Saya bayar Deh, Bu (Repost)
“Selamat pagi…. Bu Guru!”
Lula tersenyum geli, tiga puluh anak didiknya selalu menyuarakan sapaan itu setiap ia masuk ke kelas. Tidak pagi, tidak siang, mereka ini hanya tahu ‘selamat pagi, Bu Guru’.
Lula meletakan buku di meja bertaplak batik di pojok kanan. Sambil memperhatikan satu per satu murid-muridnya, ia melangkah ke tengah kelas.
“Berapa kali Ibu bilang, kalau sudah jam sebelas keatas, bilangnya selamat siang. Bukan selamat pagi,” kata Lula lembut sambil melirik jam dinding.
“Tapi, Bu,” sergah Dodi sambil berdiri. “Bu Nonik bilang kita harus selalu menganggap sepanjang hari itu pagi.”
Bu Nonik, sudah lama Lula mengkambinghitamkan guru kelas satu itu. Lula tahu kalau beliau seorang motivator MLM, senang berbicara dengan nada berapi-api, tetapi beliau salah sasaran. Belum saatnya anak-anak mengkonsumsi moto itu, walaupun Lula sadar maksudnya baik.
“Tetapi kalau sudah siang, ya siang, Dodi! Coba Dodi lihat, sekarang jam berapa?”
Dodi melirik jam, dengan polos menjawab. “Jam sebelas, Bu!”
“Sebentar lagi makan siang atau makan pagi?” goda Lula.
“Makan siang, Bu,” jawab Dodi kalem. Tetapi sesaat wajahnya kembali membandel. “Tetapi kan tadi kita makan pagi, Bu!”
Lula menyembunyikan tawa dengan menutup mulut. Muridnya yang satu ini memang tidak pernah mau kalah, bahkan terhadap Lula, gurunya sendiri. Suara Cekikikan lain juga datang dari bangku sebelah Dodi. Satya, salah satu murid Luna yang paling ajaib, blasteran Bali-Irian, dengan kulit seputih arang tertawa mengejek Dodi. Dodi melesatkan pandangan marah sambil duduk, mereka berdua memang musuh bebuyutan.
Lula berdeham sekali, menenangkan anak muridnya.
“Nah, Anak-anak. Kemarin Ibu Guru sudah menjelaskan pada kalian soal jenis-jenis nada dalam lagu. Sekarang Ibu Guru ingin kalian mengerjakan tugas di halaman 20, dari nomer satu sampai sepuuh!”
Dodi menunjuk tangan. “Ibu Guru, Dodi ngerjain lima soal saja, Bu, ya,” pintanya.
Anak-anak yang lain menoleh ke Dodi. Beberapa orang mengernyit.
Lula berjalan mendekat sambil menggeleng tegas. “Tidak, Dodi!”
“Kalau begitu, tujuh deh, Bu!” tawar Dodi lagi,
Lula mengulum senyum dan berhenti di depan meja Dodi, di deret paling pojok kanan. “Sepuluh!”
“Delapan, deh, Bu!”
“Tidak, Dodi!”
Anak itu kemudian merogoh sesuatu dari saku bajunya, tangan kirinya dilekatkan di samping mulutnya. Sambil berbisik-bisik kemudian ia berkata, “Delapan ya, Bu. Saya bayar deh, delapan ya!”
Lula tercengang melihat uang sepuluh ribuan keluar dari saku mungil anak kecil itu dan terulur ke arahnya. Dahinya mengernyit, beberapa saat ia menahan emosi, tetapi akhirnya tak kuat. Ia berbalik membelakangi murid-muridnya dan tertawa ngakak.
Lula tersenyum geli, tiga puluh anak didiknya selalu menyuarakan sapaan itu setiap ia masuk ke kelas. Tidak pagi, tidak siang, mereka ini hanya tahu ‘selamat pagi, Bu Guru’.
