Wisata Alam di desa Pancasari
Pernah mendengar nama danau Buyan? Mungkin bagi anda yang suka dengan aktivitas alam seperti kemah ataupun hiking, wilayah ini tidak asing. Bumi perkemahan Buyan, agak meniru-niru Bumi Perkemahan Cibubur sih, tetapi, tempat ini memang menjadi salah satu lokasi berkemah favorit di Bali.
Saya memang belum pernah berkemah disana, namun, merasakan bagaiaman rasanya bangun pagi-pagi di daerah sana sudah beberapa kali. Mau tahu rasanya? Hoho, rasanya seperti bangun di pabrik pembuatan es balok. Dingin yang menyusup pori-pori dan merontokan tulang. Namun jika melihat menu sarapan pagi yang kita terima saat melihat lewat jendela, dingin seperti di kutubpun tidak akan membuat kita menyesal pernah bangun pagi disana. Tentu jauh dapat lebih dari sekedar melihat es batangan.
Lokasi danau Buyan terletak di sebuah desa bernama Desa Pancasari. Adalah sebuah desa yang dikelilingi pegunungan. Letaknya strategis, tepat di jalur perjalanan Denpasar-Singaraja, sedikit ke utara dari wisata alam Bedugul. Berada di ketinggian sekitar 1.250 meter diatas permukaan laut membuat suhu di desa ini selalu di bawah rata-rata suhu tubuh manusia, yaitu berkisar antara 18-24 derajat celcius. Hal itu membuat hampir setiap rumah penduduk memiliki mesin pemanas air, tentunya, kalau tidak mau mandi hanya pada musim kemarau. Dan bersyukur karena itu, jadi sewaktu saya berkunjung ke rumah seorang teman pada tahun 2004 silam, saya bisa mandi seperti biasa.
Di pagi hari, saat matahari baru muncul, saya dan teman saya berjalan melewati kebun kubis menuju pasar. Desa ini memang terkenal dengan hasil buminya yang berupa sayur-sayuran. Kentang, kubis, wortel, hingga paprika, tubuh subur di kebun-kebun milik warga. Selain sayur-sayuran, di desa ini juga menjadi sentral pembiakan buah stroberi. Jadi, ke Pancasari itu tidak akan berarti tanpa menikmati stroberi. Beruntung saat itu teman saya masih memiliki kebun buah cantik itu sebelum dialihfungsikan menjadi kebun kentang. Walaupun kualitasnya tidak semaksimal kalau ditanam di rumah plastic, namun rasanya luar biasa menggoda. Apalagi jika anda memetik sendiri buah itu dari pohonnya sambil berpayung di bawah rintik hujan, lalu memakannya langsung sambil memandangi awan yang seakan-akan turun di kaki bukit. Benar-benar sarapan pagi yang nikmat.
Berjalan-jalan di kebun menjadi wisata yang menyenangkan. Apalagi sambil melihat matahari pagi yang mengintip perlahan dari balik bukit. Semakin ke utara, kita akan bisa melihat danau Buyan. Airnya yang tenang menghampar di samping kebun-kebun penduduk. Bagian utara danau ini berbatasan langsung dengan bukit, yang sebenarnya masih satu rangkaian dengan perbukitan yang mengelilingi desa ini. Perbukitan ini juga menjadi satu ciri khas desa Pancasari, keberadaannya yang memanjang di tengah-tengah pulau Bali menjadi semacam dinding yang memisahkan bagian Bali utara dengan kawasan Bali bagian selatan.
Uniknya lagi, secara religius sebenarnya masyarakat Bali, baik itu Bali utara atau Bali selatan, juga menjadikan perbukitan ini sebagai patokan untuk arah hulu atau utara. Menurut kepercayaan, posisi perbukitan ini selalu berada di utara, jadi jangan heran kalau masyarakat Buleleng (daerah yang berada di bagian utara bukit) menganggap bahwa arah selatan dari mata angin yang sesungguhnya sebagai arah utara. Hal ini dipengaruhi oleh posisi bukit itu yang berada di belakang mereka.
