Tampilkan postingan dengan label novel review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label novel review. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Januari 2016

11.05.00

What If by Morra Quatro - Book Review

Kata pertama untuk novel ini adalah... saya suka bagaimana Morra memulai ceritanya.

Setahu Kamila, Ada cara mengintimidasi yang hampir selalu efektif, terutama untuk membuat orang bicara, yaitu diam.

Sungguh, saya terdiam sesaat setelah membaca kalimat pertama. Kalimat-kalimat seterusnya sama, begitu membius dan membuat saya terpana.Bagaimana cara Morra menulis, itu membuat saya sayang melego buku ini. Kosakatanya kaya, jarang ada repetisi kata, pilihan diksi yang cantik dan juga kalimat-kalimat yang menunjukan kecerdasan sang penulis.



Saya sudah menyukai karya Morra yang pertama, Forgiven, yang menurut saja jenius sekali. Hanya saja untuk novel What If ini, secara plot tidak sebrilian Forgiven. Tentang perbedaan agama yang dipadukan dengan kisruh politik ala universitas yang sesungguhnya bagi saya tidak nyambung dengan konflik utama novel.

Mungkin ini soal selera saja sih, ceritanya tidak begitu memikat. Mungkin karena sudah biasa ya, jadi bagaimana pun Morra mengemasnya, tetap saja tidak menghadirkan kesan khusus. Ada beberapa konflik yang seharusnya menjadi puncak, namun ternyata jenisnya tidak begitu tajam jadi penyelesaiannya terkesan dipaksakan (ketika Kamila dan Fin menyusup untuk mencuri salinan tugas milik Jupiter).

Tetapi saya sungguh menikmati jalinan kata di novel ini, tertawa oleh dialog-dialog cerdas Jupiter dan kadang bertanya-tanya dengan maksud dari beberapa kalimat yang ternyata mengandung arti khusus.

Dan yang terutama, kovernya. Mungkin karena saya suka ungu, jadinya cantik banget. Walau saya bertanya-tanya, apa hubungannya stoples di gambar dengan konflik utama (oke, yang ini lewatkan).



Senin, 12 Januari 2015

13.44.00

Walking After You by Windry Ramadhina - Book Review

Tumben, tergerak hati untuk membeli sebuah buku. Belakangan memang selalu ingin mampir ke toko buku, namun kadang sampai sana hanya tertegun, bingung mau ngapain. Mau beli buku, shock duluan lihat harganya.

Sebenarnya sudah lama sekali ingin membeli Gelombang, hanya saja teringat kalau akan mendapat pinjaman. Maka pilihan sampai pada novel ini. Jujur, penulisnya menjanjikan. Saya pernah baca karya Windry Rahmadhina ini yang berjudul Orange, dan teknik penulisannya keren. Begitu pula excerpt yang dipostingnya di blog, semakin saya penasaran seperti apakah kisahnya An.

dan yeah, Gagasmedia memang pintar sekali membuat tag line sebuah novel sehingga membuat penasaran. Tentang seseorang yang masih terbelenggu masa lalu. Secara umum saya suka novel ini dan tidak rugi benar membelinya. Berbeda dengan novel-novel yang hanya bagus di judul, namun secara penulisan membuat bosan di tengah-tengah, novel ini membuat saya membacanya hingga akhir secara tuntas.

Oke, kelebihan yang saya kagumi dari novel ini adalah penokohannya yang benar-benar nyata. Karakter An dan Ju, ah, saya menyukainya. Banyak kejutan yang datang dari dialog-dialog mereka, yang mencerminkan kedalaman pengenalan si penulis terhadap tokoh rekaannya. Keduanya serasa hidup dan menjadi daya tarik tersendiri dari kisah ini.

Teknik penulisannya, banyak ditemukan kosakata baru dan menginspirasi. Selain itu ada pula kata ganti yang khas yang diulang-ulang. Salah satunya adalah kata ganti orang ketiga berupa 'lawan bicaranya'. Kosakata ini juga banyak digunakan di excerpt novel penulis yang lain (ketahuan selama ini cuman mengintai blognya, enggak mampu beli bukunya hahahhaha). Mungkin karena belum terbiasa ya, jadi agak mengganjal saat bacanya.