Lula meletakan buku di meja bertaplak batik di pojok kanan. Sambil memperhatikan satu per satu murid-muridnya, ia melangkah ke tengah kelas.
“Berapa kali Ibu bilang, kalau sudah jam sebelas keatas, bilangnya selamat siang. Bukan selamat pagi,” kata Lula lembut sambil melirik jam dinding.
“Tapi, Bu,” sergah Dodi sambil berdiri. “Bu Nonik bilang kita harus selalu menganggap sepanjang hari itu pagi.”
Bu Nonik, sudah lama Lula mengkambinghitamkan guru kelas satu itu. Lula tahu kalau beliau seorang motivator MLM, senang berbicara dengan nada berapi-api, tetapi beliau salah sasaran. Belum saatnya anak-anak mengkonsumsi moto itu, walaupun Lula sadar maksudnya baik.
“Tetapi kalau sudah siang, ya siang, Dodi! Coba Dodi lihat, sekarang jam berapa?”
Dodi melirik jam, dengan polos menjawab. “Jam sebelas, Bu!”
“Sebentar lagi makan siang atau makan pagi?” goda Lula.
“Makan siang, Bu,” jawab Dodi kalem. Tetapi sesaat wajahnya kembali membandel. “Tetapi kan tadi kita makan pagi, Bu!”
Lula menyembunyikan tawa dengan menutup mulut. Muridnya yang satu ini memang tidak pernah mau kalah, bahkan terhadap Lula, gurunya sendiri. Suara Cekikikan lain juga datang dari bangku sebelah Dodi. Satya, salah satu murid Luna yang paling ajaib, blasteran Bali-Irian, dengan kulit seputih arang tertawa mengejek Dodi. Dodi melesatkan pandangan marah sambil duduk, mereka berdua memang musuh bebuyutan.
Lula berdeham sekali, menenangkan anak muridnya.
“Nah, Anak-anak. Kemarin Ibu Guru sudah menjelaskan pada kalian soal jenis-jenis nada dalam lagu. Sekarang Ibu Guru ingin kalian mengerjakan tugas di halaman 20, dari nomer satu sampai sepuuh!”
Dodi menunjuk tangan. “Ibu Guru, Dodi ngerjain lima soal saja, Bu, ya,” pintanya.
Anak-anak yang lain menoleh ke Dodi. Beberapa orang mengernyit.
Lula berjalan mendekat sambil menggeleng tegas. “Tidak, Dodi!”
“Kalau begitu, tujuh deh, Bu!” tawar Dodi lagi,
Lula mengulum senyum dan berhenti di depan meja Dodi, di deret paling pojok kanan. “Sepuluh!”
“Delapan, deh, Bu!”
“Tidak, Dodi!”
Anak itu kemudian merogoh sesuatu dari saku bajunya, tangan kirinya dilekatkan di samping mulutnya. Sambil berbisik-bisik kemudian ia berkata, “Delapan ya, Bu. Saya bayar deh, delapan ya!”
Lula tercengang melihat uang sepuluh ribuan keluar dari saku mungil anak kecil itu dan terulur ke arahnya. Dahinya mengernyit, beberapa saat ia menahan emosi, tetapi akhirnya tak kuat. Ia berbalik membelakangi murid-muridnya dan tertawa ngakak.
Hahahaha....kenapa ulah si dodi mirip banget ma si comel ya anak saya.....keren mbak
BalasHapuswah, selanjutnya apa nih?
BalasHapuskok, begitu aja? padahal udah bagus awalnya. sudah membentuk cerita.
endingnya dong yg seru....
Jadi keinget ulah si dodi sama kek kelakuan si comel, demen nawar ngerjain soal ma gurunya...hihihi
BalasHapushehehe lucu tuh si dodi, pengen dicubit ajah :D
BalasHapusanak-anak warisan orla tuh kayaknya ...
BalasHapushehehe
anak yang kaya gitu emang perlu ada...
BalasHapussesuatu yang berbeda. kalo sama sumua. mana ada warna