Pelajaran Membunuh
Apakah kalian tahu membunuh itu menyenangkan?
Jika sampai detik ini kalian hanya menebas leher ayam atau menggorok kambing, mari aku ajarkan sesuatu yang baru. Membunuh mereka hanyalah sebuah akibat dari eksestensi kalian sebagai seorang manusia, sebagai pemilik perut karung yang sampai detik ini entah sudah berjuta ton daging yang lumer dalam lender-lendir berenzim.
Membunuh itu menyenangkan. Tidak percaya? Mungkin kalian tidak akan melihat sebuah seni disini, sebuah perasaan nikmat berlebih saat karya seni kalian terpampang di halaman depan koran dan masuk hot news selama beberapa pekan.
Menyenangkan.
Seperti saat melihat tubuh itu terbujur kaku di belakang gang tempat ia berciuman dengan orang lain, tepat di depan mataku.
Mungkin tidak baik memulai cerita tanpa adanya sebuah motif. Baiklah, aku pembunuh dan membunuh memang memerlukan motif. Sakit hati dan dendam, bukankan itu cukup untuk melakukannya? Polisi tidak akan peduli bagaimana klisenya dua motif itu, sudah rahasia umum bahwa pembunuh berdarah panas pasti mempunyai dendam.
Dia pacarku, setidaknya satu jam yang lalu. Jangan tanya bagaimana aku mencintainya setengah mati, aku juga tidak tahu setengah mati itu bagaimana, tetapi aku tahu bahwa aku mencintainya seperti aku mencintai diriku sendiri. Aku selalu ada disampingnya saat dia sakit, saat dia jatuh, walau kadang dia sama sekali tidak aku kenali dengan baik. Intinya, aku berusaha menjadi apa yang ia inginkan, termasuk merubah dandanku yang awalnya versi pragawati menjadi preman lemari adik laki-lakiku.
Aku tidak mempersalahkannya, selama dia senang.
Tetapi aku mempersalahkannya ketika kulihat ia berciuman di belakang gang rumahnya. Menjijikan. Gang itu penuh dengan air buangan, kotor dan berbau. Tetapi dia mencium orang itu disana, diantara kekotoran dunia dan dirinya sendiri. Dia menodai dirinya sendiri.
Salahkah aku sakit hati?
Jika kalian waras, maka seratus persen jawabannya adalah tidak. Tetapi sakit hatiku melebihi kewarasanku sendiri. Melebihi ketika aku kehilangan pacar pertama, pacar kedua dan seterusnya. Melebihi apapun.
Aku merasa diriku rendah, menjijikan dan hina. Apakah aku tidak seberarti itu di dunia ini? Hingga disana, diantara kotoran dia berciuman dengan lelaki lain.
Jika seandainya dia berciuman dengan wanita lain, mungkin sakit hatiku masih diambang wajar.
Tetapi, dua tahun ia membohongiku. Apakah dia membayangkan lelaki itu saat menciumku?
Apakah ini alasan dia memintaku menggerayangi lemari adik laki-lakiku dan memakai semua kaos longgarnya, sepatu kets dan semua tetek bengek kelelakian. Bukan karena dia ingin aku apa adanya, tetapi karena dia ingin aku menjadi laki-laki, persis seperti orang yang ia cium saat itu.
Ouh, aku terlalu bercerita banyak tentang motif. Cukup segitu untuk soal motif. Sekarang berbicara soal teknis.
Tahukah kalian kalau guillotine diciptakan untuk membunuh dengan cepat tanpa mengotori tangan? Revolusi Prancis mengeksekusi ribuan orang pada alat itu. Tidak repot, sekali hentak leher melayang.
Dan pada kasus ini, memakai pisau tajam setajam guillotine adalah pilihan baik. Jangan membayangkan hendak menyilet dagingnya sedikit demi sedikit! Bau daging bisa membuat perutmu lapar, dan kalian pembunuh murni, bukan kanibal. Jangan juga bayangkan menggorok leher perlahan, bau darah itu tidak menyenangkan dibandingkan kalian makan darah ayam. Dan kalian yang dianugrahi kemampuan membayangkan yang hebat, yakin anda tidak akan bisa tidur selama setahun setalh menyoyak daging dan tulang itu.
Pisau itu sebenarnya untuk memasak ayam. Ibu mengatakan bahwa memotong ayam baiknya memakai pisau tajam, setajam guillotine. Tetapi bukan ayam korbannya, melainkan leher.
Ketika ia belum menyelesaikan ciumannya, aku menepuk bahunya. Ia terkejut, gelagapan. Pasangannya melesat pergi tanpa sempat aku lihat wajahnya, nampaknya selain leher, dia juga sayang pada reputasinya.
“Ila, ka.. kamu.. kamu kenapa ada disini?”
