Kapan Dia datang, Bu?
Cinta mati, harus dijaga sampai mati
Jangan sampai ke lain hati
nanti jadinya patah hati....
Alunan lagu itu masih terdengar samar-samar sebelum akhirnya menghilang dan digantikan digantikan I Drive My Self Crazy. Lagi-lagi lagu cinta, lagi-lagi lagu cinta. Tapi jaman sekarang kalau bukan cinta, jarang ada sesuatu yang dijual lagi.
Tapi kata orang, cinta itu membuat mati. Terutama kata Ibu dulu. Saya masih ingat bagaimana beliau mewanti-wanti. Saat saya mengikat tali sepatu di ruang tengah, Ibu mondar-mandir sambil membawa bakul nasi ke meja makan.
"Jangan kamu jatuh cinta cepat-cepat, masih SMP, jangan pacaran dulu. Kalau kamu umur segini sudah jatuh cinta, nanti kamu bakal sakit hati. Karena kalau putus kamu tidak akan bisa kuat, belum dewasa untuk menghadapinya!"
Begitu kata Ibu, waktu itu saya hanya manggut-manggut saja. Walau masih empat belas saya bukan ornag bodoh, saya bisa berpikir kalau perkataan Ibu ada benarnya. Saya pun setuju saja sama Ibu, tidak akan jatuh cinta dulu sebelum dewasa.
Namun Benar pula kata orang, jatuh cinta itu tidak mengenal logika. Saat dinasehati Ibu pada suatu pagi ketika mengikat tali sepatu itu, saya bisa berpikir rasional. Tapi saat bertemu dengannya, saya tidak bisa rasional, sama sekali tidak bisa. Logika kabur entah kemana, akal sehat menjadi bumerang yang dilenyapkan ke ujung dunia, yang ada hanyalah perasaan berbunga-bunga, perasaan bahagia yang tidak jelas datang darimana, dan perasaan terbuai yang membuat saya mabuk kepayang.
Cerita hanyalah dia. Seorang mahasiswa yang sedang magang di kantor desa. Dia punya senyum manis yang tidak bisa dielakan oleh satu semut pun. Semut saja tertarik, apalagi gadis ingusan seperti saya. Apalagi saat dia seringkali menyempatkan diri mengintip lewat pintu kantor desa untuk melihat saya pulang sekolah. Umur tidak masalah, nasehat Ibu terlupakan dan saya jatuh cinta padanya.
Bukan cinta monyet seperti seharusnya terjadi pada anak umur empat belas, namun dia membuat saya berubah arah hidup. Harus dia masa depan saya, harus dia, harus dia. Tidak boleh kalau tidak dia. Saya jadi terbosesi dengan dia, dan akhirnya percaya bahwa dia juga begitu.
Tanpa setahu Ibu saya pacaran dengan dia. Indah sekali waktu itu. Kami berdua bertemu sembunyi-sembunyi di suatu tempat, hanya kami berdua sementara yang ketiga hanyalah angin yang mendesu.
Dia memperlakukan saya seolah saya bukan berumur empat belas. Dia membuat saya merasa dihargai, merasa dicintai sedemikian rupa, merasa bahwa tidak ada wanita lain di dunia ini yang lebih pantas untuk dia. Yah, bukankah seorang yang sedang jatuh cinta memang selalu begitu.
Hingga akhirnya waktu dia harus pergi.
"Aku akan datang, Win. Tenanglah, aku akan datang menjemputmu kalau umurmu sudah lebih besar. Aku mau kerja dulu, bikin tabungan buat nanti melamar kamu. Kamu belajar yang rajin, jadi orang pintar yang bisa bantu aku nambahin tabunganku, ya!"
Sedih, hampa dan kosong. Dia belum pergi saja sudah begitu rasanya, apalagi kalau dia sudah beneran pergi. Saya menangis sampai pagi, sampai Ibu yang mengikatkan tali sepatu saya dan meminta saya ke sekolah. Tapi saya tidak mau, saya tidak mau kemana-mana, karena itu akan mengingatkan saya pada dia. Kemana saya pergi ada dia, kemana saya menoleh seakan melihat senyumnya, kemana saya bernapas, ada aroma tubuhnya yang dewasa. Intinya, desa ini adalah dia dan saya tidak punya pilihan lain selain menerimanya.
