Kamis, 29 Januari 2009

14.48.00

Fata Yang Menuju Hari Kemarin

“Kamu bahagia sekarang?” sosok kecil itu bertanya padanya.

Fata berpikir sejenak, berusaha mengingat unsur-unsur hidupnya yang bisa dikatakan bahagia. Apakah dia bahagia?

Sosok kecil itu berputar di depannya. Cantik sekali. Entah dari mana ia berasal, yang jelas Fata tahu kalau dia muncul begitu saja di kegelapan malam.
Dia terus tersenyum melihat Fata masih menunduk.

Hingga akhirnya Fata menjawab, walaupun sedikit ragu. “Iya, aku… aku bahagia, aku bahagia kemarin!”

Sosok kecil itu masih tersenyum, kini melayang rendah tepat di depan mata Fata. Debu cahaya berjatuhan secara teratur dari balik punggungnya, seperti rintik hujan dalam slow motion. Sayap tipisnya mengepak seperti kupu-kupu, itulah yang membuatnya tetap bisa mengisi udara kosong tanpa pijakan. Dua kaki kecilnya besepatukan daun berwarna hijau, lalu topi dari bunga kecubung ungu, lengkap dengan bel kuning mungil di ujungnya. Gaunnya, berbahan dari kelopak bunga mawar merah.

Dia adalah seorang peri cantik, namanya Ino.

“Oh, ya? Kalau begitu, mari kita terbang ke hari kemarin!”

Fata mengerutkan dahi, tidak mempercayai apa yang ia dengar. Ia kemudian menggeleng. “Tidak masuk logika!” ujarnya tegas.

Peri Ino masih saja tersenyum. Ia mendekat ke mata Fata sambil menari, membuat sebuah loncatan indah sebelum bertengger di hidung Fata. Fata tersentak, sontak memundurkan duduknya sampai mendesak pintu di belakangnya.

“Pikiran tidak selalu menang oleh perasaan, sadarkah kamu bahwa banyak hal di dunia ini yang hanya bisa kamu rasakan, namun tidak bisa kamu ceritakan kembali?!”
Fata tercenung, merasa bahwa kata-kata Peri Ino adalah benar.

Seakan bisa membaca pikiran, Peri Ino tahu Fata setuju. Ia kembali melayang di udara, membelakangi Fata hingga gadis itu bisa melihat debu cahayanya. “Debuku adalah penghirup jiwa. Hanya perlu bernapas ketika aku berdiri di depanmu, dan jiwamu akan terbang kemanapun yang engkau bayangkan.”

“Jiwaku?” Fata terkejut.

Dia hanya mengangguk.

Fata berpikir sejenak. “Lalu.. badanku?”

“Masih tetap tidur disini.”

Fata cemas mendengarnya, “Tanpa jiwa?”

Lagi-lagi Peri Ino hanya tersenyu. “Hidup tidaklah sempurna. Lalu kenapa kau harus memikirkan kesedihan jika kau bisa mendapatkan kebahagiaan?”

Fata kembali tercenung. Ia merenungi semuanya, merenungkan waktunya hari ini yang habis hanya untuk memikirkan bagaimana ia hidup di hari esokku. Ia memeriksa kenyataan hidupnya, tempat tidurnya hanya beralaskan kertas koran bekas. Tak ada selimut hangat, tidak pula segelas kopi saat ia bangun di pagi hari. Kebahagiaan terakhirnya hanyalah sebungkus mie instant yang dijatuhkan oleh seorang pemuda, dan itupun terjadi kemarin. Kemudian Fata tahu, tidak akan ada masa depan yang cerah untuknya, jika ia tetap bertahan pada logika.

Peri Ino tahu Fata sudah mengerti. “Ikuti aku dan kau akan mendapatkan kebahagiaan yang tak terhingga,” janjinya smabil tersenyum, lalu kembali meloncat di angkasa, membuat sebuah tarian indah. Debunya berterbangan, memenuhi udara dengan cahaya kelap-kelip.

Fata menegang, Peri Ino telah memenuhi udara di depannya dengan debu-debu cahaya. Ia khawatir orang-orang sekeliling melihat dan heboh, namun saat menoleh, Fata sadar bahwa ia hanya sendiri disini.

“Tutup matamu, dan bernafaslah!”

Fata mengikutinya. Ia menutup matanya, merasakan hembusan udara hangat saat ia bernapas, yang mengalir lewat hidung, ke tenggorakan, lalu memenuhi dada. Rasanya hangat dan damai.

“Buka matamu!”

Fata membuka mata, takjub mendapati dunia menjadi begitu luas. Luas dan besar. Segala hal berubah ukuran, meraksasa sampai beratus kali lipat, entah berapa ratus.Termasuk Peri Ino, kini ukurannya sama dengan tubuh Fata.

