Urbanisasi, Gaya Hidup?
Kehidupan
Dingin, brrr….
Baru balik dari kampung, semalam ada odalan di pura, pas purnama yang mendung. Akibatnya sekarang, kedinginan, ngantuk, lemes dan malas ngapa-ngapain. Tapi hyah, entah mengapa rasanya sedikit lega.
Pulang kampung, biasanya sih cuman saat sabtu. Pulang kerja, sore langsung pulang. Menghabiskan waktu di rumah sampai minggu sore dan menjelang malam balik lagi ke Denpasar. Dua minggu sekali, dua kali sebulan.
Belakangan saya berpikir, dengan ritme hidup begini, rumah jadi terasa hanya singgahan. Kehidupan yang sebenarnya adalah di kost, bekerja, mengejar mimpi, bergaul dengan teman, menangis, marah, sedih dan juga kelaparan. Kebanyakan para pendatang yang mengadu nasib di Denpasar begitu, makanya jangan heran kalau pas hari raya besar, kota yang ramai itu berubah, sepi, drastic.
Fenomena ini, menyebabkan saya berpikir. Seperti juga salah seorang sepupu saya, urbanisasi ke kota bisa membuat kehidupan menjadi lebih berwarna. Ketimbang di rumah (rumah saya desa soalnya), kehidupan disini jauh lebih berwarna. Ya iyalah, namanya juga kota gitu loh. Namun jauh lebih berarti dibanding berwarni dalam arti sebenarnya, ada lebih banyak hal yang bisa diraih.
Jika kehidupan di desa hanya berliku pada soal bangun pagi, masak, makan, jadi baby sitter sampai sore, masak lagi, makan, lalu tidur (bahkan jam 8 malam sudah tidur). Hiburannya hanya teve dan si anak kecil sebelah yang lucu itu.
Oke, bayangkan, apa yang didapat dari kehidupan macam itu?
Nah, karena itu, saya rela meninggalkan sebuah pekerjaan yang denger-denger gajinya enak di seputaran Ubud sana, hanya untuk mencari sebuah kehidupan yang berwarna. Konsekuensi, pulang jarang, ketemu ponakan yang lucu itu jarang (tapi tetep diinget loh, karena pulang selalu bawa oleh-oleh), dan mungkin juga jadi merasa bahwa rumah itu menjadi sedikit asing dalam jiwa. Halah…
Jadi, jangan salahkan urbanisasi. Sepanjang pelakunya tahu apa yang harus dikerjakan di kota sana, daripada diam di rumah, dengan hidup monoton atau malah nanti dinikahkan muda-muda ( wakakka). Lagipula, hmm... Itu sarana untuk seseorang dalam mengapresiasikan hidup, mungkin sebuah gaya untuk meningkatkan kualitas diri.Dan juga, huahaa... menambah kecengan. upss
;;)
Dingin, brrr….
Baru balik dari kampung, semalam ada odalan di pura, pas purnama yang mendung. Akibatnya sekarang, kedinginan, ngantuk, lemes dan malas ngapa-ngapain. Tapi hyah, entah mengapa rasanya sedikit lega.
Pulang kampung, biasanya sih cuman saat sabtu. Pulang kerja, sore langsung pulang. Menghabiskan waktu di rumah sampai minggu sore dan menjelang malam balik lagi ke Denpasar. Dua minggu sekali, dua kali sebulan.
Belakangan saya berpikir, dengan ritme hidup begini, rumah jadi terasa hanya singgahan. Kehidupan yang sebenarnya adalah di kost, bekerja, mengejar mimpi, bergaul dengan teman, menangis, marah, sedih dan juga kelaparan. Kebanyakan para pendatang yang mengadu nasib di Denpasar begitu, makanya jangan heran kalau pas hari raya besar, kota yang ramai itu berubah, sepi, drastic.
Fenomena ini, menyebabkan saya berpikir. Seperti juga salah seorang sepupu saya, urbanisasi ke kota bisa membuat kehidupan menjadi lebih berwarna. Ketimbang di rumah (rumah saya desa soalnya), kehidupan disini jauh lebih berwarna. Ya iyalah, namanya juga kota gitu loh. Namun jauh lebih berarti dibanding berwarni dalam arti sebenarnya, ada lebih banyak hal yang bisa diraih.
Jika kehidupan di desa hanya berliku pada soal bangun pagi, masak, makan, jadi baby sitter sampai sore, masak lagi, makan, lalu tidur (bahkan jam 8 malam sudah tidur). Hiburannya hanya teve dan si anak kecil sebelah yang lucu itu.
Oke, bayangkan, apa yang didapat dari kehidupan macam itu?
Nah, karena itu, saya rela meninggalkan sebuah pekerjaan yang denger-denger gajinya enak di seputaran Ubud sana, hanya untuk mencari sebuah kehidupan yang berwarna. Konsekuensi, pulang jarang, ketemu ponakan yang lucu itu jarang (tapi tetep diinget loh, karena pulang selalu bawa oleh-oleh), dan mungkin juga jadi merasa bahwa rumah itu menjadi sedikit asing dalam jiwa. Halah…
Jadi, jangan salahkan urbanisasi. Sepanjang pelakunya tahu apa yang harus dikerjakan di kota sana, daripada diam di rumah, dengan hidup monoton atau malah nanti dinikahkan muda-muda ( wakakka). Lagipula, hmm... Itu sarana untuk seseorang dalam mengapresiasikan hidup, mungkin sebuah gaya untuk meningkatkan kualitas diri.Dan juga, huahaa... menambah kecengan. upss
;;)
kadang, kita dihadapkan pada sebuah keadaan yang membuat kita mengambil satu keputusan yang sebenarnya sesuatu yang tidak kita sukai tapi harus dijalani. hal terbaik saat kita dihadapkan pada keadaan seperti ini adalah melihat sisi positifnya.
BalasHapussetuju ama dhie chi....
BalasHapusaku setuju ma buwel chi...
BalasHapuswakakakakkakaak joe joe...
BalasHapusFotonya siapa tuh,... lutuna...
BalasHapusFoto kamu yah chi,...
BalasHapusWaktu masih batita muka kamu lutu banget yah chi...
BalasHapus