Dari Novel ini saya belajar satu hal, tidak harus membuat konflik yang pelik untuk sebuah keindahan, cukup menghadirkan suasana yang benar-benar nyata. Saya yakin, jika toko kue Afternoon Tea itu benar-benar ada di Bintaro, maka sekarang akan jadi ramai. Publisitas gratis dari novel ini mampu menghadirkan rasa penasaran tersendiri.

Teknik penuturannya yang mengeluarkan misteri sedikit demi sedikit tentang Arlet, membuat pembaca ketagihan. Walau konfliknya sederhana, keseharian banget, namun penyampaiannya tepat mampu membuat pembaca ingin terus baca dan baca.

Tetapi yang membuat saya agak terganggu adalah tokoh si Gadis Pembawa Hujan yang hmm.. terlalu imajinatif banget. Kok kesannya dipaksakan ada agar mampu menyelesaikan konflik batinnya An. Walau konsep yang diusung 'hujan lokal yang sendu' benar-benar mampu jadi magnet bagi buku ini.

Ah, hanya itu yang bisa diulas. Maklum, ilmu reviewnya masih cetek. Baru hanya bisa menyentuh permukaannya saja.

Secara umum, buku ini saya katakan Bagus.





Kamis, 28 Agustus 2014

09.27.00

Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya (Review)

Okay, ini kelanjutan dari postingan tentang novel yang sama terdahulu. Singkat kata, dengan perjuangan yang pendek, saya mendapatkan buku ini. Caranya? Minta sama penulisnya (modal gratisan doang hahahha).


Secara garis besar, konsep dari novel ini yang membuatnya unik. Berlembar-lembar surat untuk seseorang yang mempunyai hubungan masa lalu dengan si penulis surat, jelas sekali si penulis ingin memberikan kejutan seolah-olah kitalah yang menerima surat itu, kita yang berperan sebagai Tuan Alien, sosok yang hingga akhir terus membuat saya penasaran. sepertinya konsep inilah yang mungkin membuat para dewan juri lomba meloloskannya sebagai salah satu pemenang unggulan sayembara ini.

Lalu menilik lebih ke dalam,  sudah lama memang saya menyukai gaya si micel bercerita. Bagaimana dia menyusun kata, menempatkannya dalam kalimat dan terus mengembangkannya menjadi paragraf demi paragraf yang rapi dan indah. Walaupun ciri khasnya yang dulu tetap ada, membuat kalimat yang benar-benar padat dan sesekali membuat bosan (wuahemmmm).

Mengenai isi cerita, sebenarnya saya agak kecewa ya. karena pada dasarnya seorang pembaca merindukan adegan-adegan penuh kejutan dan mengundang tangis atau tawa. Kesan saya selama membaca halaman demi halaman terasa datar.  Terlalu banyak cerita mengenai si penulis surat, mengenai latar belakangnya, kegiatan-kegiatannya yang menjemukan, hubungannya dengan orang-orang di sekitar dan bahkan ada cerita mengenai pekerjaannya yang meliput kejadian tahun 1998. Ah, saya melewatinya karena tujuan utama saya adalah untuk mengetahui bagaimana kelanjutan cerita antara si penulis surat dengan Tuan alien. tetapi ini juga enggak ada sampai akhir (kecele deh)

Tetapi ada yang membuat saya geli. Saya seakan-akan membaca kisah hidup si penulis sendiri, yang banyak sekali menitipkan carikan-carikan memorinya pada tokoh utama novelnya. Tentang latar belakang keluarga namun sudah banyak dimanipulasi, tentang hubungan si tokoh utama dengan Tuan alien (Hey, saya ingat sesuatu tentang 'saudara sepupu' mu!), lalu masa kecilnya, dan juga pemikiran-pemikiran yang imajinatif dan penuh rekayasa. Rupanya posisi saya ketika ombak menyentuh kakimu di pantai Sanur tergantikan oleh sosok gadis berliontin naga itu. Suer, saya ngakak baca bagian ini, bagaimana kamu memasukan mentah-mentah ide konyolmu itu ke dalam novel, mungkin hendak membuat semacam paradigma baru yang bisa dicontek oleh orang-orang dengan kasus yang sama.