Sehari sebelum dia pergi, dia bilang akan datang ke rumah dan menjelaskan semua pada Bapak dan Ibu. Apakah saya dilamar? Anak SMP empat belas tahun dilamar?
"Tidak, aku belum melamarmu, tapi aku akan bilang kalau aku menyayangimu dan akan menunggumu. Aku akan berpesan pada Bapak Ibumu agar menjaga dan tidak membiarkanmu jatuh cinta pada orang lain, kamu setuju?"
Saya mengangguk dengan semangat. Saya menyukai sikapnya yang bertanggungjawab. Saya menyukai cara dia kemudian datang pada Bapak dan Ibu, dengan santunnya menjelaskan bahwa dia menginginkan saya kelak. Awalnya Ibu dan Bapak kaget, tapi dia dengan sopan mengatakan bahwa dia tidak melakukan apa-apa pada saya, hanya menitipkan cinta yang akan ia minta di suatu hari nanti, ketika saya cukup besar dan bisa menjadi mempelainya.
Jika ditanya kapan waktu terbahagia saya, saya akan langsung menjawab, ketika Bapak dan Ibu mengangguk sambil tersenyum dan dia tersenyum senang sambil melirik ke arah saya yang mengintip lewat celah pintu kamar. Dunia sedang berbunga dan sari-sarinya seutuhnya masuk ke perasaan saya. Bahagia....
Huss...
Suara angin sedikit berdesah di telinga saya saat saya mendengar lagu di belakang berganti. Kali ini lagu sedih, ritme lambat dan mendayu-dayu. Angin juga membuat saya menggigil, apalagi dengan pakaian ini. Baju kemben sebatas dada, membuat lengan dan leher saya yang telanjang diserang angin dingin.
Apa perlu saya katakan lagi kalau saya akan menikah?
Iya, saya akan menikah. Dia sebentar lagi akan datang dengan orang tuanya, menjemput saya dengan arak-arakan meriah. Semua orang desa akan melihat saya bahagia, semua tempat yang menyembunyikan kenangan saya akan semarak dengan warna merah yang bahagia. Semua teman saya yang menasehati agar saya tidak pacaran dengan orang yang jauh lebih tua, akan iri melihat betapa bahagianya saya. Dan terakhir, Ayah serta Ibu, akan tenang karena saya dapat suami yang saya cintai.
"Ibu... apa dia sudah datang?" teriak saya dari kamar.
Tak lama, Ibu tergopoh datang. Beliau mendudukan saya kembali di depan cermin, memperlihatkan lipstik saya yang belepotan, memakaikan kebaya tebal di bahu saya.
"Dia sudah datang, Bu?" tanya saya terheran-heran.
Ibu hanya tersenyum sambil merapatkan kebaya itu di bahu saya dan menghapus lisptik saya yang belepotan.
"Ibu, dia sudah datang belum?" tanya saya sekali lagi sambil berusaha melepaskan kebaya jelek itu.
"Tenang, nduk! Nanti kamu masuk angin!" sergah Ibu.
"Tapi kalau dia nanti datang, masak dia melihat saya pakai kebaya jelek begini?" protes saya, tapi Ibu tidak berkata apa-apa. "Dia sudah datang, Bu?"
"Belum, Nduk." jawab Ibu pelan sekali.
"Lho? kok belum, lalu kapan dia datang?"
"Besok."
"Besok lagi?"
"Iya, besok!"
"Bukannya kemarin Ibu bilang datangnya besok?"
"Iya, tapi bukan besok sekarang ini, Nduk!"
"Lalu besok kapan, Bu?"
Ibu diam sesaat, air matanya yang berlinangan. "Nduk, inget. Dia sudah hampir datang lima tahun lalu, tapi dia tidak datang kesini, dia datang ke surga, Nduk!"