“Sekarang lihatlah ke belakangmu!” kata Peri Ino.

Fata menurut, ia menoleh ke belakang dan terhenyak mendapati tubuhnya sendiri yang telah meraksasa seperti sekeliling, sedang tertidur sambil bersandar di pintu rolling door kumuh sebuah toko lampu hias.

Peri Ino memegang tangan Fata, mengajaknya melayang. “Ayo! Kita bermain ke hari kemarin. Gerakan sayapmu, jangan buang-buang debumu terlalu banyak! Itu umur kita.”

Fata terperangah, ia bisa melayang. Ia lalu menatap badan yang dimiliki sekarang, tak banyak berubah, masih dua tangan, dua kaki. Tapi… tapi ketika Fata merasakan dengung asing di belakangnya, ia terkesiap, sepasang sayap capung mengepak di belakang punggungnya. Oh, tubuh ini jauh lebih ringan dari yang sebelumnya.

“Sekarang kamu sama sepertiku, kita peri yang terbang bebas tanpa logika. Ayo!”

Peri Ino menarik tangannya, melayang menembus kegelapan malam, menuju hari kemarin yang bahagia.


untuk mbak fata, sebagai janji hari kemarin
maaf, sebenarnya ini cerita lama yang sedikit dirubah, maap pula tidak bisa membuatkan yang baru dikarenakan *&%^&^%
Kemarilah, menjadi seorang penulis yang bisa melewatkan logika.
marilah berimajinasi ^ ^

Selasa, 27 Januari 2009

14.58.00

Cerita Telur (repost)

Di sebuah peternakan ayam, ruang incubator sedang sibuk-sibuknya. Sekali lagi, ini adalah musim dingin, jadi ayam-ayam akan merasa sangat kerepotan mengerami telor-telornya. Selain itu,para ayam menganggap bahwa lebih baik mereka tidak mengerami anak. Toh sudah ada yang menanganinya.

Dua ekor ayam betina berusia tiga minggu berjalan beriringan. Mereka memakai setelan putih pudar yang mengingatkanku pada seragam suster ngesot, topi perawat bertengger diatas bulu-bulu mereka dan mereka memakai rok dengan model berbeda. Salah satu memakai rok span pendek yang seharusnya, satunya lagi memakai rok model pencil yang panjang dengan belahan di kiri kanannya. Bisa dibayangkan berapa meter kain yang mereka habiskan untuk menutupi pantat mereka yang menonjol ke belakang. Tapi sudahlah! Toh mereka kini melenggok-lenggok anggun.

Mereka tiba di ruangan isolasi, tempat dimana telur-telur yang lahir (terjadi sesuatu dalam perjalanan membuatnya) tidak sempurna. Ruang ini letaknya paling ujung, pintunya langsung menghadap koridor dan selalu dalam keadaan tertutup.

“Kau lihat kan telur malang yang diduduki induknya kemarin?” Tanya salah seorang ayam perawat dengan rok pensil serta jambul lebatnya, wajahnya menunjukkan rasa kasihan, “Seandainya induknya bisa melahirkannya tanpa mendudukinya, kuyakin ia akan tetap mulus sampai cangkangnya pecah.”

Temannya hanya tersenyum, “Yah, kita bangsa burung tak akan bisa melahirkan kalau tidak menduduki telur kita,” sahutnya enteng sambil mengeluarkan segenggam kunci dari saku bajunya.

“Yah, setidaknya induknya harus mendudukinya secara…” ia mengangkat bahu, sambil mengibaskan jambulnya ia menoleh ke kanan, “… pelan-pelan!”

Temannya tak menanggapi, ia sibuk membuka pintu.

Ruang isolasi adalah ruang terhangat (untuk ukuran ayam), ukurannya tak lebih dari tiga puluh centi persegi. Dua buah telur besar lonjong di balik dinding kaca langsung terpampang begitu pintu menjeblab. Kedua perawat ayam memeriksa banyak hal, mengatur suhu, memutar lampu, membersihkan ceceran debu sampai mematuki semut-semut yang menjilati ceceran protein telur di lantai.

Sekitar setengah jam kemudian, setelah memastikan semua baik-baik saja merekapun akhirnya kembali menutup pintu dan pergi dengan gema suara sepatunya menggaung di koridor.

Ruang isolasi kembali gelap gulita. Sesaat setelah pintu tertutup, setelah suara sepatu si perawat menghilang, sebuah ringkikan pelan terdengar.

“Hiii… perawat yang sama kukira, Dez!”