Namun terlepas dari beberapa point dalam novel ini saya membuat saya kecewa (termasuk endingnya), menyukai novel ini harus dari sisi sastranya. Penulisannya yang apik dan rapi, benar-benar rapi. Tentu saja, tidak mungkin redaktur koran nasional menerima tulisan yang tidak tertata dan amburadul. Idenya juga sederhana, saya rasa dia mengambil riset dari orang terdekatnya yang pergi dengan cara yang sama. Tentang seseorang dengan penyakit kanker, yang pada akhir hidupnya lebih cenderung memiliki menderita oleh penyakit mental dibandingkan menderita karena penyakitnya sendiri.

Saya tidak mau memberikan skala bintang deh untuk novel ini karena itu tidak bisa mewakili. Saya beri kecupan yang tidak sampai saja deh sebagai ganti pelukan yang hilang oleh jarak. Selamat berkarya buat Micel.




Senin, 13 Mei 2013

14.14.00

Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya (Novel)

Judulnya panjang benar! Memang saya rasa, judul diatas tidak SEO minded banget, tidak bisa dibubuhi apa-apa lagi karena karakternya sudah kepanjangan. Namun jangan salah sangka, yang punya judul berkelit bahwa Optimization itu justru berawal dari cover dan isi, bukan dari judul!

Yap, ini adalah salah satu judul. Mungkin yang ikut sayembara mengarang Novel Dewan Kesenian Jakarta tahu ini adalah salah satu judul naskah yang lolos 20 besar (di urutan 1 pula). Saya sendiri sih sudah lama tidak mengikuti berita ajang menulis novel bergengsi tersebut, jadi hingga tadi pagi, saya tidak menyangka apa-apa.

Adalah sekitar pertengahan bulan lalu, adik angkat saya yang sudah lama hilang rimbanya di Jogja tiba-tiba SMS, menyatakan bahwa sebentar lagi novelnya akan terbit di Gramedia. Saya sendiri sih sebenarnya tidak kaget, sejak tahun 2009 saya sudah membaca cerpen-cerpen nya yang 'hanya' dirilis di komunitas menulis, atau kerangka-kerangka novelnya yang setengah jadi. Analisis saya, saya suka gayanya dan merasa memang tulisannya tidak murahan walau kadang agak aneh.

Saya penasaran, cerita yang macam mana sih yang diterima Gramedia? Hingga akhirnya saya melihat cover buku yang dia rilis tadi pagi, dan inilah dia.




Congrats buat si Dewi Kharisma Michellia aka si Panah Hujan. Selain menerbitkan novel, yang jadi kejutan adalah ternyata dia meraih salah satu pemenang unggulan (walau bukan pemenang utama) sebuah sayembara bergengsi yang sering ia ceritakan pada tahun 2009 lalu di pantai Sanur dan di kost. Saya pernah merasa mengingat, bahwa dia memang bercita-cita akan memenangkan sayembara ini dan... well... she did it!

Dari covernya, kesannya misterius banget. Seperti membaca cover bukunya dewi lestari yang Supernova. Judulnya yang miring dan agak eksentrik rasanya menjanjikan isi yang rasanya 'berkesan'. Semoga benar begitu (belum baca soalnya). Hehehhe..

Kamis, 25 April 2013

12.52.00

Yang Berternak Novel

Tak terasa, sudah hampir 5 tahunan lebih saya mengenal dia, dari awalnya yang sama-sama suka mimpi, sampai akhirnya sama-sama menjadi tukang ternak. Sayangnya antara saya dan dia ternaknya beda, kalau saya ternak blog yang makin lama makin ga keurus, dia men'ternak'kan sesuatu yang menghasilkan duit dan popularitas. Hahahha....

Apa sih yang lebih membanggakan dibandingkan men'ternak'kan keahlian dan aktualisasi diri? Hahaha... Membuktikan bahwa diri mampu untuk menempuh jalur yang diminati dan secara independen berhasil meraup 'kekayaan' dari sana, saya rasa tidak semua orang berani menempuh jalur itu. Namun ternyata, memang tidak sedikit juga sih yang serius untuk menekuni profesi itu.

