“Kamu bahagia sekarang?” sosok kecil itu bertanya padanya.
Fata berpikir sejenak, berusaha mengingat unsur-unsur hidupnya yang bisa dikatakan bahagia. Apakah dia bahagia?
Sosok kecil itu berputar di depannya. Cantik sekali. Entah dari mana ia berasal, yang jelas Fata tahu kalau dia muncul begitu saja di kegelapan malam.
Dia terus tersenyum melihat Fata masih menunduk.
Hingga akhirnya Fata menjawab, walaupun sedikit ragu. “Iya, aku… aku bahagia, aku bahagia kemarin!”
Sosok kecil itu masih tersenyum, kini melayang rendah tepat di depan mata Fata. Debu cahaya berjatuhan secara teratur dari balik punggungnya, seperti rintik hujan dalam slow motion. Sayap tipisnya mengepak seperti kupu-kupu, itulah yang membuatnya tetap bisa mengisi udara kosong tanpa pijakan. Dua kaki kecilnya besepatukan daun berwarna hijau, lalu topi dari bunga kecubung ungu, lengkap dengan bel kuning mungil di ujungnya. Gaunnya, berbahan dari kelopak bunga mawar merah.
Dia adalah seorang peri cantik, namanya Ino.
“Oh, ya? Kalau begitu, mari kita terbang ke hari kemarin!”
Fata mengerutkan dahi, tidak mempercayai apa yang ia dengar. Ia kemudian menggeleng. “Tidak masuk logika!” ujarnya tegas.
Peri Ino masih saja tersenyum. Ia mendekat ke mata Fata sambil menari, membuat sebuah loncatan indah sebelum bertengger di hidung Fata. Fata tersentak, sontak memundurkan duduknya sampai mendesak pintu di belakangnya.
“Pikiran tidak selalu menang oleh perasaan, sadarkah kamu bahwa banyak hal di dunia ini yang hanya bisa kamu rasakan, namun tidak bisa kamu ceritakan kembali?!”
Fata tercenung, merasa bahwa kata-kata Peri Ino adalah benar.
Seakan bisa membaca pikiran, Peri Ino tahu Fata setuju. Ia kembali melayang di udara, membelakangi Fata hingga gadis itu bisa melihat debu cahayanya. “Debuku adalah penghirup jiwa. Hanya perlu bernapas ketika aku berdiri di depanmu, dan jiwamu akan terbang kemanapun yang engkau bayangkan.”
“Jiwaku?” Fata terkejut.
Dia hanya mengangguk.
Fata berpikir sejenak. “Lalu.. badanku?”
“Masih tetap tidur disini.”
Fata cemas mendengarnya, “Tanpa jiwa?”
Lagi-lagi Peri Ino hanya tersenyu. “Hidup tidaklah sempurna. Lalu kenapa kau harus memikirkan kesedihan jika kau bisa mendapatkan kebahagiaan?”
Fata kembali tercenung. Ia merenungi semuanya, merenungkan waktunya hari ini yang habis hanya untuk memikirkan bagaimana ia hidup di hari esokku. Ia memeriksa kenyataan hidupnya, tempat tidurnya hanya beralaskan kertas koran bekas. Tak ada selimut hangat, tidak pula segelas kopi saat ia bangun di pagi hari. Kebahagiaan terakhirnya hanyalah sebungkus mie instant yang dijatuhkan oleh seorang pemuda, dan itupun terjadi kemarin. Kemudian Fata tahu, tidak akan ada masa depan yang cerah untuknya, jika ia tetap bertahan pada logika.
Peri Ino tahu Fata sudah mengerti. “Ikuti aku dan kau akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terhingga,” janjinya smabil tersenyum, lalu kembali meloncat di angkasa, membuat sebuah tarian indah. Debunya berterbangan, memenuhi udara dengan cahaya kelap-kelip.
Fata menegang, Peri Ino telah memenuhi udara di depannya dengan debu-debu cahaya. Ia khawatir orang-orang sekeliling melihat dan heboh, namun saat menoleh, Fata sadar bahwa ia hanya sendiri disini.