Saya diam. Seperti menonton film, saya bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang bermandikan darah, yang ditemukan orang-orang terlindas truk di dekat rumah saya. dia dibopong ke teras, Ibu berteriak-teriak memanggil Bapak untuk membawanya ke mantri. Bapak melempar sabitnya dan berlari ke arah teras. orang-orang berseliweran dengan panik, kemudian Ibu datang ke saya yang termanggu di pintu melihat apa yang terjadi, dan setelah itu gelap.
"Ibu, dia sudah datang?" tanya saya lagi setelah adegan film itu menghilang dari benak saya.
"belum, Nduk," jawab Ibu sambil membimbing saya ke tempat tidur dan membaringkan saya disana.
"Kapan dia datang?" tanya saya sambil memeluk badan yang sudah memakai pakaian pengantin ini, sedari lima tahun lalu.
"Besok, nduk!"
"Besok benar, Bu?"
Ibu tersenyum sayu, sembari menarik selimut ke atas badan saya. "Besok dia akan datang, nduk!"
Dan saya percaya, besok dia akan datang.
****
Denpasar, 2 September 09
09.48 AM
Jangan sampai ke lain hati
nanti jadinya patah hati....
Alunan lagu itu masih terdengar samar-samar sebelum akhirnya menghilang dan digantikan digantikan I Drive My Self Crazy. Lagi-lagi lagu cinta, lagi-lagi lagu cinta. Tapi jaman sekarang kalau bukan cinta, jarang ada sesuatu yang dijual lagi.
Tapi kata orang, cinta itu membuat mati. Terutama kata Ibu dulu. Saya masih ingat bagaimana beliau mewanti-wanti. Saat saya mengikat tali sepatu di ruang tengah, Ibu mondar-mandir sambil membawa bakul nasi ke meja makan.
"Jangan kamu jatuh cinta cepat-cepat, masih SMP, jangan pacaran dulu. Kalau kamu umur segini sudah jatuh cinta, nanti kamu bakal sakit hati. Karena kalau putus kamu tidak akan bisa kuat, belum dewasa untuk menghadapinya!"
Begitu kata Ibu, waktu itu saya hanya manggut-manggut saja. Walau masih empat belas saya bukan ornag bodoh, saya bisa berpikir kalau perkataan Ibu ada benarnya. Saya pun setuju saja sama Ibu, tidak akan jatuh cinta dulu sebelum dewasa.
Namun Benar pula kata orang, jatuh cinta itu tidak mengenal logika. Saat dinasehati Ibu pada suatu pagi ketika mengikat tali sepatu itu, saya bisa berpikir rasional. Tapi saat bertemu dengannya, saya tidak bisa rasional, sama sekali tidak bisa. Logika kabur entah kemana, akal sehat menjadi bumerang yang dilenyapkan ke ujung dunia, yang ada hanyalah perasaan berbunga-bunga, perasaan bahagia yang tidak jelas datang darimana, dan perasaan terbuai yang membuat saya mabuk kepayang.
Cerita hanyalah dia. Seorang mahasiswa yang sedang magang di kantor desa. Dia punya senyum manis yang tidak bisa dielakan oleh satu semut pun. Semut saja tertarik, apalagi gadis ingusan seperti saya. Apalagi saat dia seringkali menyempatkan diri mengintip lewat pintu kantor desa untuk melihat saya pulang sekolah. Umur tidak masalah, nasehat Ibu terlupakan dan saya jatuh cinta padanya.
Bukan cinta monyet seperti seharusnya terjadi pada anak umur empat belas, namun dia membuat saya berubah arah hidup. Harus dia masa depan saya, harus dia, harus dia. Tidak boleh kalau tidak dia. Saya jadi terbosesi dengan dia, dan akhirnya percaya bahwa dia juga begitu.
Tanpa setahu Ibu saya pacaran dengan dia. Indah sekali waktu itu. Kami berdua bertemu sembunyi-sembunyi di suatu tempat, hanya kami berdua sementara yang ketiga hanyalah angin yang mendesu.
