Tampilkan postingan dengan label Fabel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fabel. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Oktober 2009

10.02.00

How Do We Take Care Each Other

Suatu hari di sebuah pantai yang sepi, seekor burung sedang bertengger di dahan sebuah pohon kelapa. Ia memandang ke bawah, ke pesisir berair jernih itu. Matanya awas pada gerakan-gerakan di antara ombak, mengharap ada ikan yang meliuk hendak terdampar ke sisi pantai dan bisa ia sambar sebagai makanan.

Di satu sudut pantai, ada sebuah gerakan lambat-lambat. Mata Burung secepat kilat beralih padanya. Seekor binatang, belum jelas apa jenisnya, perlahan bergerak ketepian melawan arus balik ombak. Burung ingin melihat lebih jelas, ia turun ke dahan sebuah pohon yang lebih rendah dan mengawasi disana.

Ternyata bukan seekor ikan, melainkan seekor penyu belimbing yang berwarna hitam. Binatang lambat itu mengepakan siripnya perlahan, berusaha mencapai tepian pantai. Namun arus balik ombak seringkali malah menghanyutkannya kembali ke dalam lautan, namun penyu itu tidak menyerah. Ia terus berusaha.

Akhirnya menjelang sore, penyu itu berhasil mencapai pasir pantai. Ia bergerak ke sudut yang sepi, rimbun oleh pepohonan. Burung mengikutinya dengan diam-diam, sambil mengintip apa yang dilakukan sang penyu.



Penyu itu menggali pasir yang basah. Sang burung memperhatikannya, bagaimana kemudian penyu itu melahirkan telur-telurnya ke dalam lubang. Sangat banyak, puluhan, hampir ratusan. Burung takjub, membayangkan bagaimana nanti kalau semua telur menetas. Betapa ramainya keturunannya, dan juga betapa repotnya memberi mereka makan.

"Hai, Penyu!" akhirnya burung menyapa. "Tidakkah kamu repot nanti mengurus anakmu yang sebegitu banyak?"

Penyu yang sudah selesai bertelur mendongak. "Repot? Tentu saja tidak. Aku tidak akan repot apa-apa karena tugasku selesai sampai disini."

Burung bingung. "Maksudmu?"

"Iya, tugasku selesai setelah bertelur. Setelah telur itu di luar, mereka menjaga dirinya sendiri," jawab penyu sambil menimbun telur-telurnya dengan pasir. "Mereka harus mandiri!"

Burung menggeleng. "Aku kasihan dengan anak-anakmu kelak. Saat mereka menetas, tidak ada yang akan menjaga mereka. Tidak ada yang memberi makan, mengajari mereka berenang dan juga menjaga mereka dari bahaya. Aku selalu menjaga anak-anakku sampai mereka cukup untuk terbang sendiri dan menjaga diri mereka. Tidak seperti kamu yang langsung meninggalkan mereka, tidak ada saat mereka membutuhkanmu!"

Penyu hanya tersenyum kecil. "Itulah hidup, kita tidak selalu bisa bersama anak-anak kita. Semua hanya pada bagaimana kita menjaga satu sama lain. Kamu mungkin menjaga anak-anakmu seperti menjaga dirimu sendiri, itu karena kamu hanya melahirkan sedikit telur sekali waktu. Jadi keturunanmu hanya sedikit. Aku banyak melahirkan sekali waktu, tetapi aku tidak menjaga mereka. Jumlah anak-anakku yang hidup nanti akan sebanding dengan anak-anakmu, jadi keturunanku tetap ada. Begitulah caraku menjaga anak-anakku, menjaga keturunanku!"

Burung diam mendengar penjelasan itu. Ia berpikir, mengingat jumlah telur yang ia lahirkan sekali waktu. Memang sedikit, tetapi semuanya akan tumbuh dewasa kalau ia menjaganya. Beda dengan penyu, telurnya memang banyak, tetapi burung itu tahu bahwa dari jumlah ratusan itu yang selamat hanya sekitar belasan. Seringkali ia melihat telur-telur itu dimakan biawak, atau diburu manusia. Itu karena induknya tidak menjaga mereka.

Burung tersenyum, mengerti. Ia tidak iri pada ratusan telur penyu. Ia kini tahu, masalah bukan pada seberapa banyak ia melahirkan telur, tetapi pada bagaimana cara ia menjaga satu sama lain, menjaga anak-anaknya. Ada saat anak-anaknya lapar dan dingin.

Semua punya bagiannya masing-masing, kelebihan dan kekurangan.

Burung itu mengepakan sayapnya, kembali pada anak-anaknya yang menunggu di sarangnya.

The end

Kamis, 15 Oktober 2009

10.46.00

Tentang Dua Ekor Anak Burung

"Terbangnya jangan terlalu tinggi ya, Nak. Tar ketinggian jatuhnya sakit banget!" Kata seekor burung kepada anaknya yang bertengger di dahan.

Burung kecil itu baru akan belajar terbang. Ia menyeringai ngeri mendengar suara Ibunya, sembari setengah matanya melirik ke bawah dengan takut.

"Ibu, aku tidak jadi saja ya belajarnya. Aku takut jatuh nanti," sahut anak burung kecil itu sambil melangkah mundur ke arah sarangnya dengan gugup.

Ibunya menyentuh bahunya dengan sebelah sayap, "Lalu kapan kamu mau belajar?" tanyanya pelan.

"Nanti kalau sudah sedikit besar saja, Bu. Jadi sayapku sudah kuat dan tidak akan capek kalau belajar terbang!"

Ibunya mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kamu diam di rumah saja dulu, Ibu akan cari makan. Nanti kalau sayapmu sudah cukup besar, baru kamu belajar terbang!"





Di dahan berbeda di tengah hutan, ibu dan anak burung lain juga sedang melakukan hal yang sama. Anak burung yang itu sedang berdiri di dahan depan sarang mereka, dadanya tegap, pandangannya lantang menantang bumi.

"Anakku, terbanglah yang tinggi! Jangkaulah angkasa raya dan tunjukan pada mereka yang dibawah ini bahwa kamu adalah anak ibu yang perkasa!" kata Ibunya mantaf.

Anak burung itu mengangguk. "Baik Ibu! Tapi kalau aku capek dan jatuh bagaimana?"

Ibunya tersenyum. "Tenanglah, Nak! Banyak pohon yang bisa kamu hinggapi dengan sisa tenagamu. Lagipula kamu jangan lupa, jatuh itu tanda belajar sudah belajar, dan ada Ibu yang akan menangkapmu kalau kamu jatuh!"

Anak burung itupun melangkah mantap dan mengepakan sayapnya.

******

Setahun kemudian. Seekor anak burung meloncat-loncat ketakutan di atas sarangnya, setengah kakinya sudah menyentuh dahan tempat sarangnya melekat namun sebelahnya lagi menolak untuk beranjak. Badannya kurus, bulu-bulunya pucat tidak pernah tersentuh matahari. Ia kelaparan, Ibunya belum pulang sejak seminggu yang lalu untuk membawakan makanan. Suara angin mengatakan bahwa Ibunya tertembak di tepi hutan oleh pemburu dan kini terhidang di piring para backpaper keesokan harinya.

Sementara di sudut angkasa yang berbeda, seekor anak burung lain melesat di dengan cepat. Sayapnya yang lebar terkepak sekali ketika kakinya yang kekar menyambar seekor tikus tanah yang lari menuju lubangnya. Tetapi tikus itu terlambat, kakinya sudah setengah meter di atas tanah ketika melayang di atas lubangnya, dan ia berakhir di perut anak burung itu.

The end
*****

About