Selasa, 27 April 2010

Mimpi yang Sia-sia

“Seratus dua puluh halaman, folio, seribu lima ratus per lembar,”

Dia tersenyum sambil meletakan setumpuk kertas putih yang dibawanya. Aku melirik sesaat, tidak perlu memeriksa lebih jauh mengenai cetakan skripsi yang baru saja dihitungnya tadi, covernya yang aku benci terlihat mengkilat terkena sinar, tanda bahwa semua cetakan itu baru saja keluar dari mesin print.

Dia tersenyum. Kepalanya agak sedikit miring sambil memperhatikanku yang tengah duduk di balik meja tinggi, dengan kertas gambar berhamburan disekitar.

“Seratus lima puluh ribu, ditambah kertas dan biaya lelah,” senyumnya berubah mencemooh. “Lima ratus ribu, uang yang sangat sedikit bagi sarjana untuk membeli ijazah kelulusan. Aku tidak heran kalau sekarang banyak sarjana yang lulus dengan duit!”

Aku tertawa kecil. “Sayangnya itu baru saja terjadi, bukan?!” kataku sambil melirik tumpukan kertas yang ia bawa. Aku sudah menyediakan tempat untuk ‘skripsiku’, rak paling bawah di tempat penyimpanan kertas sketsaku.

Ia mendengus melihatku meletakannya disana. Ia mengenal jelas kamarku, termasuk dimana letak celana dalamku sekalian. Dan ia tahu kalau bagiku, rak paling bawah adalah tempat benda-benda yang paling tidak aku ingin sentuh.

Wajahnya masam, saat aku melirik dia sudah menyilangkan tangan di dada. “Setidaknya kamu lebih menghargaiku!” tukasnya.

“Setelah ujian aku traktir kamu!” ujarku seraya nyengir.

Ia mendelik. “Apakah sebulan riset, sebulan pacaran dengan laptop, dan sebulan nyusun itu pantas hanya dihargai dengan satu kali traktiran?”

Lagi-lagi hanya nyengir. “Kamu malaikatku, malaikat tidak seberarti satu kali traktiran. Tidak pula ratusan kali traktiran.”

“Oh, mulutmu manis sekali…..” ujarnya dengan nada dibuat manis, “Alangkah beruntungnya gadis yang kamu jadikan pacar….”

Aku tertawa. “Jangan memuji diri sendiri!”

Dia Kiray, kini tengah menggeleng sambil mencemooh. Dia duduk di kursi di depan sambil mempermainkan salah satu buku sketsaku. “Kamu tahu, jika kamu memilih desain interior atau bahkan arsitek, kurasa kamu tidak butuh pembuat skripsi. Ekonomi bukan ilmu yang susah, tetapi bagi otak pensil sepertimu melihat koordinat BEP sama saja seperti menggambar di atas air. Harusnya kamu tidak memaksa satu fakultas denganku jika itu hanya menyusahkanku!”

Aku tertawa. “Bukankah kamu yang bilang kalau seandainya kita satu sekolah terus dari SD sampai masuk peti mati yang sama, kemungkinan kita bisa memecahkan rekor dan masuk Guines World Record?”

Dia mendelik lagi, “Satu sekolah setiap hari denganmu saja sudah membuatku hampir mati, apalagi satu peti mati!”

“Tapi setidaknya namamu masuk buku rekor dunia!”

Dia mengepalkan tangannya sambil memandang sengit padaku. Ia pura-pura marah, tapi aku tahu bahwa sasaran kemarahannya bukanlah wajahku, melainkan kertas-kertas sketsaku. Aku hapal lagaknya, bertahun-tahun bersamanya membuatku semakin ahli menghindarkan buku sketsaku dari hantaman tangannya.

“Ah, sudahlah! Bertengkar denganmu tidak ada gunanya,” keluhnya kemudian. Ia duduk membelakangiku, kepalanya menengadah melihat langit-langit kamarku. “Kapan akan ada cewek kesini untuk bersihin sarang laba-laba itu, ya?” gumamnya sambil menunjuk sarang laba-laba di atas lemari.