Telur itu ternyata bisa berbicara. Mereka berdua terkikik keras, baru ketika suara keretakan terdengar, sebutir dari telor itu berseru.

“Sudah Dez! Jangan tertawa lagi, nanti retakan cangkakmu tambah keras!”

Helaan napas terdengar dari telur di sisi kanan, mereka ditempatkan di sebuah incubator yang beralaskan kain lembut dan empuk. Telur yang kanan, seperti disampaikan perawat ayam yang ganjen, cangkng bagian atasnya pecah dan penyok. Karena itu ia tak boleh bergerak ataupun bersuara terlalu keras kalau masih mau berhasil menetas.

“Yah, kurasa perawat ganjen itu benar. Indukku tak seharusnya mendudukiku saat aku lahir. Kalau tidak… mungkin aku akan lahir sempurna dan bisa bebas tertawa sepertimu, Zill” kata telur itu dengan nada iri.

Zill, telur di sebelah kiri mengeluarkan dengungan pilu, “Oh Dez, jangan begitu! Kalau aku sempurna, aku tak akan bisa berada disini. Kau lihat kan! Cangkangku cokelat pucat, tak berbintik cantik seperti saudaraku. Beratku kurang karena cairan putihku kurang. Setiap hari aku juga diberi infuse, kalau tidak aku tak akan bisa menetas sempurna, sepertimu.”

Mereka berdua terdiam sesaat, saling meratapi kemalangan masing-masing. Namun setelah beberapa waktu, mereka sadar bahwa kemalangan ini akan semakin menjadi malang kalau diratapi.

“Semuanya ada hikmahnya, kurasa!” sahut Zill.

Dez setuju, “Iya! Kalau tidak sama-sama malang, belum tentu kita bertemu dan bersama-sama seperti ini.”

“Aku ingin tetap bersama saat kita menetas nanti,” pinta Zill.

Dez ragu-ragu, “Kalau aku lahir tak sempurna, apa kau masih mau menerimaku?”

Tarikan napas Zill terdengar panjang, “Aku akan menerimamu apa adanya, sebab kurasa aku akan lebih nyaman bersama-samamu daripada perawat-perawat centil itu.”

Keduanya lalu tertawa senang. Setelah sepakat tentang hal itu, merekapun melalui hari-hari dengan saling menghibur satu sama lain. Saat Zill menjalani infuse atau tranfusi putih telur, Dez siang malam berdoa. Ketika Dez mengalami rahabilitasi cangkangnya untuk menghindari infeksi, Zill dengan setia menemaninya. Mereka menjadi pasangan yang saling mengisi bahkan ketika belum menjejak bumi sama sekali, dan mensyukuri keberadaan satu sama lain di sisinya.

Waktunya menetas akhirnya tiba. Berdua mereka gugup menunggu hari itu. Mereka sudah tak sabar untuk berangkulan, maklum, selagi didalam telur mereka tentu saja tak dapat melakukannya.

Sang ayam perawat semakin sering menengok mereka, kadang bergiliran dengan ayam dokter dengan stetoskopnya yang mengerikan tergantung di leher. Kedua telur terus saja saling mendukung, dan hati mereka semakin dekat satu sama lain.

Hari H akhirnya tiba, di pagi-pagi buta, ketika matahari belum terbit dan ayah-ayah mereka yang banyak di luar sana berkokok sombong, keretakkan terdengar dari cangkak Dez. Cangkangnya pecah, terbelah menjadi dua. Seekor anak ayam tampan, berbulu kuning gading halus, berparuh kuning muda, berkaki cokelat muda berdiri di tengah-tengah belahan cangkak.

“Dez….” Zill berseru di sampingnya, “Kau tampan sekali! Tak pernah aku melihat anak ayam setampan engkau!”

Dez, dengan malu-malu mengibaskan bulu-bulu jarumnya. Ia meliuk pelan, tubuh mungilnya lahir sempurna. Ia berjalan, sambil memekik kegirangan ia melompat-lompat riang. Tubuh yang sempurna, kebebasan yang sempurna.

“Kau senang Dez?” Tanya Zill dengan manja.

Dez, dengan langkah gagahnya mendekati Zill yang belum menetas.

“Aku senang sekali, sayangku!” ujarnya, suaranya terdengar lebih merdu daripada sewaktu di dalam telur, “Dan aku yakin kau juga akan cantik,” lanjutnya sambil menggosokkan kepala ke cangkak Zill.

Tepat saat itu terdengar derap sepatu snag perawat dari koridor dan diikuti suara kunci diputar. Pintu kemudian terbuka, cahaya matahari pagi menyorot langsung ke dalam incubator. Dua ekor ayam perawat langsung tercengang melihat makhluk mungil di dalamnya, mereka langsung memekik kegirangan dan berlari mendekat.

