memi jadi sedih, ia kira ia benar-benar bertemu peri itu. Ia memandangi pot stroberi, memperhatikan buahnya yang merah muda.
Tiba-tiba matanya berbinar, ia ingat sesuatu. Tangannya dengan cepat mengambil cermin kecil dan memastikan bahwa tanda itu ada. Dan ternyata benar, ia gembira sekali.
"Itu benar, Mama! Lihat tanda merah di hidungku ini!" Memi menunjuk titik merah kecil di ujung hidungnya, yang teroles tak sengaja oleh kuas sang peri. "Ini dari sang peri sendiri, Ma!"
Mamanya memperhatikan titik merah itu, lalu tersenyum dan mengangguk. "Mama percaya, Sayang. Selamat, kamu menemukan peri itu, tapi... ingat pesan snag peri?"
Memi mengangguk. "Aku tidak akan menceritakan semua ini pada siapapun!"
"Janji?" Mamanya menjulurkan jari kelingkingnya.
"Janji!" jawab Memi, smabil mengaitkan jari kelingkingnya sendiir.
Jauh di sebuah negeri yang indah, seornag peri terkikik melihat dua jari yang terkait itu lewat cermin ajaibnya.
******
Untuk Memi, Tetaplah semangat! ganbate
wahhh ceritanya bagus banget.cukup menghibur..untuk memi tetap semangat yap.
BalasHapusHuaaaaaa terharuuuuuuuu aku di buatin cerpeeeen...senanknyaaaa...hikshiks jadi pengen nangis di pelukan kamu mocca chi ku sayang hehehehe....
BalasHapusThanks bgt yaa udh di buatin..ceritanya buaguuuuus buangeeeeet,ayoo mulai di kumpulkan dan di buatkan buku khusus...ayoooo...
Boleh ku posting di blogku gak mocca??? boleh yaah boleh boleh yaaah
Huaaaaaaa, jadi kangen dongeng waktu TK-Sd
BalasHapusapakah kamu percaya peri itu ada?
BalasHapusasik ceritanya .... salam kenal ya mba/mas...
BalasHapuskalo ada waktu mampir keblogku...
top bgt dah ceritanya nih ...
BalasHapusbtW laM kenAl dulu ...
aku suka cerita ini. membawaku ke alam khayal kanak2. good job, sis!
BalasHapusaku ingin mereka bercerita padaku tapi itu ga mungkin karena mereka dah janji ga akan cerita kesiapapun, sungguh pengalaman yg menakjubkan!
BalasHapushihihi ternyata ada juga yah peri stroberi, kirain yg ada cuma peri gigi
BalasHapuswah neng peri aku koq ga bisa isi shoutboxnya ya pegimaneh neeh...jadi isi di sinih dech,linknya udah ditempel tuh :)salam kuenall juga...
BalasHapushmmm... dikirim aja ke majalah bobo =)
BalasHapus