Ah, ngomongnya ngalur ngidul. Secara singkat, saya senang tapi tidak terkejut saat kembali 'bertemu' dia di jejaring sosial dan mendengar kabar bahwa nopelnya yang kesekian mau terbit. Ah... selamat-selamat, walau saya tidak baca semua novelnya, tapi saya senang akhirnya dia eksis di dunia penulis.

Selamat buat terbitnya Love Disorder, udah nopel ke-6 aja.

Kamis, 04 Februari 2010

15.54.00

Akkadia - Review

Okeh, setelah prareview tempo hari, sesuai janji yang ditagihin, tadi malam baru sempat nulis review untuk buku ini. Bacanya sendiri lama, hampir dua mingguan. Review ini tidak diikutkan pada sayembara review yang berakhir pada 14 februari nanti, namun sebagai ungkapan terimakasih karena sudah diberikan tanda tangan gratis.

Akkadia, membaca buku ini harus dilakukan saat kepala sedang lowong dan kondisi rileks, karena novel fantasy ini lebih berat daripada buku fantasy local yang pernah aku baca. Pembukaan bab, kita akan diberikan semacam resume singkat mengenai sejarah peperangan serta latar belakang terjadinya sebuah alur cerita yang sedang terjadi saat itu, yang disisipkan penulisnya lewat dialog antara salah satu tokoh utama dengan karakter makhluk kegelapan.

Padat dan sarat info, kalau bagian ini tidak dibaca dan diingat, maka selamat berbingung-bingung ria. Menurutku pribadi, cara Villam mengawali bab pertama sangat berat, meletakan informasi latar belakang di bab awal bisa mengurangi efek misterisasi sebuah novel, dan iyah, karena informasi disajikan di awal sangat lengkap, untuk kebelakang pembaca hanya perlu mengikuti saja.

Sebagai ahli fantasy medieval atau Fantasy perang-perangan (Urgh.. aku ga suka cerita perang-perangan), villam tahu bagaimana teknik bertempur. Pertempuran satu lawan satu dihadirkan dengan detail yang lengkap, yang secara pribadi banyak aku lewatkan karena pertama aku tidak suka perang, kedua, bagiku adegan berperang baru akan menegangkan jika dihadirkan dalam bentuk film dan aku tidak terlalu suka perang-perangan. Jika membaca, otak terlalu sibuk mencerna setiap gerakan dalam pertempuran.

Berbicara mengenai alur, aku salut sama Villam. Pelajaran outline dan perencanaan kerangka tulisan, benar-benar diterapkannya dalam buku ini. Alurnya rapi, teratur dan menjadi satu kesatuan. Seakan kita menghanyutkan baju di satu sudut sungai, lalu kita pergi ke muara sungai dekat laut dan kita ketemu lagi baju itu. Apa yang dihadirkan di awal, benar-benar ada hubungannya dengan adegan yang akan muncul selanjutnya. Tidak ada adegan yang tidak bertujuan, semuanya punya peran di ending cerita. Dan walaupun tidak begitu terkejut dengan baju yang bertemu di muara sungai itu, namun kepastian bahwa baju itu sampai disana, cepat atau lambat benar-benar aku acungi jempol. Semua complicated namun terstruktur. Kira-kira kerangka tulisan ini disusun selama berapa tahun ya?

Karakter. Yah, mahap kalau menurutku bagian ini masih kurang kuat. Kebanyakan karakter-karakter tokohnya disebut secara explicit, padahal menurutku penunjukan karakter dengan cara seperti ini membuat tulisan jadi menjemukan. Tidak terlalu konsisten jadi karakternya tidak hidup dan tidak membekas di ingatan. (untuk pembangunan karakter aku masih salut sama clara). Tambahan, ada beberapa karakter yang tidak logis, seperti sosok Naia yang seorang raja sebuah Negara yang dihancurkan lalu menjadi buronan tokoh natagonis selama tiga bulan. Karakter seperti itu harusnya kuat dan kokoh, tidak mungkin membiarkan dirinya terlihat menangis dan cengeng didepan pengawal pribadinya.