“Oh Na, lihatlah dia! Dia tampan sekali.” Seru perawat berjambul lebat sambil menempelkan paruhnya ke dinding incubator.

Ayam perawat yang dipanggil sedang sibuk memencet sebuah kepala ayam yang menempel di dinding tak jauh dair incubator. Itu adalah bel pemanggil, dan tak lama dokter ayam menerjang masuk dengan wajah masih berbau ranjang.

“Apa yang terjadi?” teriaknya, tapi ia langsung terpana melihat Dez yang tengah menggosokkan paruhnya ke kulit Zill. “Oh, dia sudah lahir, dia sudah menetas. Na, Ketie, cepat keluarkan dia!”

Zill yang masih didalam telur panic, ia tak rela menetas tanpa ditemani Dez. Dez pun demikian, ia tak mau dibawa pergi kalau tidak bersama Zill. Karena itu, ketika perawat Ketie memasukan paruhnya untuk membimbing Dez keluar, Dez bersembunyi di balik telur Zill.

“Ayolah ayam tampan! Kemari, kita lihat dunia luar. Kita lihat matahari bersama tante Ketie!” pinta Ketie.

Tapi Dez tidak mau, ia tetap bersembunyi.

“Kelihatannya dia tidak mau,” tebak Na, otaknya yang sebesar apel berpikir keras, “Kurasa ia mau menunggu temannya.”

Dokter ayam menunduk, matanya menatap nyalang Zill dan Dez bergantian.

Sesuatu terjadi saat itu juga. Keretakkan tiba-tiba terdengar dari cangkang Zill. Dez mundur dua langkah sambil menunggu penuh minat. Perawat dan dokter memandang Zill dengan jantung berdebar-debar. Seperti apakah anak ayam yang ada didalam cangkak itu, apakah cantik jelita seperti perawat ketie?

Ujung telur terbelah, retakannya memanjang ke samping dan akhirnya bertemu lagi di bawah telur. Cangkang kini berbaring ke samping, seekor anak ayam mungil, berbulu abu-abu pucat dan proporsi tubuh aneh beringkik diantaranya. Kakinya terlalu panjang sebelah, bulu di kepalanya jarang, membuatnya terlihat botak.

Zill meringkik, memandang Dez penuh harap. Ia tersenyum bahagia melihat kekasihnya secara langsung, ia senang karena kini mereka bisa berpelukan secara langsung. Ia memekik memanggil Dez, berjalan tertatih-tatih mendekati Dez yang diam terbelalak.
“Jangan mendekat!” teriak Dez.

Zill kaget, “Kenapa? Bukannya kau senang?”

Dez menggeleng, Perawat Na, Ketie dan dokter hanya diam mengamati mereka. Serasa menonton sandiwara ayam di stasiun teve Keker. Adegan yang mengharukan, semoga.
Zill terus mendekat, tapi Dez melihatnya dengan wajah ketakutan. Dez kabur, berlari ke arah pintu incubator, menerjang keluar dan membuat perawat Ketie terjungkal jatuh.

“Aku tak mau!” teriak Dez, “Aku tak mau padamu, kau botak, kelabu dan cacat!”
Perawat Na dan dokter ayam berlari mengejar Dez yang kabur seperti orang gila. Tinggal perawat ketie yang terkapar di lantai, ia tak bisa bangun, susah berdiri karena terhalang oleh rok bentuk pensilnya.

“Tolong…!” lolongnya pilu, “Aku janji aku tak akan memakai rok pensil lagi saat kerja, seseorang tolong akuu….”

Tak ada yang berderap datang dari arah koridor, tak ada yang datang membantu perawat Ketie. Hanya sesenggukan pilu yang terdengar dari arah incubator. Zill, terduduk sendirian, menangis, pilu, sedih, hancur, luluh dan juga… menyesal.

ini cerita adaftasi untuk sebuah kisah milik seorang teman, bernama cecil ^ ^

Jumat, 23 Januari 2009

16.24.00

The Lover After Me

Bayangkan saat kamu berada di atas sebuah tebing, memandangi kaki langit yang bersatu dengan lautan. Cerah jingganya menerpa mata, menarik kedua tangan untuk terangkat.
Debur ombaknya bergemuruh, bersamaan dengan kepak sayap burung-burung senja.
Namun hatimu tidak disana, dibawa angin pada sebuah kenangan masa lalu yang indah, yang mungkin pernah ada di tempat itu.

Sebuah lagu tentang masa lalu, saat sesuatu yang pernah dekat tiba-tiba menjauh dan hilang. Dan mirisnya, semua hal yang kita temui menyebut tentang dia, selalu, kemana pun kita pergi.


