Air danau masih saja sama. Bening, jernih dan segar. Bagian dekat pinggir, riak-riak kecil terbentuk setelah sekumpulan serangga kecil takut-takut menghujan ke permukaannya, dan akhirnya terbang lagi sebelum kembali mencoba. Permukaan air danau kini bergelombang kecil, seperti gerakan lelehan minyak goreng yang merayap pelan. Sayup angin yang berhembus pelan di sela-sela pepohonan, membawa sedikit rayapan minyak itu ketepi danau, meleleh kaki saya sampai sebatas mata kaki.
Saya membiarkannya.
Dingin yang terasa, membawa kembali perasaan yang sama terhadap danau ini. Ketika saya membuka mata, nyatanya memang semuanya masih sama. Permukaan danau, dua bongkah batunya, gemerisik angin, rumput, bahkan jejak kaki sewaktu terperosok di tengah hujan dekat batu sana, semua masih sama.
Tapi satu yang berubah. Hanya satu. Waktu. Dan itu merubah semuanya.
Hari ini saya kembali ke tepian danau Kenangan, teringat bahwa tanggal ini tanggal istimewa bagi seseorang. Jejak kakinya yang masih ada di belakang, yang terpeta di atas hamparan rumput dan terlihat samar, mengembalikan ingatan akan hari hujan itu. Lima tahun lalu, di hari yang sama, tanggal yang sama dan bulan yang sama seperti hari ini, jejak itu terbuat.
Saya merenung.
****
Hari itu mendung, tapi tidak menghalangi. Pulang sekolah, seperti janji kemarin, saya langsung menghilang dari peredaran kawan dan menyelinap ke tepi danau. Nenek sudah pasti akan marah jika tahu saya kesini, terlebih jika terlihat bersamanya dan karena itu saya sembunyi-sembunyi.
Dengan kotak kecil di tangan dan sebuah bungkusan lain tersembunyi di tas, sangat susah untuk bergerak cepat. Namun dengan menyelinap diantara pohon, bersembunyi di balik batu saat ada gerobak pengangkut sayur lewat, atau pura-pura mencari batu ketika seseorang bertanya, akhirnya tepi danau tercapai juga. Disini, saya menunggu.
Ia datang tidak lama kemudian, masih seragam yang sama dengan saya, senyum sama namun keringat menetes. Saya yakin ia mengalami perjuangan yang sama susah, berhubung Kakeknya tidak akan menghendakinya menemui saya di tepi danau Kenangan, danau tempat ribuan kenangan jaman lalu tersimpan.
“Maaf, aku telat lima menit,” ucapnya sambil terengah.
Saya tersenyum, duduk di bongkah batu sebelah kanan. Ia mengikuti di bongkah sebelah kiri, sambil melepas tas selempang dan meletakannya di rumput. Gema alam kemudian berseru, menyemangati kami dalam melakukan pemberontakan pada dua orang sesepuh konvensional dan keras kepala, yang menganggap satu sama lain tidak pantas menjadi keluarga.
“Tiga Desember, tepat tiga bulan sebelum aku, apa kamu punya harapan tertentu?” tanya saya sambil mendudukan kotak kecil di batu dan membuka bungkusnya. Kami sama-sama tersenyum melihat kue tart kecil tanpa tulisan, dengan serpihan cokelat di atasnya.
“Belum. Karena aku takut, harapan kemarin tidak terwujud!” jawabnya konyol. Ia memperhatikan tangan saya yang cekatan, mengambil lilin kecil di tas dan meletakannya di atas kue.
“Bagaimana caramu menyembunyikan itu dari kawan-lawan?” tanyanya.
Saya tersenyum. Sambil merobek sisi kotak yang tegak, meratakannya hingga keseluruhan sisi kue terlihat jelas.
“Aku menyembunyikannya di dekat gudang," jawab saya.
"Ada korek?" tanyanya saat saya menancapkan sebatang lilin merah di atas kue.
Saya mengangguk lagi sambil mengeluarkan korek dari tas. Saya sudah memastikan benda itu di tas, dia tidak merokok, jadi akan susah mencari korek di tempat begini.
Lilin sudah tersulut, tinggal menunggu untuk ditiup.
Kami berpandangan.
“Nah, sekarang tiup lilinnya!”
Ia menggeleng. “Belum nyanyi.”
“Kekanak-kanakan sekali!”
