Masih Ada Hari Esok Untuk Bunuh Diri
Entah apa yang dilakukan burung-burung gagak itu di atas sana. Mereka, sekawanan dengan jumlah entah berapa, satu persatu datang dan bertengger di atas pohon mahoni yang tumbuh di sebelah kiri tempatku berpijak. Mereka berkoak-koak, saling toleh satu per satu dengan gerakan lincah dan agresif. Kemudian salah satu diantara mereka berterbangan, membuat dahan pohon yang diitnggalkan terlontar karena beban yang berkurang, dan akhirnya gerakan spontan itu membuat gagak-gagak lainnya di dahan yang sama ikut terbang.
Tumbuhan semerbak disekitar sini, satu-satunya hanyalah bunga kembang bangkai yang tumbuh menjelang musim hujan. Dan sekarang bulan November, memasuk musim penghujan yang berubah fungsi menjadi musim pancaroba. Tetapi November tetap November, saat hujan menyerbu bumi dan membuatku bisa menyembunyikan air mata yang jatuh berlinangan.
Burung-burung gagak itu semakin agresif melihatku. Pandangan mereka awas, walau gerakan kepala mereka sangat lincah dan hampir-hampir tidak bisa diam, namun aku tahu mereka mengawasiku, menungguku untuk segera memandang mereka dengan tatapan kosong.
Tapi mereka bukan aku. Dari sudut pandang mereka, aku adalah sebuah berkah yang akan membuat mereka bertahan hidup. Tetapi manusia seperti aku menganggap mereka sebaliknya. adakah orang bermimpi burung gagak dan terbangun dengan riang gembira keesokan harinya?
Tidak ada, tidak ada yang gembira. Begitu juga aku. Aku tidak bermimpi tentang burung gagak semalam, aku juga tidak bermimpi tentang peti mati. Namun Oktober kemarin, aku bermimpi tentang sebuah pigura, dimana aku melihatmu menjalani hari-harimu disana. Aku melihatmu sakit, aku melihatmu tidur dan aku melihatmu bersamanya.
Tahukah kamu, bagaimana rasanya ketika aku mengintip ke dalam pigura itu, dimana aku berharap kamu melihatku disini tengah menatapmu penuh harap, namun jangankan melihat, tahu aku ada pun tidak.
Aku tahu itu hanyalah sebuah mimpi, seperti saat aku melihat burung-burung gagak ini sekarang. Namun aku lebih tahu, bahwa akibat mimpi itu senyata aku melihat burung-burung gagak itu sekarang. Dan jika kamu tidak tahu, bisa kamu bayangkan bagaimana kalau kamu sedang duduk di atas sebuah batang pohon yang sudah mati dengan segerombolan burung gagak hinggap di sekitarmu?
Aku tidak memintamu melihat sekarang, seperti aku tidak akan memintamu memindahkan bulan November ke awal tahun. Pigura itu hanya mimpi, seperti juga mimpiku beberapa hari yang lalu, dimana tergesa aku mendekat pada sebuah meja di bandara, tempat kamu duduk menungguku dengan ransel kempis.
Burung-burung gagak itu semakin lincah. Suaranya hingar bingar seperti pasar, seperti suporter sepakbola yang menyemangatiku untuk hari ini. Aura mereka semakin kental, merasuk ke telingaku, mengalir di cairan dekat rumah siput, menjalar ke sel-sel saraf menuju otak. Gerak refleks menyambarnya sebelum sampai dan membawanya cepat ke otot tangan.
Masih ada hari esok untuk bunuh diri, tapi aku tidak mau menunggu besok. Hari ini atau besok sama saja, mimpi itu sudah datang.
Burung-burung gagak itu berkoar-koar ketika nadiku putus dan darahku telah mengalir, mereka tidak perlu menunggu aku sekarat untuk segera terjun ke sekelilingku.