Hanya untuk merayakan bertemunya lagu ini, terimakasih untuk seorang teman yang bersedia mencarikannya.

Lagunya ada disini, coba dengarkan dan resapi, dan apakah.... terasa?


"The Lover After Me"

Here I go again I promised myself
I wouldn't think of you today
It's been seven months and counting
You've moved on
I still feel exactly the same
It's just that everywhere I go
all the buildings know your name
Like photographs and memories of love
Steel and granite reminders
The city calls your name and I can't move on

Ever since you've been gone
The lights go out the same
The only difference is
You call another name
To your love
To your lover now
To your love
The lover after me

Am I all alone in the universe?
There's no love on these streets
I have given mine away to a world that didn't want it anyway
So this is my new freedom
It's funny
I don't remember being chained
But nothing seems to make sense anymore
Without you I'm always twenty minutes late

Ever since you've been gone
The lights go out the same
The only difference is
You call another name
To your love
To your lover now
To your love
The lover after me

And time goes by so slowly
The nights are cold and lonely
I shouldn't be holding on
But I'm still holding on for you

Here I go again
I promised myself I wouldn't think of you today
But I'm standing at your doorway
I'm calling out your name because I can't move on

Ever since you've been gone
The lights go out the same
The only difference is
You call another name
To your love
To your lover now
To your love
The lover after me


Lirik from http://www.azlyrics.com/lyrics/savagegarden/theloverafterme.html

Rabu, 21 Januari 2009

09.55.00

Peri Stroberi

Memi duduk termenung di dekat jendela. Pandangannya mengarah ke halaman luar, pada sebuah pot yang diletakan di teras. Pot itu berisi rumpun tumbuhan stoberi, Memi dan Mamanya membelinya waktu ke pasar minggu lalu. Sudah ada bakal buah kecil saat pot itu pertama kali dibawa pulang, dan sekarang setelah beberapa waktu berlalu bakal buah itu sudah membesar dan Memi menunggunya matang.

Mama muncul di belakangnya, lalu membelai kepala Memi. "Ada apa Memi, Sayang? Kenapa kamu bengong?"

Memi menoleh sesaat. "Mama, bagaimana cara stroberi itu matang, Ma? Dari kemarin Memi lihat, warnanya tetap hijau, tidak mau merah seperti yang Memi sering makan."

Mamanya tersenyum, lalu duduk di sebelah Memi. "Hmm... Memi mau Mama ceritain cerita, nggak? Cerita tentang Peri Stroberi?"

Gadis kecil berumur lima tahun itu mengangguk semangat. "Bagaimana ceritanya, Ma?"

"Tapi Memi janji dulu, setelah ini mandi, makan, dan bantu Mama bikin ketupat, mau?"

Memi kembali mengangguk, menunggu Mamanya bercerita.

Sang Mama mulai bercerita sambil memandangi pot di teras. "Stroberi itu matangnya pada malam hari. Konon katanya, waktu malam adalah waktu terbaik bagi Peri Stroberi untuk keluar dan mewarnai stroberi dengan cat ajaibnya."

"Peri, Mama?" tanya Memi dengan takjub.

Sang Mama mengangguk. "Seorang peri kecil yang cantik, punya sayap dan mahkota. Malam-malam, saat matahari tenggelam, mereka terbang menghampiri buah-buah stroberi itu sambil membawa kendi berisi cat ajaib serta kuas. Dengan sekali gerakan, mereka melumuri buah yang hijau itu dengan cat, dan dalam semalam, maka buah-buah itu akan menjadi lunak dan manis."

Memi masih memandang Mamanya dengan takjub, mulutnya terbuka membentuk hurup O panjang. "Jadi begitu, ya, Ma?"

Mama mengangguk. "Iya, dan sekarang karena sudah sore, Memi mandi dulu! Oke?"

Memi mengangguk, lalu turun dari kursi dan lari ke kamar mandi. Malamnya, setelah Mamanya meninggalkannya di kamar untuk tidur, ia berpikir kembali soal Peri Stroberi yang diceritakan Mamanya. Ia penasaran, lalu diam-diam tanpa sepengetahuan Mamanya kemudian keluar kamar. Ia berjingkat-jingkat di ruang tengah, menuju ke teras untuk mengambil pot stroberi dan membawanya ke kamar.

Pot itu diletakan di meja sebelah tempat tidur. Menurut cerita Mama, peri itu muncul saat gelap, karena itu ia juga mematikan lampu kamarnya. Memi mengambil kursi dan meletakannya di depan meja, sambil memeluk bonekanya, ia duduk disana dan memandangi pot itu.