“Tutup matamu, dan bernafaslah!”
Fata mengikutinya. Ia menutup matanya, merasakan hembusan udara hangat saat ia bernapas, yang mengalir lewat hidung, ke tenggorakan, lalu memenuhi dada. Rasanya hangat dan damai.
“Buka matamu!”
Fata membuka mata, takjub mendapati dunia menjadi begitu luas. Luas dan besar. Segala hal berubah ukuran, meraksasa sampai beratus kali lipat, entah berapa ratus.Termasuk Peri Ino, kini ukurannya sama dengan tubuh Fata.
“Sekarang lihatlah ke belakangmu!” kata Peri Ino.
Fata menurut, ia menoleh ke belakang dan terhenyak mendapati tubuhnya sendiri yang telah meraksasa seperti sekeliling, sedang tertidur sambil bersandar di pintu rolling door kumuh sebuah toko lampu hias.
Peri Ino memegang tangan Fata, mengajaknya melayang. “Ayo! Kita bermain ke hari kemarin. Gerakan sayapmu, jangan buang-buang debumu terlalu banyak! Itu umur kita.”
Fata terperangah, ia bisa melayang. Ia lalu menatap badan yang dimiliki sekarang, tak banyak berubah, masih dua tangan, dua kaki. Tapi… tapi ketika Fata merasakan dengung asing di belakangnya, ia terkesiap, sepasang sayap capung mengepak di belakang punggungnya. Oh, tubuh ini jauh lebih ringan dari yang sebelumnya.
“Sekarang kamu sama sepertiku, kita peri yang terbang bebas tanpa logika. Ayo!”
Peri Ino menarik tangannya, melayang menembus kegelapan malam, menuju hari kemarin yang bahagia.
untuk mbak fata, sebagai janji hari kemarin
maaf, sebenarnya ini cerita lama yang sedikit dirubah, maap pula tidak bisa membuatkan yang baru dikarenakan *&%^&^%
Kemarilah, menjadi seorang penulis yang bisa melewatkan logika.
marilah berimajinasi ^ ^
Fata berpikir sejenak, berusaha mengingat unsur-unsur hidupnya yang bisa dikatakan bahagia. Apakah dia bahagia?
Sosok kecil itu berputar di depannya. Cantik sekali. Entah dari mana ia berasal, yang jelas Fata tahu kalau dia muncul begitu saja di kegelapan malam.
Dia terus tersenyum melihat Fata masih menunduk.
Hingga akhirnya Fata menjawab, walaupun sedikit ragu. “Iya, aku… aku bahagia, aku bahagia kemarin!”
Sosok kecil itu masih tersenyum, kini melayang rendah tepat di depan mata Fata. Debu cahaya berjatuhan secara teratur dari balik punggungnya, seperti rintik hujan dalam slow motion. Sayap tipisnya mengepak seperti kupu-kupu, itulah yang membuatnya tetap bisa mengisi udara kosong tanpa pijakan. Dua kaki kecilnya besepatukan daun berwarna hijau, lalu topi dari bunga kecubung ungu, lengkap dengan bel kuning mungil di ujungnya. Gaunnya, berbahan dari kelopak bunga mawar merah.
Dia adalah seorang peri cantik, namanya Ino.
“Oh, ya? Kalau begitu, mari kita terbang ke hari kemarin!”
Fata mengerutkan dahi, tidak mempercayai apa yang ia dengar. Ia kemudian menggeleng. “Tidak masuk logika!” ujarnya tegas.
Peri Ino masih saja tersenyum. Ia mendekat ke mata Fata sambil menari, membuat sebuah loncatan indah sebelum bertengger di hidung Fata. Fata tersentak, sontak memundurkan duduknya sampai mendesak pintu di belakangnya.
“Pikiran tidak selalu menang oleh perasaan, sadarkah kamu bahwa banyak hal di dunia ini yang hanya bisa kamu rasakan, namun tidak bisa kamu ceritakan kembali?!”
Fata tercenung, merasa bahwa kata-kata Peri Ino adalah benar.