Dia memperlakukan saya seolah saya bukan berumur empat belas. Dia membuat saya merasa dihargai, merasa dicintai sedemikian rupa, merasa bahwa tidak ada wanita lain di dunia ini yang lebih pantas untuk dia. Yah, bukankah seorang yang sedang jatuh cinta memang selalu begitu.
Hingga akhirnya waktu dia harus pergi.
"Aku akan datang, Win. Tenanglah, aku akan datang menjemputmu kalau umurmu sudah lebih besar. Aku mau kerja dulu, bikin tabungan buat nanti melamar kamu. Kamu belajar yang rajin, jadi orang pintar yang bisa bantu aku nambahin tabunganku, ya!"
Sedih, hampa dan kosong. Dia belum pergi saja sudah begitu rasanya, apalagi kalau dia sudah beneran pergi. Saya menangis sampai pagi, sampai Ibu yang mengikatkan tali sepatu saya dan meminta saya ke sekolah. Tapi saya tidak mau, saya tidak mau kemana-mana, karena itu akan mengingatkan saya pada dia. Kemana saya pergi ada dia, kemana saya menoleh seakan melihat senyumnya, kemana saya bernapas, ada aroma tubuhnya yang dewasa. Intinya, desa ini adalah dia dan saya tidak punya pilihan lain selain menerimanya.
Sehari sebelum dia pergi, dia bilang akan datang ke rumah dan menjelaskan semua pada Bapak dan Ibu. Apakah saya dilamar? Anak SMP empat belas tahun dilamar?
"Tidak, aku belum melamarmu, tapi aku akan bilang kalau aku menyayangimu dan akan menunggumu. Aku akan berpesan pada Bapak Ibumu agar menjaga dan tidak membiarkanmu jatuh cinta pada orang lain, kamu setuju?"
Saya mengangguk dengan semangat. Saya menyukai sikapnya yang bertanggungjawab. Saya menyukai cara dia kemudian datang pada Bapak dan Ibu, dengan santunnya menjelaskan bahwa dia menginginkan saya kelak. Awalnya Ibu dan Bapak kaget, tapi dia dengan sopan mengatakan bahwa dia tidak melakukan apa-apa pada saya, hanya menitipkan cinta yang akan ia minta di suatu hari nanti, ketika saya cukup besar dan bisa menjadi mempelainya.
Jika ditanya kapan waktu terbahagia saya, saya akan langsung menjawab, ketika Bapak dan Ibu mengangguk sambil tersenyum dan dia tersenyum senang sambil melirik ke arah saya yang mengintip lewat celah pintu kamar. Dunia sedang berbunga dan sari-sarinya seutuhnya masuk ke perasaan saya. Bahagia....
Huss...
Suara angin sedikit berdesah di telinga saya saat saya mendengar lagu di belakang berganti. Kali ini lagu sedih, ritme lambat dan mendayu-dayu. Angin juga membuat saya menggigil, apalagi dengan pakaian ini. Baju kemben sebatas dada, membuat lengan dan leher saya yang telanjang diserang angin dingin.
Apa perlu saya katakan lagi kalau saya akan menikah?
Iya, saya akan menikah. Dia sebentar lagi akan datang dengan orang tuanya, menjemput saya dengan arak-arakan meriah. Semua orang desa akan melihat saya bahagia, semua tempat yang menyembunyikan kenangan saya akan semarak dengan warna merah yang bahagia. Semua teman saya yang menasehati agar saya tidak pacaran dengan orang yang jauh lebih tua, akan iri melihat betapa bahagianya saya. Dan terakhir, Ayah serta Ibu, akan tenang karena saya dapat suami yang saya cintai.
"Ibu... apa dia sudah datang?" teriak saya dari kamar.
Tak lama, Ibu tergopoh datang. Beliau mendudukan saya kembali di depan cermin, memperlihatkan lipstik saya yang belepotan, memakaikan kebaya tebal di bahu saya.
"Dia sudah datang, Bu?" tanya saya terheran-heran.
