Saat profil Andien mau diekspos
Andien berdiri di depan meja seorang anggota redaksi sebuah majalah. Ia menunggu dengan sabar, ketika wanita muda yang terlihat sangat sibuk itu masih belum mengacuhkannya.
Ia masih menunggu, sampai kemudian wanita itu menutup sebuah filenya, membenahi letak kaca mata dan akhirnya mendongak ke arahnya. Wanita itu tersenyum, sinar matanya bersemangat, walaupun nyata-nyata wajahnya tampak lelah.
"Nah, Andien. Sudahkah kamu bawa artikel wawancara kamu?"
Andien mengangguk, menyerahkan selembar kertas ke wanita itu.
"Potonya mana?" pinta wanita itu.
"Buat apa ya, Mbak?"
Wanita itu memandang Andien. "Untuk profil kamu,"
Andien bingung. "Kan saya hanya mengirim satu artikel, Mbak. Apa perlu sampai profil saya dibahas juga?"
Wanita itu mengangguk. "Kita mengharuskan semua yang mengirim artikel ke majalah kita untuk menyerahkan poto dan artikel profil, dan.." wanita itu melihat kembali kertas yang diserahkan Andien. "Nampaknya profil yang kamu serahkan ini masih agak.... kurang. Bisa kamu rubah lagi, kalau perlu dikarang dan dikembangkan lebih luas. Jadi biar kamu kelihatan lebih profesional!"
Andien menelan ludah. "Tapi, Mbak. Keadaan saya memang begitu, saya masih penulis pemula, bukan penulis profesional. Lagipula di majalah-majalah biasa, tidak pernah saya lihat ada profil penulis artikelnya, apalagi sampai diminta poto-poto."
Wanita itu mulai memandang Andien serius. "Tapi di majalah kita aturannya begitu, Andien. Memang ini majalah gratisan, tapi aturan redaksi setiap penulis diminta untuk menyerahkan poto dan hasil wawancara, jadi nanti akan dimuat di samping karya kamu."
"Kalau tidak harus, bisa, Mbak?"
Wanita itu menggeleng.
Andien menghela napas. "Maaf, Mbak. sebenarnya saya tidak terlalu suka diekspos, lagipula saya hanya penulis yang masih belajar. jadi..." Andien berpikir sejenak. Sejujurnya ia tidak suka diekspos begitu, tapi ia sudah kepalang basah, sudah terlanjur mengirim artikel dan kalau dibatalkan akan terasa tidak menyenangkan. Akan menimbulkan kesan buruk terhadap dirinya, dan jika dibiarkan, citra itu akan melekat selamanya.
Akhirnya Andien mengalah. "Iya, Mbak. saya akan revisi, nanti poto akan saya lampirkan!"
Wanita itu mengangguk.
Setelah berlalu dari meja itu Andien kembali berpikir. Berarti banyak orang akan melihat wajahnya di majalah,dan memikirkan itu membuat perutnya mulas. Bukan karena ia jelek, ataupun gendut dan semacamnya, tapi lebih pada masalah sifat. Ia lebih suka jika orang-orang hanya mengenal namanya saja, tidak usah wajahnya.
"Ribet juga ya kalau kita yang perlu," gumamnya lagi sambil memandang lembar kertas berisi profilnya. Memang bukan soal bayaran, ia iklas tidak dibayar, namun karena ia ingin tulisannya dibaca orang, jadi, sekarang ia masih harus mengalah. Padahal bisa saja kan mereka merevisi sendiri profilenya ini sesuai dengan format yang diperlukan. tapi..
"Ah, untuk mengawali sesuatu memang butuh pengorbanan!" putusnya akhirnya,namun sedikit keusilan, profilnya tidak akan dibesar-besarkan, karena ia memang masih kecil. dan soal poto, cari yang terkecil sajalah.
mungkin iya kali, untuk mengawali sesuatu itu membutuhkan pengorbanan yang besar. bukan hanya masalah materi, namun lebih ke arah emosional dan pribadi. Jadi, selama kita yang perlu, mengalahlah. namun jangan mau ditindas. oke...
Ia masih menunggu, sampai kemudian wanita itu menutup sebuah filenya, membenahi letak kaca mata dan akhirnya mendongak ke arahnya. Wanita itu tersenyum, sinar matanya bersemangat, walaupun nyata-nyata wajahnya tampak lelah.
"Nah, Andien. Sudahkah kamu bawa artikel wawancara kamu?"
Andien mengangguk, menyerahkan selembar kertas ke wanita itu.
"Potonya mana?" pinta wanita itu.
"Buat apa ya, Mbak?"
Wanita itu memandang Andien. "Untuk profil kamu,"
Andien bingung. "Kan saya hanya mengirim satu artikel, Mbak. Apa perlu sampai profil saya dibahas juga?"
Wanita itu mengangguk. "Kita mengharuskan semua yang mengirim artikel ke majalah kita untuk menyerahkan poto dan artikel profil, dan.." wanita itu melihat kembali kertas yang diserahkan Andien. "Nampaknya profil yang kamu serahkan ini masih agak.... kurang. Bisa kamu rubah lagi, kalau perlu dikarang dan dikembangkan lebih luas. Jadi biar kamu kelihatan lebih profesional!"