Pertanyaan basi yang aku jawab dengan air mata!
Dia ketakutan ketika aku naikan pisau itu sejajar lehernya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergerak-gerak cepat, ia panik. Aku tidak sempat menghiraukan teriakannya, gerakan tangannya yang hendak merebut pisauku. Semuanya bagaikan slow motion sebuah film bisu yang tidak pernah aku sukai, dan alam membuatnya meriah dengan hujan.
Satu sabetan pisau itu berhasil menebas batang leher, seperti guillotine yang menebas leher Nicolas Jacques Pelletier untuk pertama kalinya. Dan setelahnya hening, tidak terasa apa-apa, tidak terdengar apa-apa, tidak terlihat apa-apa. Gelap dan sepi.
Nah, bisakah sekarang kalian merasakan betapa menyenangkannya membunuh?
Iya, sangat menyenangkan. membalaskan sakit hati, membalaskan dendam. Namun sedikit sakit. Setajam apapun guillotine, tetap ada jeda sebelum kalian mati. Saat itu kalian masih merasakan darah mengalir, tidak mati seketika. Dan karena itu, aku juga sedikit kesakitan sebelum ajalku tiba.
Aku terlalu mencintainya untuk menebas lehernya
N.B. sudah terlalu banyak happy ever after di buku sebelah, dan bagaimana kalau sesekali kita memberi sela dengan ending berbeda?
Teruntuk Mamak Fitri, cheers
Jika sampai detik ini kalian hanya menebas leher ayam atau menggorok kambing, mari aku ajarkan sesuatu yang baru. Membunuh mereka hanyalah sebuah akibat dari eksestensi kalian sebagai seorang manusia, sebagai pemilik perut karung yang sampai detik ini entah sudah berjuta ton daging yang lumer dalam lender-lendir berenzim.
Membunuh itu menyenangkan. Tidak percaya? Mungkin kalian tidak akan melihat sebuah seni disini, sebuah perasaan nikmat berlebih saat karya seni kalian terpampang di halaman depan koran dan masuk hot news selama beberapa pekan.
Menyenangkan.
Seperti saat melihat tubuh itu terbujur kaku di belakang gang tempat ia berciuman dengan orang lain, tepat di depan mataku.
Mungkin tidak baik memulai cerita tanpa adanya sebuah motif. Baiklah, aku pembunuh dan membunuh memang memerlukan motif. Sakit hati dan dendam, bukankan itu cukup untuk melakukannya? Polisi tidak akan peduli bagaimana klisenya dua motif itu, sudah rahasia umum bahwa pembunuh berdarah panas pasti mempunyai dendam.
Dia pacarku, setidaknya satu jam yang lalu. Jangan tanya bagaimana aku mencintainya setengah mati, aku juga tidak tahu setengah mati itu bagaimana, tetapi aku tahu bahwa aku mencintainya seperti aku mencintai diriku sendiri. Aku selalu ada disampingnya saat dia sakit, saat dia jatuh, walau kadang dia sama sekali tidak aku kenali dengan baik. Intinya, aku berusaha menjadi apa yang ia inginkan, termasuk merubah dandanku yang awalnya versi pragawati menjadi preman lemari adik laki-lakiku.
Aku tidak mempersalahkannya, selama dia senang.
Tetapi aku mempersalahkannya ketika kulihat ia berciuman di belakang gang rumahnya. Menjijikan. Gang itu penuh dengan air buangan, kotor dan berbau. Tetapi dia mencium orang itu disana, diantara kekotoran dunia dan dirinya sendiri. Dia menodai dirinya sendiri.
Salahkah aku sakit hati?
Jika kalian waras, maka seratus persen jawabannya adalah tidak. Tetapi sakit hatiku melebihi kewarasanku sendiri. Melebihi ketika aku kehilangan pacar pertama, pacar kedua dan seterusnya. Melebihi apapun.
Aku merasa diriku rendah, menjijikan dan hina. Apakah aku tidak seberarti itu di dunia ini? Hingga disana, diantara kotoran dia berciuman dengan lelaki lain.
Jika seandainya dia berciuman dengan wanita lain, mungkin sakit hatiku masih diambang wajar.
Tetapi, dua tahun ia membohongiku. Apakah dia membayangkan lelaki itu saat menciumku?
Apakah ini alasan dia memintaku menggerayangi lemari adik laki-lakiku dan memakai semua kaos longgarnya, sepatu kets dan semua tetek bengek kelelakian. Bukan karena dia ingin aku apa adanya, tetapi karena dia ingin aku menjadi laki-laki, persis seperti orang yang ia cium saat itu.
Ouh, aku terlalu bercerita banyak tentang motif. Cukup segitu untuk soal motif. Sekarang berbicara soal teknis.