Ibu hanya tersenyum sambil merapatkan kebaya itu di bahu saya dan menghapus lisptik saya yang belepotan.
"Ibu, dia sudah datang belum?" tanya saya sekali lagi sambil berusaha melepaskan kebaya jelek itu.
"Tenang, nduk! Nanti kamu masuk angin!" sergah Ibu.
"Tapi kalau dia nanti datang, masak dia melihat saya pakai kebaya jelek begini?" protes saya, tapi Ibu tidak berkata apa-apa. "Dia sudah datang, Bu?"
"Belum, Nduk." jawab Ibu pelan sekali.
"Lho? kok belum, lalu kapan dia datang?"
"Besok."
"Besok lagi?"
"Iya, besok!"
"Bukannya kemarin Ibu bilang datangnya besok?"
"Iya, tapi bukan besok sekarang ini, Nduk!"
"Lalu besok kapan, Bu?"
Ibu diam sesaat, air matanya yang berlinangan. "Nduk, inget. Dia sudah hampir datang lima tahun lalu, tapi dia tidak datang kesini, dia datang ke surga, Nduk!"
Saya diam. Seperti menonton film, saya bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang bermandikan darah, yang ditemukan orang-orang terlindas truk di dekat rumah saya. dia dibopong ke teras, Ibu berteriak-teriak memanggil Bapak untuk membawanya ke mantri. Bapak melempar sabitnya dan berlari ke arah teras. orang-orang berseliweran dengan panik, kemudian Ibu datang ke saya yang termanggu di pintu melihat apa yang terjadi, dan setelah itu gelap.
"Ibu, dia sudah datang?" tanya saya lagi setelah adegan film itu menghilang dari benak saya.
"belum, Nduk," jawab Ibu sambil membimbing saya ke tempat tidur dan membaringkan saya disana.
"Kapan dia datang?" tanya saya sambil memeluk badan yang sudah memakai pakaian pengantin ini, sedari lima tahun lalu.
"Besok, nduk!"
"Besok benar, Bu?"
Ibu tersenyum sayu, sembari menarik selimut ke atas badan saya. "Besok dia akan datang, nduk!"
Dan saya percaya, besok dia akan datang.
****
Denpasar, 2 September 09
09.48 AM
ngapling dulu ahh... jahh ga ada emona lagi >.<
BalasHapussekarang baca dulu ahh... jahhh masih ga ada emona... >_<
BalasHapusmati lagi... semua cowok yang ada di cerpen nya nchi mati semuaaaa...... huuuu....
BalasHapuspake baju pengantin dari 5 tahun lalu, apa nggak kumel tuh??? Nggak gatel2 ya badannya si nduk itu???
BalasHapusfiuhhh.... masih ga ada emona.. >_<
BalasHapuslagi malas otak atik emo joe, kapan kapan aja dah.... hiiii
BalasHapusWow ...alur cerita yang sungguh amat menawan
BalasHapusPerempuan dalam penantian ...
A girl in waiting ....
Aku suka cerita ini..
Duhai gadis !
Selalu tanamkan dalam hatimu bahwa ia pasti datang kan menjemputmu..
Ditunggu di prapatan
wakakakakakaaaa
SAHABATKU RAIH FITRAH DIRI menjadi MANUSIA SEUTUHNYA UNTUK MENGEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA
BalasHapusSalam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabat Sahabatku terchayaaaaaank
I Love U fullllllllllllllllllllllllllllllll
Kekasih Sejati yang setia selalu.. DIA rela menunggu walau kita selalu menykiti hatiNYA.. dengan salah dan DOSA.. subhanalllllaaaaah.. DIA MENUNGGUMU.. TANGANNYA SELALU TERULUR MENANTIKAN KITA SEMUA.. YANG MAU KEMBALI KEPADANYA
BalasHapusSALAM SAYANG
ya...setuju cinta mati harus dibawa samapai mati
BalasHapusiya..percaya deh, kalo jodoh ga lari kemana-mana
BalasHapus"Dunia sedang berbunga dan sari-sarinya seutuhnya masuk ke perasaan saya."