Andien menelan ludah. "Tapi, Mbak. Keadaan saya memang begitu, saya masih penulis pemula, bukan penulis profesional. Lagipula di majalah-majalah biasa, tidak pernah saya lihat ada profil penulis artikelnya, apalagi sampai diminta poto-poto."
Wanita itu mulai memandang Andien serius. "Tapi di majalah kita aturannya begitu, Andien. Memang ini majalah gratisan, tapi aturan redaksi setiap penulis diminta untuk menyerahkan poto dan hasil wawancara, jadi nanti akan dimuat di samping karya kamu."
"Kalau tidak harus, bisa, Mbak?"
Wanita itu menggeleng.
Andien menghela napas. "Maaf, Mbak. sebenarnya saya tidak terlalu suka diekspos, lagipula saya hanya penulis yang masih belajar. jadi..." Andien berpikir sejenak. Sejujurnya ia tidak suka diekspos begitu, tapi ia sudah kepalang basah, sudah terlanjur mengirim artikel dan kalau dibatalkan akan terasa tidak menyenangkan. Akan menimbulkan kesan buruk terhadap dirinya, dan jika dibiarkan, citra itu akan melekat selamanya.
Akhirnya Andien mengalah. "Iya, Mbak. saya akan revisi, nanti poto akan saya lampirkan!"
Wanita itu mengangguk.
Setelah berlalu dari meja itu Andien kembali berpikir. Berarti banyak orang akan melihat wajahnya di majalah,dan memikirkan itu membuat perutnya mulas. Bukan karena ia jelek, ataupun gendut dan semacamnya, tapi lebih pada masalah sifat. Ia lebih suka jika orang-orang hanya mengenal namanya saja, tidak usah wajahnya.
"Ribet juga ya kalau kita yang perlu," gumamnya lagi sambil memandang lembar kertas berisi profilnya. Memang bukan soal bayaran, ia iklas tidak dibayar, namun karena ia ingin tulisannya dibaca orang, jadi, sekarang ia masih harus mengalah. Padahal bisa saja kan mereka merevisi sendiri profilenya ini sesuai dengan format yang diperlukan. tapi..
"Ah, untuk mengawali sesuatu memang butuh pengorbanan!" putusnya akhirnya,namun sedikit keusilan, profilnya tidak akan dibesar-besarkan, karena ia memang masih kecil. dan soal poto, cari yang terkecil sajalah.
mungkin iya kali, untuk mengawali sesuatu itu membutuhkan pengorbanan yang besar. bukan hanya masalah materi, namun lebih ke arah emosional dan pribadi. Jadi, selama kita yang perlu, mengalahlah. namun jangan mau ditindas. oke...
ganbate ^ ^
emang knapa gak mau diekspos takut terkenal kek artis2 gitu yah hehehe ato pengen bikin orang mati penasaran huehehe
BalasHapusiyahhh sesekali utk sesuatu hal boleh mengalah tapi jangan mau dtindasss!!! hidup mocca_chi "nah loh"
Sang peri???, pantesan gak mau diekspos, hehehehhehe
BalasHapussalam kenal
"Ah, untuk mengawali sesuatu memang butuh pengorbanan!" <== iya nih, kalimat nya emang kita diharuskan untuk seperti itu.
BalasHapustapi tetap harus sukses yap :D
oo....
BalasHapustapi ini cerita masalah kamu ndirikan...
jangan2 kamu orangnya...
ngaku deh...iyakan...........
Ah jadi pengen buat artikel biar bisa dimuat di majalah :D
BalasHapusaku tahu siapa Andienn itu....
BalasHapusbenar2 sosok yg low profile ya.
ketika semua membincangkan tema, maka perbincangkan tentang dirimu sobat... aku lama sekali tidak membaca tulisan semacam ini setelah mengakhiri kata-kata terakhirku yang kubunuh di Kemudian.com.... lara yang panjang memang, tapi aku salut bertemu dengan Zera, Aljazeyra, Khrisnapabhicara baru di lapangan ini: ganbatte.... change the world... haiy...a...
BalasHapusbukan mo promosi tapi emang coklat silver queen kok.
BalasHapusbtw, andien masih gak mo diekspos?
heuh, jadi inget masa awal2 nulis. ya, kadang kita memang harus berkompromi dengan keadaan selama hal itu tidak merusak prinsip. Tapi, ga tahu deng...(nyambung ga ya?) :xd
BalasHapushmm...
BalasHapusbuat mengakhiri sesuatu pun pengorbanan...
heheh... senang melihatmu bersemangat, rik...
yahhh..
BalasHapusnamanya juga berjuang, ga sik dunk kLo berjuang muLus2 aja, ntar ga ada kenangan apa2, hehehehe...
semangat yak!!!
kmana jah nih....
BalasHapuskok kagk muncul.....
apalagi sampai harus bugil kaya yang di iklan sabun itu.
BalasHapushahaha...
ganbatte ne..!!!!
Hihihi... saya sepakat sama Andien sebetulnya, kenapa musti pakai diekspos segala? Tapi kalau memang itu yg sudah jadi peraturan majalah tersebut ya.. susah juga ya?
BalasHapus