Tahukah kalian kalau guillotine diciptakan untuk membunuh dengan cepat tanpa mengotori tangan? Revolusi Prancis mengeksekusi ribuan orang pada alat itu. Tidak repot, sekali hentak leher melayang.
Dan pada kasus ini, memakai pisau tajam setajam guillotine adalah pilihan baik. Jangan membayangkan hendak menyilet dagingnya sedikit demi sedikit! Bau daging bisa membuat perutmu lapar, dan kalian pembunuh murni, bukan kanibal. Jangan juga bayangkan menggorok leher perlahan, bau darah itu tidak menyenangkan dibandingkan kalian makan darah ayam. Dan kalian yang dianugrahi kemampuan membayangkan yang hebat, yakin anda tidak akan bisa tidur selama setahun setalh menyoyak daging dan tulang itu.
Pisau itu sebenarnya untuk memasak ayam. Ibu mengatakan bahwa memotong ayam baiknya memakai pisau tajam, setajam guillotine. Tetapi bukan ayam korbannya, melainkan leher.
Ketika ia belum menyelesaikan ciumannya, aku menepuk bahunya. Ia terkejut, gelagapan. Pasangannya melesat pergi tanpa sempat aku lihat wajahnya, nampaknya selain leher, dia juga sayang pada reputasinya.
“Ila, ka.. kamu.. kamu kenapa ada disini?”
Pertanyaan basi yang aku jawab dengan air mata!
Dia ketakutan ketika aku naikan pisau itu sejajar lehernya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergerak-gerak cepat, ia panik. Aku tidak sempat menghiraukan teriakannya, gerakan tangannya yang hendak merebut pisauku. Semuanya bagaikan slow motion sebuah film bisu yang tidak pernah aku sukai, dan alam membuatnya meriah dengan hujan.
Satu sabetan pisau itu berhasil menebas batang leher, seperti guillotine yang menebas leher Nicolas Jacques Pelletier untuk pertama kalinya. Dan setelahnya hening, tidak terasa apa-apa, tidak terdengar apa-apa, tidak terlihat apa-apa. Gelap dan sepi.
Nah, bisakah sekarang kalian merasakan betapa menyenangkannya membunuh?
Iya, sangat menyenangkan. membalaskan sakit hati, membalaskan dendam. Namun sedikit sakit. Setajam apapun guillotine, tetap ada jeda sebelum kalian mati. Saat itu kalian masih merasakan darah mengalir, tidak mati seketika. Dan karena itu, aku juga sedikit kesakitan sebelum ajalku tiba.
Aku terlalu mencintainya untuk menebas lehernya
N.B. sudah terlalu banyak happy ever after di buku sebelah, dan bagaimana kalau sesekali kita memberi sela dengan ending berbeda?
Teruntuk Mamak Fitri, cheers
hebaaaaadddd *tepuk tangan*
BalasHapussadis gini jeng....
BalasHapustapi sungguh menghanyutkan...
tika udah baca dulu koq baru komen,,,
BalasHapusrada merinding juga pas baca adegan berdarahnya *secara diriku rada2 takut ma darah* tapi lama2 seru juga akhirnya..
seperti biasa, MATI :P
gak nyangka ternyata udah selesai.... aq mau baca dulu....
BalasHapusp.s : tika ga mau punya piso itu..
BalasHapuslinu banget ngebayanginnya jadi beneran mual2 nih,,,
kayanya suami mu ga suka kekerasan dudz, buktinya dia langsung kasih sinyal 'mual²'
keren enchi..... makasih2.....
BalasHapusserasa ada banyak perasaan berkecamuk dalam dada.... selama membaca cerita seperti ini, ada hal yg kusukai, perasaanku selalu berkecamuk mengikuti alur ceritanya...... bener2 sensasi yg luar biasa bagiku..... :D
i like it
iihhh teh tika ach menghalangi ajah..... xixixixi
BalasHapusgak nyangka, ternyata endingnya si ceweknya sendiri yg menggorok lehernya.... kukira cowoknya yang digorok..... gak nyangka loh endingnya nchi.....
BalasHapusAku membaca pembuka postingan dengan penuh tanda tanya..
BalasHapusMana ada membunuh menyenangkan??
Udah abis toh??
BalasHapusCeritanya begitu menghanyutkan...
Koq khusus mamak fitrie sih chi??
BalasHapushebaaaaadddd *tepuk tangan*
BalasHapusaku juga dah baca dulu koq baru komen...
BalasHapusrada merinding juga pas baca adegan berdarahnya *secara diriku rada2 takut ma darah* tapi lama2 seru juga akhirnya...
seperti biasa, MATI :p
aku koq merasa komenganku tadi ada yang mirip sama komengan di paling atas ya??? >,<
BalasHapusnih buat zujoe *tendangan tanpa bayangan*
BalasHapusWow... kereennn!!!