Selama beberapa lama, matanya bisa terjaga. Ia memandangi buah stroberi itu tanpa kedip. Sesekali mulut mungilnya membisikan sesuatu, datanglah Peri Stroberi, datanglah! Namun tidak ada yang datang, dan buah stroberi itu tetap saja hijau.

Saat jam berdentang sepuluh kali, kantuk mulai menyerang Memi. Perlahan matanya tertutup, kepalanya terangguk-angguk sampai akhirnya ia tertelungkup di meja di samping pot. Ia tertidur.

Hiii....

Suara cekikikan terdengar dari arah jendela. Tirai yang tertutup tiba-tiba berkibar-kibar, padahal angin tidak bisa menembus jendela kacanya. Nampak kemudian sesosok tubuh kecil bercahaya kekuningan di luar jendela, melayang-layang dengan sepasang sayap tipis. Sosok itu membawa sesuatu di tangannya, sebuah kendi cokelat berlumuran sesuatu berwarna merah, dan tongkat dengan ujung hitam lunak di tangan kanan. Sesaat sosok itu melayang-layang, dan kemudian menembus kaca begitu saja untuk memasuki ruangan.

Kini ia terbang di kepala Memi, memutarinya selama beberapa kali. Lalu ia hinggap di meja dekat telinga kanan Memi, dan mulai membisikan sesuatu.

"Memi, bangunlah!"

Perlahan, Memi terbangun. Matanya mengerjap karena silau oleh cahaya yang melingkupi sosok itu. Namun saat bisa melihat jelas, ia berseru takjub. "Wow, Peri Stroberi! Aku sudah menunggumu lama. Akhirnya kamu datang juga!"

Peri itu, bersosok wanita dengan wajah kecilnya yang damai, tersenyum. "Stroberimu akan dimatangkan mulai malam ini, Memi. Apakah kamu mau melihat bagaimana aku membuatnya merah dan manis?"

Memi duduk tegak, dan mengangguk. "Aku mau, aku mau, aku mau!"

Peri itu kembali terbang sejajar matanya. "Baiklah, tapi kamu harus berjanji tidak menceritakan hal ini pada siapapun. Mau?"

Memi teringat Mamanya sejenak, namun sebelum ia berkata sesuatu, sang peri terlebih sudah menyahut.

"Kecuali Mamamu, setuju?"

Memi mengangguk. Kemudian mulailah sang peri melakukan tugasnya. Ia terbang mendekati bakal buah terbesar dan melayang-layang selama beberapa saat di dekatnya. Tangan kanannya mulai memutar-mutar tongkat yang ternyata ujungnya berisi kuas itu ke buah yang selama beberapa saat terangkat. Ada sinar keemasan yang muncul dari kuas lalu melingkari buah itu, berputar seperti cincin. Saat warna keemasan berubah jadi kuning, Peri Stroberi menarik kuasnya, lalu mencelupkan ke kendi. Kuasnya berubah jadi merah, dan sekali olesan, stroberi di depan mereka beurbah warna, menjadi merah muda.

Memi mendekatkan wajahnya ke arah Peri Stroberi, sehingga secara tidak sengaja ujung kuas sang peri menyentuh ujung hidung Memi saat ia menarik tangan. Memi mengikik geli.

"Apa sudah selesai?" tanya Memi.

Sang peri mengangguk.

"Tapi kenapa merahnya belum ranum?" tanya Memi melihat merah buah itu masih tidak semerah yang sering ia makan.

"Karena matangnya butuh waktu, dan besok akan ada peri lain yang akan menyempurnakannya."

Memi mengangguk paham.

"Nah, Memi. Sekarang sudah selesai untuk malam ini, kamu kembali tidur, ya!" kata sang peri, lalu mengayunkan kuasnya. Cahaya merah lembut melesat dari ujungnya, lalu mendarat tepat di kening Memi. Memi pun kembali tertelungkup, tidur.
*****

"Memi, bangun, Sayang!"

Memi membuka mata dan langsung teringat dengan kejadian semalam. "Aku melihatnya, aku melihatnya, aku melihatnya, Mama!"

Mamanya bingung. "Melihat apa, Sayang?"

"Peri Stroberi, semalam aku bertemu dengannya, Mama!"

Mamanya hanya tersenyum, lalu mengambil boneka Memi yang tergeletak di lantai. "Kamu bertemu dengannya di dalam mimpi, Sayang. dan..." Mamanya melihat pot stroberi di meja, "Wow, Sayang! Buahnya hampir matang!"

Memi memandang takjub buah itu. Iya, warnanya merah muda, sama seperti warna yang dilihatnya semalam.

"Tapi, Mama, aku melihatnya semalam. Aku melihat peri itu!" kata Memi berusaha meyakinkan.