Ia menggeleng. “Tidakah kamu mau mengabulkan permintaanku ini? Sebelum aku bertambah tua dan bisa memerintahmu karena umurku lebih besar setahun.” Ia selalu terlihat lucu, dengan senyum miring dan setengah alis terangkat.
Maka jadilah disana saya bernyanyi, bisa dibilang berbisik karena volumenya sangat kecil.
“Happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, Happy birthday… to you!”
Ia bertepuk tangan, tersenyum gembira.
“Make a wish dulu!” saya mengingatkan.
Ia mengangguk. Namun bukannya memejamkan mata, ia malah memegang tangan saya dan meletakannya di dada.
“Doaku masih tetap sama seperti dulu. Aku ingin bersamamu selalu, berbahagia di desa kecil ini, dengan anak-anak kita yang nanti akan lahir, menjadi petani sayur. Nenekmu dan Kakekku berdamai setelah orang tua kita meninggal karena keteledoran Ayahku saat mengemudikan mobil, dan… cukup, itu saja!”
Saya terharu, serasa tidak mengingat konflik antara keluarga kami. Seperti kisah Romeo dan Juliet yang kami baca di perpustakaan, tetap bisa bersatu walau kedua keluarga tidak mengijinkan, kami ingin seperti mereka sedari hidup sampai mati.
Sayup angin dan kicauan burung serasa menjawab doanya, membuat kami mengingat lelehan lilin di bawah tangan kami.
“Cepat tiup lilinnya, sebelum doanya kadaluwarsa!”
Giliran dia yang terkikik.
Saya mengikuti dia yang bersiap meniup lilin dengan senandung wajib, tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang.. juga…
Huss…
Nyatanya lilin mati sebelum ia sempat menghembuskan napas, angin terlebih dahulu merubah nyala api menjadi gas tak terlihat, dan asapnya menyembur ke wajahnya, membuatnya terbatuk.
Kami mengikik, tertawa.
Lalu hujan turun, tanpa isyarat gelegar atau petir. Tiba-tiba saja turun, seperti balita umur satu tahun yang kencing tanpa bisa berkata apa-apa. Dan kue kami basah, benyek dan hancur.
“Ayo pergi!” ujarnya sambil menarik tangan saya.
“Tapi kuenya…”
“Sudahlah, yang penting kita sudah merayakannya,” cegahnya, sambil meraih tas dan tangan saya, lalu menarik saya turun dari bongkahan batu menuju rumput.
Ia meloncat terlebih dahulu, lalu saya. Kami berlari di bawah hujan, tanpa sadar ia menginjak bagian tanah yang amblas dan benyek. Kaki kanannya masuk lubang sebatas lutut, sambil memekik kesakitan.
Saya panik, kaget melihatnya meringis.
“Ada apa?”
Ia menggeleng. “Bantu aku menarik kakiku!”
Saya membantunya, agak susah karena sepatunya tertarik lumpur. Ia menggoyangkan kakinya, ke kanan dan ke kiri, berharap bisa mengacaukan gaya tarik lumpur, lalu tarikan saya di pangkal pahanya, dan usahanya dia, akhirnya kakinya berhasil tercabut di bawah siraman hujan.
Kami tertawa, karena sepatunya tertinggal. Ia menjulurkan tangan ke dalam lubang, berusaha menjangkau sepatunya. Sesaat wajahnya menegang, membuat saya panik. Ia memucat, bergerak-gerak seperti sedang menahan sesuatu, saya takut, tapi kemudian badanya tegak dan sesuatu tertarik dari lubang. Sepatunya, dan sesuatu panjang seperti tali yang ikut naik bersama sepatu.
Woaa…
Ia melempar sepatunya, sesuatu seperti tali itu, yang ternyata hidup langsung menjauh dari sepatu, melata. Seekor ular kecil.
“Kamu tidak apa-apa?”
Ia menggeleng sambil memungut sepatu. “Hanya kaget. Ayo pergi!” ajaknya sambil melingkarkan tangan di bahu saya, tertawa geli karena acara ulang tahun yang terganggu.
Saya tertawa, bahagia.