BalasHapus*pingsan tanpa bayangan*
BalasHapuswow *tepuk tangan*
BalasHapusaku gak ikutan kucing n tika ya huhuuhuh
BalasHapustapi keREENNN!!!
spt biasa cerita disini mah slalu orgnya mati,gk pernah happy ending, but I like this...krn bukan mati krn sakit or apa gitu, tp sst yg aneh hehehe...
BalasHapusmasukin ke majalah dong
btw chi...
BalasHapusmamermu pulang tuuh, keduluan mualnya jdlah dia plg, pdhl yg sakit kan aku tp dia yg mual, aneh bgt deh tuh si bumil
Tulisan yang bagus sesuai dengan perkataan anda bahwa lebih suka menulis psikopat dan kematian, salut
BalasHapusnice posting mantappppp
BalasHapusKok menyayat hati sih....
BalasHapustapi menyeramkan.... maksudnya apa sih...
Hmmmmm ...Judulnya serem sekaleeeeeee
BalasHapustapi sungguh daku terpesona dengan alur yang berhasil membuat daku sedikit mengernyitkan dahi.
Hebat deh.....
Lebih asyik lagi kalo nggorok lehernya pake pisau tumpul yang karatan, dijamin sakitnya nikmat banget tuh :P
BalasHapusuuuuwh,,,, ghanasss.... dimana beli pisunya itu yaah...???
BalasHapusCerita psikopat yang mantab. Sadis tapi indah. Sebentar, biar saya bayangkan dulu.
BalasHapusSALUT.., jegeg! SOOOO NICE. :)
BalasHapusAduh chi....kirain beneran, ck ck ck, kamu cocok banget nulis skenario film misteri, mantaabbbbb, jadi terbawa...congrats chi!
BalasHapusnchii...ngeri ih..dasarrr..jadi mual nih. hiii.....
BalasHapuswah...mengerikan sekali
BalasHapushm.....hm...hm kalo gini siap yang mau jadi pacar si chi wkwkwkwkw......bercanda chi!?!? jangan gorok saya ya?!?!?!
BalasHapustapi ceritanya bagus bikin saya pingin baca sampai habis dulu karena penasaran!!!!!
kerrrrrrrrrren.
BalasHapusendingnya oke. tidak biasa. baca ini saja saya sudah ngeri, lah kok mbak sari malah menyarankan pakai pisau yang karatan.
Baru tahu membunuh bisa juga menyenangkan tp harus memmpunyai motif untuk itu... Aku dah pernah membunuh Makhluk Hidup dengan motif sakit hati kepada dia karena dia ga minta izin buat minum darah saya, makhluk hidup tersebut adalah seekor nyamuk, betapa senang nya diriku setelah itu sama seperti postingan yang neng paparkan di atas..
BalasHapus:)
mainnya bunuh"an nih >.<
BalasHapuspala ku puyeng, nih. kekurangan darah. bisa transfer darah dari org yg dibunuh?
Serem bacanya.
BalasHapusYa ampuuuun.
Wuih Syereeeeeeem.
BalasHapusBagaimana jika membunuhnya dengan kamar gas.
ihhh,ku bunuh! atau "tak pateni" kata ini sekarang mudah diucapkan meski berasa kejam dan ngeri jika menyaksikan.
BalasHapusserem ceritanya nih;
*cerpenmu gak bosenin, moccha..sumpeh!*
BalasHapusmasukin majalah doong...
apa udah ya jangan2 hehehe...
keren, keren...
salut buat moccha :)
Cerpenmu bagus nchi..
BalasHapuskadang membunuh perlu keberanian
tapi mungkin hasilnya memberi kenikmatan
itulah alasan yang paling tidak dimengerti oleh manusia waras kenapa seseorang menjadi maniak
Kalo mau membunuh, kayanya lebih oke kalo bawa golok
BalasHapuslebih menyeramkan..
Apalagi dengan disertai mutilasi
BalasHapuswah tingkat tinggi deh..
kelas 1
betul2 berdarah dingin..sampai sempet bikin cerita sambil membunuh he2222...btw ceritanya menggambarkan hati yang lagi dan amat sangat sebel dgn kenyataan yg dialami...bagus banget cara pengungkapannya :)
BalasHapuswow... kereenn neh mbak!! walopun agak sereeemm siihh,, tp nih keren,, kan udah terlalu banyak yg happy ending.. :)
BalasHapusHaduh..haduh, kenapa ini..??
BalasHapusSaya takut, jangan2 saya jadi sasarn pembunuhannya, hehehhe... :D
T_________T ngga tahan bacanya.. aku benci darah, luka.. lemes nchi ..meskipun cuma ngebayangin doang :(
BalasHapusjadi pengen nyoba bunuh orang
BalasHapus