Pemandangan danau Buyan ternyata paling tepat jika dilihat dari atas bukit sebelah utara itu. Cobalah mendaki bukit dan kita akan menemukan sebuah desa di puncaknya yang bernama desa Dasong. Banyak monyet liar di sebuah ruas jalan, yang pasti akan mendekat jika kita melempar makanan, dan dari jalanan desa kita juga bisa menyaksikan kota Singaraja di kejauhan.
Selanjutnya, menyusuri jalan desa menuju arah barat, mata akan dimanja oleh pemandangan di bawah sana yang menakjubkan. Terutama di perbatasan antara danau Buyan dengan danau Tamblingan. Kedua danau ini letaknya berdetakan, namun danau Tamblingan hanya bisa dilihat dari atas karena semua sisinya dikelilingi hutan lebat.
Berhenti di titik itu, kita bisa melihat danau Buyan dari posisi sudut paling eksotis. Seluruh bagian danau terlihat, benar-benar mirip cermin raksasa dengan permukaan tenang berwarna keabuan. Sisi selatannya menjulang tinggi bukit yang lerengnya menjadi kawasan pemukiman serta kebun milik penduduk desa Pancasari. Lalu kawasan hutan hijau membentang di sisi barat, yang saat kita melongok ke bawah akan menghadirkan sensasi terjatuh dengan hutan yang menyambut di bawah bawah. Udara yang segar dan basah, ditambah cuaca yang bagus dengan langit biru serta sedikit awan putihnya, menampilkan warna alam yang sangat kontras dan damai.
Sayangnya, sekarang ini danau Buyan mulai tercemar. Jika kita melihat dari dekat, terutama di sekitar perkemahan, air danau akan berwarna gelap akibat sedimentasi. Tumbuhan eceng gondok juga memenuhi tepian ini, menandai betapa tingginya tingkat pencemaran air. Beberapa waktu belakangan juga, tinggi permukaan danau mengalami penyusutan sampai tiga meter setiap bulannya. Semuanya terjadi karena perusakan alam, terutama wilayah hutan yang banyak dirabas untuk pekentingan wisata serta proyek geothermal.
Menurut berita yang sedang hangatnya beredar di Bali belakangan ini, kawasan danau Buyan ini sedang dilirik investor. Rencananya akan dibangun proyek panggung hiburan (entertainment stage) di atas danau serta proyek-proyek pelengkap lainnya di sekitar danau dan kawasan hutan. Jika rencana ini terlaksana, banyak pihak mengkhawatirkan terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah dan juga menodai kesucian wilayah. Karena itu, banyak elemen masyarakat Bali yang secara terang-terangan menolak rencana tersebut.
Namun, terlepas dari masalah itu, bagi saya desa Pancasari tetap menjadi sebuah desa yang indah. Saya suka melihat kabutnya yang mulai turun, hawa dinginnya yang membuat air jadi sedingin es, bau segar udaranya yang nyaman, sayur-sayurnya yang siap dipanen, ataupun memetik dan membeli stroberi dari kebunnya langsung, tentunya dengan harga kebun yang dijamin jauh lebih murah daripada pasar Bedugul. Jadi, rasanya memang tidak lengkap jika belum kesini saat berkunjung ke Bali. Tapi ingat, usahakan jangan terlalu sore karena kabut bisa saja turun sewaktu-waktu.
Ada yang ga tahu bunga wortel? nah, itu tuh yg paling atas bunga wortel.
Saya memang belum pernah berkemah disana, namun, merasakan bagaiaman rasanya bangun pagi-pagi di daerah sana sudah beberapa kali. Mau tahu rasanya? Hoho, rasanya seperti bangun di pabrik pembuatan es balok. Dingin yang menyusup pori-pori dan merontokan tulang. Namun jika melihat menu sarapan pagi yang kita terima saat melihat lewat jendela, dingin seperti di kutubpun tidak akan membuat kita menyesal pernah bangun pagi disana. Tentu jauh dapat lebih dari sekedar melihat es batangan.