Sudut pandang. Orang ketiga, namun unlimited karena penulis banyak menjelaskan tentang pikiran karakternya. Aku lebih suka POV yang limited, terbatas, walaupun penulis tahu tetapi tidak gembar gembor, biar misterius gituh. Selain itu penjabaran yang berlebihan bisa menimbulkan resiko ketidakkosistendian sebuah karakter *buset, bahasanya boo*

Tapi intinya, aku salut sama Villam karena sudah mampu menulis cerita ‘sependek’ ini, dengan beribu-ribu kali revisi dan penolakan. Ini untuk pertama kalinya aku baca buku dan kaget karena ternyata halaman yang terbaca baru seperempatnya. Penerbit benar-benar mensiasati biar buku ini muat dengan harga dibawah lima puluh ribu, padahal buku-buku fantasy semacam ini harganya relative mahal karena tebal dan panjang.

Aku sudah sebut diatas, aku tidak terlalu suka fantasy medieval, tapi aku cukup menikmati saat membaca buku ini terutama di seperempat bagian belakangnya. Semua pendapat diatas pribadi, berasal dari pemikiran kolotku yang murni seorang pembaca dengan teori penulis *halah*. Semoga penggemar Villam di FFDN tidak memberondongiku dengan sanggahan ini itu, karena aku juga ga akan bisa jawab.

And at least, aku akan sangat senang jika Hikayat Orang Utara, forgotten heroes, atau Batu Delima Terakhir juga ada versi cetaknya *spoiler* Jadi… hahaha… salamm buat ramir

Senin, 21 Desember 2009

17.49.00

Akkadia: Gerbang Sungai Tigris

Gadis itu berlutut dengan kedua tangan mencengkeram tanah. Cahaya yang jauh lebih terang dan menyilaukan daripada cahaya merah Gada Geledek keluar dari dalam tubuhnya, menembus lapisan-lapisan tebal baju putihnya yang berlumuran darah.

Kepalanya mendongak. Tak sampai sedetik kemudian sinar merah menyambar dari sepasang matanya. Ratusan prajurit yang berada pada lintasan garis lurus dari puncak bukit hingga ke ujung lembah terbelah seketika. Potongan-potongan tubuh mereka hangus dalam jilatan api. Ada kegelapan di dalam diri gadis itu. Sesuatu yang sangat jahat.


Adegan itu merupakan salah satu chapter dari sebuah buku bergenre fantasi yang baru akan terbit akhir bulan ini. Karya seorang penulis lokal, yang diantara sesamanya sudah diakui kredibilitasnya.


Penulis : R.D. Villam
Penerbit: Adhika Pustaka
Harga : ????
Genre : Fantasy



Berseting pada jaman dahulu kala, Mesopotamia, abad ke-24 Sebelum Masehi, buku ini menceritakan tentang sebuah kerajaan bersama Akkadia. Pada masa itu, beberapa negeri sekitarnya berhasil ditaklukan. Untuk menahan serangan Kerajaan Akkadia, seorang penyihir bangsa Elam dari tanah Persia menciptakan dinding ajaib di sepanjang Sungai Tigris.

Naia, putri dari Kazalla yang negerinya telah dihancurkan Akkadia, bermaksud menyeberangi sungai dan meminta perlindungan pada bangsa Elam, namun di tengah perjalanan ia diserang dan harus terpisah dari para prajuritnya. Dalam keadaan terdesak Naia terpaksa mengambil keputusan tersulit: memanggil makhluk-makhluk terkutuk dari dunia kegelapan.

Buku ini amat spesial bagi penulisnya, sebuah mimpi yang terwujud atas semangat yang bertahun-tahun masih tetap menyala, walaupun pada detik-detik terakhir katanya hampir padam *halah*. Tidak hanya untuk penulisnya, buku ini juga menjadi seperti 'yang ditunggu-tunggu' oleh para 'fans' sang penulis. Karena di dunia kami, penulis buku ini sudah seperti seorang master fantasy dan juga seorang motivator bagi sekelilingnya.

Beberapa chapter buku ini sudah tersebar sebenarnya di beberapa forum penulis, sepertinya juga ada di blog penulisnya sendiri, www.rdvillam.com (mahap tidak ngelink, maklum lagi krisis wkwkwk)

At least, congrats buat guruku MySpace semoga dengan terbitnya ini buku, bisa membuat semangatmu tetap menyala. But ingat Villam, ehem ehem ehem... MySpace traktirannya mana ????