Mamanya berjongkok disampingnya. "Mama percaya. Kamu tahu kenapa? Karena Mama pernah mengalaminya dulu, dulu sekali waktu seumuran kamu, Sayang!"

"Karena itu Mama tahu?"

Mamanya mengangguk. "Tapi, tapi itu hanya mimpi, Sayang!"

Memi mengerang sedih. Mamanya mengalaminya juga, tapi Mama yakin itu mimpi. Memi jadi sedih, ia kira ia benar-benar bertemu peri itu. Ia memandangi pot stroberi, memperhatikan buahnya yang merah muda.

Tiba-tiba matanya berbinar, ia ingat sesuatu. Tangannya dengan cepat mengambil cermin kecil dan memastikan bahwa tanda itu ada. Dan ternyata benar, ia gembira sekali.

"Itu benar, Mama! Lihat tanda merah di hidungku ini!" Memi menunjuk titik merah kecil di ujung hidungnya, yang teroles tak sengaja oleh kuas sang peri. "Ini dari sang peri sendiri, Ma!"

Mamanya memperhatikan titik merah itu, lalu tersenyum dan mengangguk. "Mama percaya, Sayang. Selamat, kamu menemukan peri itu, tapi... ingat pesan snag peri?"

Memi mengangguk. "Aku tidak akan menceritakan semua ini pada siapapun!"

"Janji?" Mamanya menjulurkan jari kelingkingnya.

"Janji!" jawab Memi, smabil mengaitkan jari kelingkingnya sendiir.

Jauh di sebuah negeri yang indah, seornag peri terkikik melihat dua jari yang terkait itu lewat cermin ajaibnya.
******

Untuk Memi, Tetaplah semangat! ganbate

Jumat, 16 Januari 2009

15.46.00

Bantal Saya Hilang, Pak

Ibu Sari melangkah cepat menuju kantor polisi. Wajahnya merah padam, keringat mengucur seiring dengan langkahnya yang cepat. Ia panik, sangat khawatir, nampak dari caranya memegang dompet.

Setibanya di kantor polisi, ia langsung menggebrak meja. "Pak, saya mau melaporkan kehilangan!" kata Bu Sari cepat.

Pak polisi siap dengan pulpennya, lalu membuka buku. "Apa yang hilang, Bu?"

Bu Sari menelan ludah. "Bantal saya,"

Pak polisi melotot, "Bantal?"

"Iya, Bantal saya. Baru saya pulang, rumah saya sudah dalam keadaan terbuka. Ketika saya tengok ke kamar, ternyata bantal guling saya hilang."

Pak polisi berpikir sejenak. "Ada barang lain yang hilang?"

"Ada, teve saya hilang."

"Teve? Tapi kenapa Ibu hanya melaporkan bantal ibu saja?"

Bu Sari diam sejenak. "Karena.. karena harga bantal saya lebih mahal dari teve, Pak."

Dahi pak polisi berkerut. Dalam bayangannya ada sebuah bantal emas, dengan sayap mengkilat dan melayang-layang. "Bagaimana bisa bantal Ibu lebih mahal dari Teve? "

"Karena bantal saya terbuat dari uang, Pak!"

Pak polisi masih tak mengerti. "Memang semua barang dibuatnya dari uang, Ibu! Kapasnya beli pake uang, benang pake uang, kain pake uang..."

"Bukan begitu, Pak! Itu bantal celengan saya! isinya uang semua!"

Pak polisi hanya melongo. Membayangkan, sebuah bantal dengan bahan pengisi berupa uang.

ini percobaan, merambah ke genre lain.keknya ga seru hikss

Kamis, 15 Januari 2009

08.38.00

Ubi dan Daging Sapi

Sebuah keluarga di tepian kali, sudah beberapa hari meranggas karena kekurangan makanan. Mereka miskin, teramat miskin untuk membeli beras. Jangankan beras, kadang mereka hanya makan ubi atau umbi-umbian lain yang tumbuh di sekitar. Dan sedikit beruntung karena mereka tinggal di dekat sungai, sehingga tanah yang mereka diami sedikit subur.

Dan sekarang, makanan mereka juga hanya ubi. Dan sang anak bungsu, dengan muka polosnya berujar,

"Ibu, lama-lama aku bosan makan ubi terus!"

Ayah dan Ibunya saling menatap, dengan kerling muram dan sedih.

Anak yang tertua berkata, "Jangan begitu, Dik! ini kita sudah bisa makan. Bersyukurlah!"

Ayah dan Ibunya tersenyum, terharu melihat pengertian anak sulungnya.

"Tapi aku ingin merasakan daging sapi, enakah?" lanjut anak bungsu.