Seakan bisa membaca pikiran, Peri Ino tahu Fata setuju. Ia kembali melayang di udara, membelakangi Fata hingga gadis itu bisa melihat debu cahayanya. “Debuku adalah penghirup jiwa. Hanya perlu bernapas ketika aku berdiri di depanmu, dan jiwamu akan terbang kemanapun yang engkau bayangkan.”
“Jiwaku?” Fata terkejut.
Dia hanya mengangguk.
Fata berpikir sejenak. “Lalu.. badanku?”
“Masih tetap tidur disini.”
Fata cemas mendengarnya, “Tanpa jiwa?”
Lagi-lagi Peri Ino hanya tersenyu. “Hidup tidaklah sempurna. Lalu kenapa kau harus memikirkan kesedihan jika kau bisa mendapatkan kebahagiaan?”
Fata kembali tercenung. Ia merenungi semuanya, merenungkan waktunya hari ini yang habis hanya untuk memikirkan bagaimana ia hidup di hari esokku. Ia memeriksa kenyataan hidupnya, tempat tidurnya hanya beralaskan kertas koran bekas. Tak ada selimut hangat, tidak pula segelas kopi saat ia bangun di pagi hari. Kebahagiaan terakhirnya hanyalah sebungkus mie instant yang dijatuhkan oleh seorang pemuda, dan itupun terjadi kemarin. Kemudian Fata tahu, tidak akan ada masa depan yang cerah untuknya, jika ia tetap bertahan pada logika.
Peri Ino tahu Fata sudah mengerti. “Ikuti aku dan kau akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terhingga,” janjinya smabil tersenyum, lalu kembali meloncat di angkasa, membuat sebuah tarian indah. Debunya berterbangan, memenuhi udara dengan cahaya kelap-kelip.
Fata menegang, Peri Ino telah memenuhi udara di depannya dengan debu-debu cahaya. Ia khawatir orang-orang sekeliling melihat dan heboh, namun saat menoleh, Fata sadar bahwa ia hanya sendiri disini.
“Tutup matamu, dan bernafaslah!”
Fata mengikutinya. Ia menutup matanya, merasakan hembusan udara hangat saat ia bernapas, yang mengalir lewat hidung, ke tenggorakan, lalu memenuhi dada. Rasanya hangat dan damai.
“Buka matamu!”
Fata membuka mata, takjub mendapati dunia menjadi begitu luas. Luas dan besar. Segala hal berubah ukuran, meraksasa sampai beratus kali lipat, entah berapa ratus.Termasuk Peri Ino, kini ukurannya sama dengan tubuh Fata.
“Sekarang lihatlah ke belakangmu!” kata Peri Ino.
Fata menurut, ia menoleh ke belakang dan terhenyak mendapati tubuhnya sendiri yang telah meraksasa seperti sekeliling, sedang tertidur sambil bersandar di pintu rolling door kumuh sebuah toko lampu hias.
Peri Ino memegang tangan Fata, mengajaknya melayang. “Ayo! Kita bermain ke hari kemarin. Gerakan sayapmu, jangan buang-buang debumu terlalu banyak! Itu umur kita.”
Fata terperangah, ia bisa melayang. Ia lalu menatap badan yang dimiliki sekarang, tak banyak berubah, masih dua tangan, dua kaki. Tapi… tapi ketika Fata merasakan dengung asing di belakangnya, ia terkesiap, sepasang sayap capung mengepak di belakang punggungnya. Oh, tubuh ini jauh lebih ringan dari yang sebelumnya.
“Sekarang kamu sama sepertiku, kita peri yang terbang bebas tanpa logika. Ayo!”
Peri Ino menarik tangannya, melayang menembus kegelapan malam, menuju hari kemarin yang bahagia.
untuk mbak fata, sebagai janji hari kemarin
maaf, sebenarnya ini cerita lama yang sedikit dirubah, maap pula tidak bisa membuatkan yang baru dikarenakan *&%^&^%
Kemarilah, menjadi seorang penulis yang bisa melewatkan logika.
marilah berimajinasi ^ ^