Lokasi danau Buyan terletak di sebuah desa bernama Desa Pancasari. Adalah sebuah desa yang dikelilingi pegunungan. Letaknya strategis, tepat di jalur perjalanan Denpasar-Singaraja, sedikit ke utara dari wisata alam Bedugul. Berada di ketinggian sekitar 1.250 meter diatas permukaan laut membuat suhu di desa ini selalu di bawah rata-rata suhu tubuh manusia, yaitu berkisar antara 18-24 derajat celcius. Hal itu membuat hampir setiap rumah penduduk memiliki mesin pemanas air, tentunya, kalau tidak mau mandi hanya pada musim kemarau. Dan bersyukur karena itu, jadi sewaktu saya berkunjung ke rumah seorang teman pada tahun 2004 silam, saya bisa mandi seperti biasa.
Di pagi hari, saat matahari baru muncul, saya dan teman saya berjalan melewati kebun kubis menuju pasar. Desa ini memang terkenal dengan hasil buminya yang berupa sayur-sayuran. Kentang, kubis, wortel, hingga paprika, tubuh subur di kebun-kebun milik warga. Selain sayur-sayuran, di desa ini juga menjadi sentral pembiakan buah stroberi. Jadi, ke Pancasari itu tidak akan berarti tanpa menikmati stroberi. Beruntung saat itu teman saya masih memiliki kebun buah cantik itu sebelum dialihfungsikan menjadi kebun kentang. Walaupun kualitasnya tidak semaksimal kalau ditanam di rumah plastic, namun rasanya luar biasa menggoda. Apalagi jika anda memetik sendiri buah itu dari pohonnya sambil berpayung di bawah rintik hujan, lalu memakannya langsung sambil memandangi awan yang seakan-akan turun di kaki bukit. Benar-benar sarapan pagi yang nikmat.
Berjalan-jalan di kebun menjadi wisata yang menyenangkan. Apalagi sambil melihat matahari pagi yang mengintip perlahan dari balik bukit. Semakin ke utara, kita akan bisa melihat danau Buyan. Airnya yang tenang menghampar di samping kebun-kebun penduduk. Bagian utara danau ini berbatasan langsung dengan bukit, yang sebenarnya masih satu rangkaian dengan perbukitan yang mengelilingi desa ini. Perbukitan ini juga menjadi satu ciri khas desa Pancasari, keberadaannya yang memanjang di tengah-tengah pulau Bali menjadi semacam dinding yang memisahkan bagian Bali utara dengan kawasan Bali bagian selatan.
Uniknya lagi, secara religius sebenarnya masyarakat Bali, baik itu Bali utara atau Bali selatan, juga menjadikan perbukitan ini sebagai patokan untuk arah hulu atau utara. Menurut kepercayaan, posisi perbukitan ini selalu berada di utara, jadi jangan heran kalau masyarakat Buleleng (daerah yang berada di bagian utara bukit) menganggap bahwa arah selatan dari mata angin yang sesungguhnya sebagai arah utara. Hal ini dipengaruhi oleh posisi bukit itu yang berada di belakang mereka.
Pemandangan danau Buyan ternyata paling tepat jika dilihat dari atas bukit sebelah utara itu. Cobalah mendaki bukit dan kita akan menemukan sebuah desa di puncaknya yang bernama desa Dasong. Banyak monyet liar di sebuah ruas jalan, yang pasti akan mendekat jika kita melempar makanan, dan dari jalanan desa kita juga bisa menyaksikan kota Singaraja di kejauhan.
Selanjutnya, menyusuri jalan desa menuju arah barat, mata akan dimanja oleh pemandangan di bawah sana yang menakjubkan. Terutama di perbatasan antara danau Buyan dengan danau Tamblingan. Kedua danau ini letaknya berdetakan, namun danau Tamblingan hanya bisa dilihat dari atas karena semua sisinya dikelilingi hutan lebat.
Berhenti di titik itu, kita bisa melihat danau Buyan dari posisi sudut paling eksotis. Seluruh bagian danau terlihat, benar-benar mirip cermin raksasa dengan permukaan tenang berwarna keabuan. Sisi selatannya menjulang tinggi bukit yang lerengnya menjadi kawasan pemukiman serta kebun milik penduduk desa Pancasari. Lalu kawasan hutan hijau membentang di sisi barat, yang saat kita melongok ke bawah akan menghadirkan sensasi terjatuh dengan hutan yang menyambut di bawah bawah. Udara yang segar dan basah, ditambah cuaca yang bagus dengan langit biru serta sedikit awan putihnya, menampilkan warna alam yang sangat kontras dan damai.