*****
Saya bangun lalu menjauh dari air. Kaki saya menginjak rumput hijau yang segar di musim penghujan ini. Setelah mengambil sebuah kotak kecil yang tadi saya tinggalkan, saya menyusuri tepian danau itu sambil tetap mengenang memori-memori lama yang indah itu. Hingga akhirnya saya tiba di lubang tempat kakinya terperosok itu. Rasa nyeri serasa menghujam di jantung, namun entah mengapa saya malah berjongkok disana dan menyibak rumput yang menutupi lubang itu. Ternyata lubang itu masih sama dalamnya dengan dulu.
Saya ingat dia lagi....
Hampir sepuluh menit disana, saya berdiri sambil menatap kotak yang saya bawa. Dia pasti senang saya datang, membawa kue tart yang dulu sempat benyek sewaktu ulang tahunnya.
Saya berjalan melewati lubang itu, sesaat mengarah ke dua bongkah batu besar tempat kue kami hancur dulu. Tapi langkah saya membelok, menelusuri sisian danau sampai ke area yang dipagari batu dan tempat kenangan banyak orang terpendam.
Saya melewatinya, mencari tempat terlapang di pinggir sebuah gundukan yang ditumbuhi rumput banyak, dan duduk. Ia sudah berada disana, saya yakin. Kue sudah saya letakan di atas rumput, kardus dibuka hingga permukaannya yang kini bertuliskan cairan manis berwarna merah mengkilat tertimpa matahari. Lengkap sudah, dengan lilin dan korek di tangan. Semuanya siap, hanya tinggal menyalakan lilin.
Denting sesuatu di atas permukaan danau membuat saya menoleh. Titik air berjatuhan dari langit, seperti hari itu. Hujan gerimis kecil, seakan meramaikan suasana.
Saya menyalakan lilin, memandangi tulisan di atas kue.
Saya tersenyum. Mulai menyanyi sementara langit makin menangis.
Happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, Happy birthday… to you
“Happy birthday, Ren. Sekarang ayo, tiup lilin!”
Saya menoleh ke arah kanan, Ren tersenyum lewat batu nisannya. Bersiap meniup lilin. Tapi saya yang menggantikannya berharap, berharap gigitan ular itu tidak begitu menyakitkannya di surga sana, seperti bisa yang membuat matanya tertutup selamanya.
Huss…
Kali ini saya mendahului angin meniup lilin. Nyala api padam, berubah menjadi asap. Tapi Ren tidak pernah padam di hati saya.
“Selamat ulang tahun, Ren!”
****
Tamat
3 Desember 2008
N.b Hepy besday from someone out there, who had created me ^ ^
Saya membiarkannya.
Dingin yang terasa, membawa kembali perasaan yang sama terhadap danau ini. Ketika saya membuka mata, nyatanya memang semuanya masih sama. Permukaan danau, dua bongkah batunya, gemerisik angin, rumput, bahkan jejak kaki sewaktu terperosok di tengah hujan dekat batu sana, semua masih sama.
Tapi satu yang berubah. Hanya satu. Waktu. Dan itu merubah semuanya.
Hari ini saya kembali ke tepian danau Kenangan, teringat bahwa tanggal ini tanggal istimewa bagi seseorang. Jejak kakinya yang masih ada di belakang, yang terpeta di atas hamparan rumput dan terlihat samar, mengembalikan ingatan akan hari hujan itu. Lima tahun lalu, di hari yang sama, tanggal yang sama dan bulan yang sama seperti hari ini, jejak itu terbuat.
Saya merenung.
****
Hari itu mendung, tapi tidak menghalangi. Pulang sekolah, seperti janji kemarin, saya langsung menghilang dari peredaran kawan dan menyelinap ke tepi danau. Nenek sudah pasti akan marah jika tahu saya kesini, terlebih jika terlihat bersamanya dan karena itu saya sembunyi-sembunyi.
Dengan kotak kecil di tangan dan sebuah bungkusan lain tersembunyi di tas, sangat susah untuk bergerak cepat. Namun dengan menyelinap diantara pohon, bersembunyi di balik batu saat ada gerobak pengangkut sayur lewat, atau pura-pura mencari batu ketika seseorang bertanya, akhirnya tepi danau tercapai juga. Disini, saya menunggu.
Ia datang tidak lama kemudian, masih seragam yang sama dengan saya, senyum sama namun keringat menetes. Saya yakin ia mengalami perjuangan yang sama susah, berhubung Kakeknya tidak akan menghendakinya menemui saya di tepi danau Kenangan, danau tempat ribuan kenangan jaman lalu tersimpan.