BalasHapusCihuyyyy...ada namaku disini....
twenks yak... *sokpolos.com*
Mochi Dududz...aku dah liat kamu lho... *cling...kedip-kedip*
BalasHapus:P
Wedew, kok akhir'x nggak happy ending..??
BalasHapusHuhuhu, kasian banget yah...
sari jangan ember deh >.<
BalasHapusKalo baca ini, cowoknya mati, trus ceweknya lg stres nih.. sad ending lagiii..
BalasHapuswah
BalasHapusnchi kok sadis amat siih bikin crita
*pentung2*
ada yg mati, ada yg gila, mbok ya bikin crita happy ending gitu loh nduk...
BalasHapussariiii
BalasHapusliat mochi mocgi dimana?
dimanaaaaaaaaaa????
chidudZ
BalasHapuskenapa bikin tika nangis :((
hikshiks...
BalasHapustika seneng cerita yang menyayat hati kaya gini
udah ah sedih...
BalasHapusmo mandiin apem lg aja
kasihan banget. sepertinya gadis ini jadi gila ya, nchi? gara2 nungguin kekasihnya tak kunjung datang.
BalasHapusWah kasihan, kalau ini laki-lakinya sih nggak bohong...
BalasHapuscoba kalau laki2nya yang bohong sampai ditungguin 5 tahun...
slM hangat stlah abseN dari Dunia Ini....
BalasHapusNice cerpen ....kisah cinta dan penantian yg tak berakhir...
BalasHapushiks...setia bgt...apa ga kepikiran sama cowok lain ya? hehe.. btw, saya link ya
BalasHapusWoooowwwwwwww Nchi bangettttZZZ....:thumbsup:..:)
BalasHapusMOga dia nya ntar bener2 dateng ya....hiks..
keren banget ceritanya :)
BalasHapussampe mewek bacanya... keep writing :)
Ya ampun Nduk... kasian buanget ceritamu ini. Piye to iki? Lhawong sudah di surga ya mana bisa datang?
BalasHapusAmpuuuuun.... baru ngeh aku kalo ternyata tokoh 'aku' dalam tulisan ini, gila.
BalasHapusAlhamdulillah ya Nchi... sekarang udah gak gila lagi. Tuh buktinya uda bisa nulis cerita tentang dirinya.
Udah... jangan gila dong, kasian para pembaca setiamu ini.
xixixixi...(emo : melet..)
wuihhh... sepertinya ini kisah nyata iia nchi.. dan tokoh utama nya sapa lagi klu bukan... heuheueheheeh... sakit apa?
BalasHapushehehe link sudah di adds. ma kasih banyak yaaa
BalasHapusmenyapa sahabat tengah malam
BalasHapusblogmu apik sekali...
BalasHapussukses selalu ya...
salam kenal...
hiks so sad huwaaaaaaaaaaa
BalasHapuswah.....kisah yang mengharu biru...sedih banget bacanya chi....hebat nih chi pinter nulis cerpen.....
BalasHapustapi kalo liat dari sudut pandangnya si joe....ada benernya juga ya...qiqiqiqiqi!!!!
boleh request nih!!!! bikin cerita yang happy ending dunk hehehehe!!!!!
siang....nchi..
BalasHapuskapan-kapan yah nak hiks
BalasHapusbesoknya panjang bener sih chi?!?
BalasHapusnchi.. knp di sini gag bisa klik kanan iia?!?!? uda aturan maennya iia?!?? huehheheh..
BalasHapusyak ampyuuunnn nchi, gak bis abilang apa2 aq.... apakah dia sudah datang??? hmmm kamu dimana, dengan siapa, disini aq menunggumu dan bertanya....
BalasHapusCerpen-cerpen yang disini udah dimuat belum??
BalasHapusKalo belum, sayang banget.. terlalu indah untuk dilewatkan media, Chi..
Btw, JANGAN SAD ENDING MLULUUUUUU......
teriris2 hatikuuuu..
(lebay) hehe.