"Miror miror, where did I left my heart?"
cermin itu tetap diam, tidak menyahut seperti di dongeng Putri Salju.
"Miror miror, where did i left my self?"
cermin itu tetap bening, nampak bayangan wajahnya yang kusust masai di permukaannya. Air mata masih membias di pelupuk, menyajikan bayang-bayang suram dan menyedihkan di bekas penglihatan. Sampai sekarang, ia tetap berdiri memandang cermin, entah menunggu cermin menjadi ajaib, atau karena lelah. yang jelas, ia masih tetap bersedih.
Dia, seorang gadis yang sedang galau. Bahkan tidak berubah saat bayangan lain muncul di cermin, bayangan seseorang yang gelap, tanpa mata, tanpa alis, tanpa hidung, tanpa wajah.
"Apa yang kamu risaukan?" tanya bayangan itu.
gadis itu hanya mengerjap sekali. "Aku merisaukan masa depanku!"
"Hiduplah pada batasan hari ini!" ujar bayangan dalam cermin.
Gadis itu menggeleng. air mata masih tetap meleleh di pipinya. "Dan membiarkan hari esok samar? Oh, kurasa itu bukan pilihan hidup yang baik. Sebuah pilihan hidup yang egois."
Bayangan dalam cermin hening sejenak, sampai kemudian, ia menjawab. "Masa depan yang aku tahu, Masa depan yang satu jam lagi? iya, kalau masih ada usia. Hidupku adalah hidup sampai detik ini. Makanan yang telah habis kumakan itu adalah milikku."
gadis itu terdiam, menyesapi kata-kata itu dalam. sebutir pemahaman yang selama ini ia tekankan pada dirinya, menyeruak dalam pikirannya, dan itu merusak argumen bayangan hitam. gadis itu menolak.
"Itu seperti menelusuri goa gelap dengan sebatang lilin. Dan kamu hanya terpaku pada lilin di tangan, bukan pada panjang goa yg harus kamu tempuh.
Bayangan menjawab. "Goanya berakhir dimana?"
Gadis itu melanjutkan. "Jika kamu hanya mengurus hari sekarang, maka kamu akan bahagia karena lilin masi di tangan, namun jika kamu berpikir panjang akan hari esok, maka kamu akan mulai khawatir semenjak lilin itu dinyalakan."
Sang Bayangan diam. Entah apa yang terjadi, ia terus membisu hingga sang gadis menyusut air matanya sendiri.
"Kenapa diam?" tanya gadis itu.
"Kamu sudah mengetahui jawabannya, semua pertanyaanmu sudah ada di kepalamu. Diri dan hatimu tertinggal di tempatnya, hanya kamu yang sedang tidak merasakannya saat ini. Jika kamu takut masa depan, maka hanya dirimu sendiri yang bisa menghadapinya, sama halnya saat kamu mempertanyakan dimana hati dan dirimu. Hanya kamu yang tahu, bahwa masa depanmu ada di bayangan yang akan kamu lihat di cermin ini, nanti setelah aku menghilang,"jawab bayangan di cermin.
Perlahan bayangan di cermin membayang. Samar-samar gambar hitam di permukaannya menghilang, semakin samar dan menghilang. Hingga akhirnya, cermin itu benar-benar kembali seperti semula.
Hanya bayangan gadis itu sendiri yang terlihat.
Dan itu menjawab semua pertanyaan.
Dimana kita mencari kebahagiaan?
Dimana kita menemukan kesedihan?
Dimana pula saat kita butuh bantuan dan pertolongan?
jawabannya hanyalah, dari diri kita sendiri. Hanya diri kita sendiri yang kita punya untuk menghadapi semua, hanya diri sendiri yang yakin bisa diandalkan, dan kadang itu sendiri sudah cukup.
Gadis itu akhirnya tersenyum, kembali
*Berkat obrolan menyenangkan dengan seorang ijazah SD
cermin itu tetap diam, tidak menyahut seperti di dongeng Putri Salju.
"Miror miror, where did i left my self?"
cermin itu tetap bening, nampak bayangan wajahnya yang kusust masai di permukaannya. Air mata masih membias di pelupuk, menyajikan bayang-bayang suram dan menyedihkan di bekas penglihatan. Sampai sekarang, ia tetap berdiri memandang cermin, entah menunggu cermin menjadi ajaib, atau karena lelah. yang jelas, ia masih tetap bersedih.
Dia, seorang gadis yang sedang galau. Bahkan tidak berubah saat bayangan lain muncul di cermin, bayangan seseorang yang gelap, tanpa mata, tanpa alis, tanpa hidung, tanpa wajah.
"Apa yang kamu risaukan?" tanya bayangan itu.
gadis itu hanya mengerjap sekali. "Aku merisaukan masa depanku!"
"Hiduplah pada batasan hari ini!" ujar bayangan dalam cermin.
Gadis itu menggeleng. air mata masih tetap meleleh di pipinya. "Dan membiarkan hari esok samar? Oh, kurasa itu bukan pilihan hidup yang baik. Sebuah pilihan hidup yang egois."
Bayangan dalam cermin hening sejenak, sampai kemudian, ia menjawab. "Masa depan yang aku tahu, Masa depan yang satu jam lagi? iya, kalau masih ada usia. Hidupku adalah hidup sampai detik ini. Makanan yang telah habis kumakan itu adalah milikku."
gadis itu terdiam, menyesapi kata-kata itu dalam. sebutir pemahaman yang selama ini ia tekankan pada dirinya, menyeruak dalam pikirannya, dan itu merusak argumen bayangan hitam. gadis itu menolak.
"Itu seperti menelusuri goa gelap dengan sebatang lilin. Dan kamu hanya terpaku pada lilin di tangan, bukan pada panjang goa yg harus kamu tempuh.
Bayangan menjawab. "Goanya berakhir dimana?"
Gadis itu melanjutkan. "Jika kamu hanya mengurus hari sekarang, maka kamu akan bahagia karena lilin masi di tangan, namun jika kamu berpikir panjang akan hari esok, maka kamu akan mulai khawatir semenjak lilin itu dinyalakan."
Sang Bayangan diam. Entah apa yang terjadi, ia terus membisu hingga sang gadis menyusut air matanya sendiri.
"Kenapa diam?" tanya gadis itu.
"Kamu sudah mengetahui jawabannya, semua pertanyaanmu sudah ada di kepalamu. Diri dan hatimu tertinggal di tempatnya, hanya kamu yang sedang tidak merasakannya saat ini. Jika kamu takut masa depan, maka hanya dirimu sendiri yang bisa menghadapinya, sama halnya saat kamu mempertanyakan dimana hati dan dirimu. Hanya kamu yang tahu, bahwa masa depanmu ada di bayangan yang akan kamu lihat di cermin ini, nanti setelah aku menghilang,"jawab bayangan di cermin.
Perlahan bayangan di cermin membayang. Samar-samar gambar hitam di permukaannya menghilang, semakin samar dan menghilang. Hingga akhirnya, cermin itu benar-benar kembali seperti semula.
Hanya bayangan gadis itu sendiri yang terlihat.
Dan itu menjawab semua pertanyaan.
Dimana kita mencari kebahagiaan?
Dimana kita menemukan kesedihan?
Dimana pula saat kita butuh bantuan dan pertolongan?
jawabannya hanyalah, dari diri kita sendiri. Hanya diri kita sendiri yang kita punya untuk menghadapi semua, hanya diri sendiri yang yakin bisa diandalkan, dan kadang itu sendiri sudah cukup.
Gadis itu akhirnya tersenyum, kembali
*Berkat obrolan menyenangkan dengan seorang ijazah SD