Ayah dan Ibunya kembali diam. Anak sulungnya mengerti bahwa orang tuanya sedih, sementara adiknya juga terlalu polos dan ia yakin bahwa adiknya tidak bermaksud untuk menambah kesedihan orang tuanya. Hanya celoteh anak-anak istilahnya.

"Adik ingin tahu rasa daging sapi?" goda sang kakak. Saat adiknya mengangguk, ia melanjutkan. "Rasanya sama dengan rasa ubi yang kamu makan saat kamu benar-benar lapar. Apa kamu bisa membayangkan?"

Adiknya diam, membayangkan. Sesaat kemudian wajahnya menjadi cerah. "Tahu, Kak. Aku tahu, dulu kan pernah kita dua hari tidak makan karena musim kemarau, dan Ibu akhirnya dapat ubi dari Pak Lurah. Dan saat dimasak, rasanya itu enakkkkkk sekali! Apa begitu rasa daging sapi itu?"

Kakaknya mengangguk. "Begitulah rasanya. Enaknya sama, tidak berbeda sama sekali," ujarnya puas. "Nah, kalau kamu sudah tahu rasanya, apa kamu masih ingin makan daging sapi?"

Sang adik menggeleng. "Tidak, kak! Kalau rasanya sama dengan ubi, kenapa kita harus beli daging sapi yang harganya jauh lebih mahal, iya, kan, Bu?!"

Sang Ayah dan Ibu hanya bisa mengangguk, sedih, takjub, bangga, haru, dan juga lega.


NB dari penulis
awalnya idenya ga begini ding, tapi kok begini ya jadinya, kekekeke

Selasa, 13 Januari 2009

13.51.00

Payung Itu Sudah Ada Yang Punya, Ternyata


Sebuah payung dipajang di satu etalase kaca. Bentuknya indah, dengan warna manis semanis senyuman. Daunnya terbuka lebar, ramah, seakan mengundang semua orang untuk bernaung di bawahnya. Tangkainya panjang dan ramping, seperti tongkat indah sang peri. Motifnya juga unik, kain penutupnya seperti bahan rajut dengan lubang-lubang kecil, sangat orisinil dan khas, tidak ada payung lain yang seperti dia. Sistem untuk menutupnya pun canggih, menunjukan bahwa payung itu begitu mutakhir, hebat (untuk seukurannya) dan juga pintar. Semuanya, semuanya seperti dia.

Saya menyukai payung itu.
Sejak lama malah, sekitar hampir setahun, dan sayangnya baru tersadar sejak beberapa bulan yang lalu tentang itu.

Saya menyukainya, dan seperti kebanyakan orang, saya ingin memilikinya. Namun saya tahu bahwa memilikinya mengandung banyak resiko, membutuhkan banyak kesabaran.

Seandainya saya memilikinya, maka saya harus siap saat untuk merasa kedinginan suatu waktu karena kainnya yang bermotif rajut, seolah dia tidak melindungi saya walaupun caranya sebenarnya berbeda. Atau, saya harus menyediakan pikiran ekstra untuk menyaingi kehebatan sistemnya, tidak seru kan kalau payungnya hebat namun saya bodoh? Dan yang paling utama, saya harus merawatnya sedemikian rupa agar bahannya yang lembut itu tidak robek, hingga meninggalkan saya selamanya.

Tapi itu baru seandainya, karena nyatanya saya tidak bisa memilikinya.
Pernah saya mencoba untuk itu, dengan perjuangan besar kala itu, dengan resiko bahwa pengorbanan yang saya lakukan pastilah berat.
Kala itu,saya menawarkan rumah saya untuk menjadi tempatnya dipajang, namun ternyata dia masih terlalu istimewa untuk menempati ruangan saya, dan ia hanya meninggalkan selembar brosur rekamannya, yang siap saya lihat setiap hari.

Bagaimana rasanya melihatnya hanya lewat brosur?
Menyakitkan sekali, tapi entahlah, berbulan-bulan belakangan ini saya mengalaminya. Sedikit demi sedikit saya berusaha melupakan warnanya yang manis, atau sistem tutup-bukanya yang hebat, namun susah, karena mungkin karena dia begitu unik hingga susah digantikan dengan payung lain.

Hingga akhirnya tadi, seorang teman berkata, bahwa, payung itu ternyata sudah dimiliki orang lain, yang entah siapa, entah sejak kapan. Payung itu sudah ada yang punya, ternyata.

Dan sekarang, saya hanya bisa menangis sedih, dengan harapan bahwa kenangan akan brosur itu bisa menghilang secepat fisiknya.

Terimakasih, Payung Yang Manis.
Semoga berbahagia di rumah orang itu

About