Senin, 24 November 2008

12.18.00

Resensi Buku : Mandy, Misteri Wangi Bunga Magnolia

Judul : Mandy: Misteri wangi bunga Magnolia
Author : Kathryn Reiss
Penerbit : Kaifa
Tahun : 2005

Sebenarnya ini novel lama, yang saya dapat dari pinjaman. tetapi, ada segi khusus dalam novel ini yang membuat saya tertarik.

Kejadian berawal dari pindahnya keluarga Browne ke sebuah wilayah terpencil yang bernama Garnet, Massachusetts. Keanehan dimulai ketika Miranda menemukan sebuah rumah boneka antic yang merupakan duplikat rumah barunya. Lewat jendela-jendela kecil rumah boneka itu, ia bisa melihat kilasan peristiwa masa lalu yang terjadi di rumahnya.

Janji genre fantasy dan mistery di bagian belakangnya, ditambah hasutan dari seorang teman, membuat saya memaksakan diri untuk membaca novel ini di sela-sela kesibukan. Bab-bab awal memang sedikit membosankan karena nuansanya klise dan umum, namun ketika memasuki bagian romah boneka, cerita ini menjadi menarik.

Walaupun kurang begitu jelas mengenai penggambaran tentang proses penemuan sihir dari rumah boneka itu, namun ide yang sederhana ini patut diacungi jempol. Sama sekali tidak terpikir, bahwa kita bisa melihat sebuah adegan dari jendela rumah boneka, seperti halnya kita melihat melongok ke jendela dapur kita sendiri.
Sampai akhir cerita, memang ada kekuranglogisan dan karakter yang terlalu pintar sampai-sampai saya tidak mengerti bagaimana cara pikir si tokoh utama untuk memecahkan misteri rumah boneka itu. Ditambah sedikit pertanyaan yang muncul setelah selesai membaca.

Ketika Miranda, sang tokoh utama mengadakan sebuah penyelamatan terhadap Dorothy, salah seorang tokoh masa lalu yang pada masa sekarang, mayatnya diketemukan menjadi mumi di lantai loteng, dengan menaruh kunci loteng di lantai rumah boneka sehingga gadis kecil itu bisa keluar dari loteng sebelum terperangkap, hal itu menjadi kurang logis mengingat penulis sama sekali tidak menyertai sebuah penjelasan, bagaimana rumah boneka bisa menjadi mesin waktu untuk mentransfer kunci tersebut pada Dorothy.


Selain itu, ada hal fatal yang mungkin kurang diceritakan lebih mendalam. Jika sejarah dirubah, sudah tentu akan menimbulkan perubahan besar dalam masa kini. Dan dalam novel hanya disebutkan bahwa perubahan yang terjadi hanyalah pada ketiadaan kekuatan jahat yang mempengaruhi Ibu Miranda juga ingatan tentang mayat mumi yang diketemukan di loteng, jika Dorothy masih hidup, semestinya rumah itu tidak akan bisa jatuh ke keluarga Kremer yang mewarisinya dari ayah Dorothy, karena rumah itu pasti diwariskan pada anaknya, yaitu Dorothy. Dan jika begitu, maka keluarga Browne belum tentu bisa memiliki rumah itu.

Terlepas dari kekuranglogisan itu, namun unsur thriller membuat pembaca ketagihan. Keingintahuan Miranda dan Daniel untuk mengungkap misteri rumah boneka dan wangi bunga magnolia yang menghantui rumah. Penulis dengan pintar memberi petunjuk-petunjuk yang sekilas hanya sekedar catatan sejarah, namun ternyata setelah digabungkan dengan adegan yang dilihat Miranda di rumah boneka menjadi petunjuk vital untuk memecahkan misteri.

Penggambaran tentang kota Garnet juga menyenangkan, mengingatkan saya pada daerah-daerah pertanian di wilayah Skotlandia, dengan hutan-hutan pinus dan rumah-rumah di atas bukit.

Juga tentang catatan sejarah yang lengkap, yang menunjang kelogisan cerita secara umum. Dan akhirnya, rasanya novel ini memang benar.. bagus.





About