“Maaf, aku telat lima menit,” ucapnya sambil terengah.
Saya tersenyum, duduk di bongkah batu sebelah kanan. Ia mengikuti di bongkah sebelah kiri, sambil melepas tas selempang dan meletakannya di rumput. Gema alam kemudian berseru, menyemangati kami dalam melakukan pemberontakan pada dua orang sesepuh konvensional dan keras kepala, yang menganggap satu sama lain tidak pantas menjadi keluarga.
“Tiga Desember, tepat tiga bulan sebelum aku, apa kamu punya harapan tertentu?” tanya saya sambil mendudukan kotak kecil di batu dan membuka bungkusnya. Kami sama-sama tersenyum melihat kue tart kecil tanpa tulisan, dengan serpihan cokelat di atasnya.
“Belum. Karena aku takut, harapan kemarin tidak terwujud!” jawabnya konyol. Ia memperhatikan tangan saya yang cekatan, mengambil lilin kecil di tas dan meletakannya di atas kue.
“Bagaimana caramu menyembunyikan itu dari kawan-lawan?” tanyanya.
Saya tersenyum. Sambil merobek sisi kotak yang tegak, meratakannya hingga keseluruhan sisi kue terlihat jelas.
“Aku menyembunyikannya di dekat gudang," jawab saya.
"Ada korek?" tanyanya saat saya menancapkan sebatang lilin merah di atas kue.
Saya mengangguk lagi sambil mengeluarkan korek dari tas. Saya sudah memastikan benda itu di tas, dia tidak merokok, jadi akan susah mencari korek di tempat begini.
Lilin sudah tersulut, tinggal menunggu untuk ditiup.
Kami berpandangan.
“Nah, sekarang tiup lilinnya!”
Ia menggeleng. “Belum nyanyi.”
“Kekanak-kanakan sekali!”
Ia menggeleng. “Tidakah kamu mau mengabulkan permintaanku ini? Sebelum aku bertambah tua dan bisa memerintahmu karena umurku lebih besar setahun.” Ia selalu terlihat lucu, dengan senyum miring dan setengah alis terangkat.
Maka jadilah disana saya bernyanyi, bisa dibilang berbisik karena volumenya sangat kecil.
“Happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, Happy birthday… to you!”
Ia bertepuk tangan, tersenyum gembira.
“Make a wish dulu!” saya mengingatkan.
Ia mengangguk. Namun bukannya memejamkan mata, ia malah memegang tangan saya dan meletakannya di dada.
“Doaku masih tetap sama seperti dulu. Aku ingin bersamamu selalu, berbahagia di desa kecil ini, dengan anak-anak kita yang nanti akan lahir, menjadi petani sayur. Nenekmu dan Kakekku berdamai setelah orang tua kita meninggal karena keteledoran Ayahku saat mengemudikan mobil, dan… cukup, itu saja!”
Saya terharu, serasa tidak mengingat konflik antara keluarga kami. Seperti kisah Romeo dan Juliet yang kami baca di perpustakaan, tetap bisa bersatu walau kedua keluarga tidak mengijinkan, kami ingin seperti mereka sedari hidup sampai mati.
Sayup angin dan kicauan burung serasa menjawab doanya, membuat kami mengingat lelehan lilin di bawah tangan kami.
“Cepat tiup lilinnya, sebelum doanya kadaluwarsa!”
Giliran dia yang terkikik.
Saya mengikuti dia yang bersiap meniup lilin dengan senandung wajib, tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang.. juga…
Huss…
Nyatanya lilin mati sebelum ia sempat menghembuskan napas, angin terlebih dahulu merubah nyala api menjadi gas tak terlihat, dan asapnya menyembur ke wajahnya, membuatnya terbatuk.
Kami mengikik, tertawa.
Lalu hujan turun, tanpa isyarat gelegar atau petir. Tiba-tiba saja turun, seperti balita umur satu tahun yang kencing tanpa bisa berkata apa-apa. Dan kue kami basah, benyek dan hancur.
“Ayo pergi!” ujarnya sambil menarik tangan saya.
“Tapi kuenya…”
“Sudahlah, yang penting kita sudah merayakannya,” cegahnya, sambil meraih tas dan tangan saya, lalu menarik saya turun dari bongkahan batu menuju rumput.