Sayangnya, sekarang ini danau Buyan mulai tercemar. Jika kita melihat dari dekat, terutama di sekitar perkemahan, air danau akan berwarna gelap akibat sedimentasi. Tumbuhan eceng gondok juga memenuhi tepian ini, menandai betapa tingginya tingkat pencemaran air. Beberapa waktu belakangan juga, tinggi permukaan danau mengalami penyusutan sampai tiga meter setiap bulannya. Semuanya terjadi karena perusakan alam, terutama wilayah hutan yang banyak dirabas untuk pekentingan wisata serta proyek geothermal.
Menurut berita yang sedang hangatnya beredar di Bali belakangan ini, kawasan danau Buyan ini sedang dilirik investor. Rencananya akan dibangun proyek panggung hiburan (entertainment stage) di atas danau serta proyek-proyek pelengkap lainnya di sekitar danau dan kawasan hutan. Jika rencana ini terlaksana, banyak pihak mengkhawatirkan terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah dan juga menodai kesucian wilayah. Karena itu, banyak elemen masyarakat Bali yang secara terang-terangan menolak rencana tersebut.
Namun, terlepas dari masalah itu, bagi saya desa Pancasari tetap menjadi sebuah desa yang indah. Saya suka melihat kabutnya yang mulai turun, hawa dinginnya yang membuat air jadi sedingin es, bau segar udaranya yang nyaman, sayur-sayurnya yang siap dipanen, ataupun memetik dan membeli stroberi dari kebunnya langsung, tentunya dengan harga kebun yang dijamin jauh lebih murah daripada pasar Bedugul. Jadi, rasanya memang tidak lengkap jika belum kesini saat berkunjung ke Bali. Tapi ingat, usahakan jangan terlalu sore karena kabut bisa saja turun sewaktu-waktu.
Ada yang ga tahu bunga wortel? nah, itu tuh yg paling atas bunga wortel.
kayaknya pernah baca dimana ya...?
BalasHapusoooh.di ozindo magazine. he he he...
selamat ya, dik...
senang deh...
aku dah liat foto2mu tuh. keren kok.
PertamaXXxxxxXXXxxx......
BalasHapuswah indah banget yah kayaknya.. jadi pengen liburan kesana... :)
BalasHapuskapan yah bisa berlibur berwisata ksana hiks (dreaming) ada yg mo jadi sponsor gak??!
BalasHapusWaaahhh...bagus banget foto-fotonya. Kenapa ya akhir-akhir ini banyak yang memposting cerita jalan-jalan, jadi semakin ingin cuti buat liburan :D.
BalasHapusoh itu bungan wortel ya mba ??
BalasHapusaihhhh, jadi kepingin nih berkemah di alam terbuka kayak gini. Refreshing gith mba. Kapan ya bisa camping nih ?
panen jeruk? dimana mbak? wooo betapa betapa betapa! puinggiinnn!!! jauh gak dari jogja??? xixixixiixix
BalasHapus*milih diem dicubitin!*
hemm... jd pengin nech liat tuh foto pemandangane bagus
BalasHapusIni toh artikelnya hihi baguuuuus.....muuuuah
BalasHapusHwaaaaaaaaaaa,..
BalasHapuspengen kesanaaaaaaaaaaaaa....
Wahhhhhhhhhhhhhhhhh....Kuerennnnnnnnnn.....wahhhhhhhhhhhhhh...buagusssssssssssss.....suatu saat aku pasti kesana.....hmmmmmm....walapun harus kulalui dengan naik kereta barang ataupun numpang truk...pasti ke sana..insya allah...deeeee...tunggu aku ya jngan pindah dulu........!!!!!!!!!
BalasHapuswehhh dimana tuh lokasinya yap?kok blm pernah denger?
BalasHapusooo...ini to yang ngasilin buku ma cokelat?? :) bagus banget.... :)
BalasHapuskayanya seru nie tempatnya
BalasHapusBagus banget cara penulisannya non,
BalasHapuskeep it up ya, salam kenal,
cheers!