Hujan menderu dan Malaikat Neraka sudah menungguku dengan tidak sadar di salah satu kursinya di alam neraka lapis keseratus.
Tumbuhan semerbak disekitar sini, satu-satunya hanyalah bunga kembang bangkai yang tumbuh menjelang musim hujan. Dan sekarang bulan November, memasuk musim penghujan yang berubah fungsi menjadi musim pancaroba. Tetapi November tetap November, saat hujan menyerbu bumi dan membuatku bisa menyembunyikan air mata yang jatuh berlinangan.
Burung-burung gagak itu semakin agresif melihatku. Pandangan mereka awas, walau gerakan kepala mereka sangat lincah dan hampir-hampir tidak bisa diam, namun aku tahu mereka mengawasiku, menungguku untuk segera memandang mereka dengan tatapan kosong.
Tapi mereka bukan aku. Dari sudut pandang mereka, aku adalah sebuah berkah yang akan membuat mereka bertahan hidup. Tetapi manusia seperti aku menganggap mereka sebaliknya. adakah orang bermimpi burung gagak dan terbangun dengan riang gembira keesokan harinya?
Tidak ada, tidak ada yang gembira. Begitu juga aku. Aku tidak bermimpi tentang burung gagak semalam, aku juga tidak bermimpi tentang peti mati. Namun Oktober kemarin, aku bermimpi tentang sebuah pigura, dimana aku melihatmu menjalani hari-harimu disana. Aku melihatmu sakit, aku melihatmu tidur dan aku melihatmu bersamanya.
Tahukah kamu, bagaimana rasanya ketika aku mengintip ke dalam pigura itu, dimana aku berharap kamu melihatku disini tengah menatapmu penuh harap, namun jangankan melihat, tahu aku ada pun tidak.
Aku tahu itu hanyalah sebuah mimpi, seperti saat aku melihat burung-burung gagak ini sekarang. Namun aku lebih tahu, bahwa akibat mimpi itu senyata aku melihat burung-burung gagak itu sekarang. Dan jika kamu tidak tahu, bisa kamu bayangkan bagaimana kalau kamu sedang duduk di atas sebuah batang pohon yang sudah mati dengan segerombolan burung gagak hinggap di sekitarmu?
Aku tidak memintamu melihat sekarang, seperti aku tidak akan memintamu memindahkan bulan November ke awal tahun. Pigura itu hanya mimpi, seperti juga mimpiku beberapa hari yang lalu, dimana tergesa aku mendekat pada sebuah meja di bandara, tempat kamu duduk menungguku dengan ransel kempis.
Burung-burung gagak itu semakin lincah. Suaranya hingar bingar seperti pasar, seperti suporter sepakbola yang menyemangatiku untuk hari ini. Aura mereka semakin kental, merasuk ke telingaku, mengalir di cairan dekat rumah siput, menjalar ke sel-sel saraf menuju otak. Gerak refleks menyambarnya sebelum sampai dan membawanya cepat ke otot tangan.
Masih ada hari esok untuk bunuh diri, tapi aku tidak mau menunggu besok. Hari ini atau besok sama saja, mimpi itu sudah datang.
Burung-burung gagak itu berkoar-koar ketika nadiku putus dan darahku telah mengalir, mereka tidak perlu menunggu aku sekarat untuk segera terjun ke sekelilingku.
Hujan menderu dan Malaikat Neraka sudah menungguku dengan tidak sadar di salah satu kursinya di alam neraka lapis keseratus.
Izin mengamankan yang pertama dulu
BalasHapusBaru ngeliat burung gagaknya saja udah serem...
BalasHapusSaya seperti membaca kisah nyata seorang psikopat.
BalasHapusmantep banget chi...
kisahnya untuk siapa lagi nih?
hmm... mengamankan tempat ke tiga dulu huehuehuehue
BalasHapusceritanya serem dan aku tau artinya.... *kayaknya*
BalasHapusartinya tetep tentang kematian dan pesimistis hohoho... *pletakk*
BalasHapusmudah2an bukan kisah nyata hehe... bang iwan...apa kabar??? nanti kalo agus pulkam ke soppeng aku minta oleh2 ya sama pak yuliawan ahahaha...