Ia meloncat terlebih dahulu, lalu saya. Kami berlari di bawah hujan, tanpa sadar ia menginjak bagian tanah yang amblas dan benyek. Kaki kanannya masuk lubang sebatas lutut, sambil memekik kesakitan.
Saya panik, kaget melihatnya meringis.
“Ada apa?”
Ia menggeleng. “Bantu aku menarik kakiku!”
Saya membantunya, agak susah karena sepatunya tertarik lumpur. Ia menggoyangkan kakinya, ke kanan dan ke kiri, berharap bisa mengacaukan gaya tarik lumpur, lalu tarikan saya di pangkal pahanya, dan usahanya dia, akhirnya kakinya berhasil tercabut di bawah siraman hujan.
Kami tertawa, karena sepatunya tertinggal. Ia menjulurkan tangan ke dalam lubang, berusaha menjangkau sepatunya. Sesaat wajahnya menegang, membuat saya panik. Ia memucat, bergerak-gerak seperti sedang menahan sesuatu, saya takut, tapi kemudian badanya tegak dan sesuatu tertarik dari lubang. Sepatunya, dan sesuatu panjang seperti tali yang ikut naik bersama sepatu.
Woaa…
Ia melempar sepatunya, sesuatu seperti tali itu, yang ternyata hidup langsung menjauh dari sepatu, melata. Seekor ular kecil.
“Kamu tidak apa-apa?”
Ia menggeleng sambil memungut sepatu. “Hanya kaget. Ayo pergi!” ajaknya sambil melingkarkan tangan di bahu saya, tertawa geli karena acara ulang tahun yang terganggu.
Saya tertawa, bahagia.
*****
Saya bangun lalu menjauh dari air. Kaki saya menginjak rumput hijau yang segar di musim penghujan ini. Setelah mengambil sebuah kotak kecil yang tadi saya tinggalkan, saya menyusuri tepian danau itu sambil tetap mengenang memori-memori lama yang indah itu. Hingga akhirnya saya tiba di lubang tempat kakinya terperosok itu. Rasa nyeri serasa menghujam di jantung, namun entah mengapa saya malah berjongkok disana dan menyibak rumput yang menutupi lubang itu. Ternyata lubang itu masih sama dalamnya dengan dulu.
Saya ingat dia lagi....
Hampir sepuluh menit disana, saya berdiri sambil menatap kotak yang saya bawa. Dia pasti senang saya datang, membawa kue tart yang dulu sempat benyek sewaktu ulang tahunnya.
Saya berjalan melewati lubang itu, sesaat mengarah ke dua bongkah batu besar tempat kue kami hancur dulu. Tapi langkah saya membelok, menelusuri sisian danau sampai ke area yang dipagari batu dan tempat kenangan banyak orang terpendam.
Saya melewatinya, mencari tempat terlapang di pinggir sebuah gundukan yang ditumbuhi rumput banyak, dan duduk. Ia sudah berada disana, saya yakin. Kue sudah saya letakan di atas rumput, kardus dibuka hingga permukaannya yang kini bertuliskan cairan manis berwarna merah mengkilat tertimpa matahari. Lengkap sudah, dengan lilin dan korek di tangan. Semuanya siap, hanya tinggal menyalakan lilin.
Denting sesuatu di atas permukaan danau membuat saya menoleh. Titik air berjatuhan dari langit, seperti hari itu. Hujan gerimis kecil, seakan meramaikan suasana.
Saya menyalakan lilin, memandangi tulisan di atas kue.
Selamat ulang tahun ke 23
Ren
Saya tersenyum. Mulai menyanyi sementara langit makin menangis.
Happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, Happy birthday… to you
“Happy birthday, Ren. Sekarang ayo, tiup lilin!”
Saya menoleh ke arah kanan, Ren tersenyum lewat batu nisannya. Bersiap meniup lilin. Tapi saya yang menggantikannya berharap, berharap gigitan ular itu tidak begitu menyakitkannya di surga sana, seperti bisa yang membuat matanya tertutup selamanya.
Huss…
Kali ini saya mendahului angin meniup lilin. Nyala api padam, berubah menjadi asap. Tapi Ren tidak pernah padam di hati saya.
“Selamat ulang tahun, Ren!”
****
Tamat
3 Desember 2008
N.b Hepy besday from someone out there, who had created me ^ ^