BalasHapusdasar nchii..ini kan yg kita chatting kemarin? hii..lagi2 bau kematian.
BalasHapusiya nih.. horor banget! heran sama si enchi!
BalasHapusLagi gosip apa nich di Bali..
Btw, kan aku sudah pernah bilang jegeg..
neraka cuma lapis 18.. tenang.. Tuhan tidak sekejam itu dengan menciptakan lapisan ke 100!!!
bagus sekali cerpen mu...
BalasHapuspenuh nilai2 kehidupan, walaupun disajikam dengan alur yang bengis...
salam kenal...
Jadi mati apa nggak ya? ato cuma sekarat.. hooo..
BalasHapushm...hm...hm hiiiii jadi atut nih!!!!!
BalasHapusceritanya syereemmmm!!! tentang kematian lagi ya?!?!?! nyeri nih ceritanya??????
yah...kirain bakal ditunda bunuh dirinya
BalasHapussetuju mbak...
BalasHapusbesok2 saja kita bunuh diri, ketika kita sudah mencapai puncak dari hidup;;
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWaduuuuh, serem amat sih postingannya tentang bunuh diri... sesekali bikin postingan tentang betapa keren dan gantengnya gua aja. Pasti menghibur dan memotivasi positif semua orang! :D
BalasHapussymbol burung gagak pas sekali dengan tema kematian, coba burung kakaktua atau kutilang bisa2 kesan gelap dan nanarnya pasti hilang hehehe, btw ceritanya sungguh menghanyutkan hingga terbawa, seakan dialami sendiri oleh orang yg membacanya. :)
BalasHapusPostinga yang buat merinding badan... Apakah benar kalau bermimpi burung gagak tanda2 yang buruk?
BalasHapusdi bandung banyak banget atraksi bunuh diri,,,
BalasHapusplizz jangan diikutin,,,,
Hidup ini terlalu indah untuk ditinggalkan dengan cara kayak gitu
haiii,,haiii..lama ga ke sini? apakabar?
RAIHLAH “JATI DIRI MANUSIA”.. untuk
BalasHapusMENGEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA INDONESIA
Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabatku terchayaaaaaank
I Love U fullllllllllllllllllllllllllllllll
haduhhh serem amat to chi critani *tung..tung..tung..amit-amit deh*
BalasHapusjangan jadikan hidup sia-sia segampang itu, emangnya enak po bunuh diri gitu @_@
hiii, judulnya ngeri.
BalasHapustapi di awal kisah aku nggak dapet rasa ngeri itu.
Waduw...kok kayaknya dari kemarin ngomongnya soal bunuh diri too...
BalasHapusSerem ah, ehhehe....
Chi, lama2 ceritamu kok serem amat yak... kamu ke psikiater deh :P *pizzz*
BalasHapuspagii...... mu kasih makan gagak -_-
BalasHapusneraka ada lapisan ke 100 yah dudz???
BalasHapus*baru baca akhirnya dulu*
judul yang sangat keren, menarik pembaca untuk melanjutkan membaca seluruh isinya!
BalasHapussaluT!!!!!!
Hmmm, cuma manggut-manggut nih baca kisah yang beraroma kelabu, tersaput kelam.
BalasHapushuwaaaaaaaaaaaaaaaaa gak rela kenapa kok di dashbor blogmu gak terlihat kalau udah apdet...... aq gak rela bukan aq yg jadi petramaxxxxxxxxxx
BalasHapusEnchi teruskan buat cerita seperti ini nchi..... aq merasakan ada burung gagak disekelilingku...... xixixixi
BalasHapuskukira yang berlapis itu kue lapis legit,ternyata neraka juga berlapis
BalasHapus