Tidak perlu melirik untuk melihat, aku sudah terlampau sering melihatnya, ini kamarku sendiri, justru karena kamarku sendiri jadi malas membersihkannya. “Kenapa harus mencari cewek lain lagi? Kamu toh sudah ada disini, tuh sapu di luar!”

Ia menoleh dengan wajah mengerikan. Tapi pintu kamarku ada yang membuka, sekali ini dia tidak akan bisa terus mendelik padaku. Seseorang menerobos masuk dan langsung menengadahkan tangan pada Kiray.

“Mana punyaku?”

Raka, manusia bertinggi sempurna, mitraku dalam memeras otak Kiray. Jika ditanya siapa yang paling menyusahkan gadis itu, maka aku dan Raka adalah jawabannya. Kami bertiga satu fakultas, hampir satu kelas. Aku yang menemukan Raka duluan di Kegiatan mahasiswa yang aku ikuti, kemudian baru aku membawanya ke tengah aku dan Kiray. Kami bertiga sekarang bersahabat erat.

Kiray nampak mendengus berat sambil meraih ranselnya. Tumpukan kertas yang dijepit jepitan hitam keluar lagi dari tas itu dan berpindah tangan pada Raka. Tumpukan seperti punyaku. Apa perlu dijelaskan bahwa Kiraylah yang membuatkan kami berdua skripsi?

“Aku perlu istirahat!” erang Kiray dengan wajah amat tersiksa. “Kalian berdua membunuhku!”

Aku dan Raka hanya bisa tertawa tertawa garing.

“Tidur saja dulu!” saranku sambil menunjuk kasurku.

Kiray meliriknya setengah hati. “Aku akan tidur disana setelah kamu punya sudah pacar yang mau sukarela membersihkannya,” katanya sambil berdiri dan menyampirkan ransel di pundaknya. “Tapi sebelum itu, aku lebih milih tempat tidur Raka,” Kiray menoleh ke Raka yang siap mengangkat tangannya untuk dirangkul.

“Sementara aku jilid, kamu bebas tidur disana, sayangku!”

Aku tersenyum melihat mereka, tapi aku tahu hatiku teriris. Kedua makhluk paling dekat denganku itu pergi sambil bergandengan tangan.

Kiray sahabatku sejak SD, juga orang yang paling aku butuhkan untuk berbagi cinta di sisa hidupku kelak. Bertahun-tahun aku yakin dengan impianku itu, kelak pasti menjadi nyata.

Namun mimpiku sia-sia ketika dia bertemu orang lain, dan yang lebih menyakitkan, aku sendiri yang membawa orang itu kepadanya.

Apakah masih perlu dijelaskan betapa menyesal dan sakitnya hatiku?




*Cerpen pertama tahun ini, nyontek dari proposal daisakusen yang hahahha... menggemaskan!

21 komentar:

  1. judulnya provokatif, jadi pengen baca,,
    isinya terlalu berat, kagag ngertos..

    yg pasti keihklasan hati adalah kekayaan dari kebahagiaan abadi..

    teorinya begitu adanya..pelaksanaannya tesera ybs,
    :p

    BalasHapus
  2. bener pertamax hihihihh

    jadi intinya : cinta dalam hati neeh???

    BalasHapus
  3. duuhhh,,,, kasian banget... dah akhir kuliah malah diambil orang.

    paling ga, udah dibikinin skripsi kannn??

    BalasHapus
  4. keren cerpennya...
    otakku lg mogok buat cerpen hu hu...

    BalasHapus
  5. waw.. waw.. aw... terkejut, penasaran bok dari awal, ternyata oh ternyata, kasian kamu.. kiray kamu kasih ke raka, sedangkan kamu, kamu bersihin sarang laba laba itu sendiri ;))..

    persahabatan tak selalu berujung dengan cinta :) seneng baca ini hehe!!

    BalasHapus
  6. “Satu sekolah setiap hari denganmu saja sudah membuatku hampir mati, apalagi satu peti mati.oh bisa hidup lagi!”

    BalasHapus
  7. Bagusnya Ceritanya.. Ending nya yang buat saya jadi merinding membacanya..

    BalasHapus
  8. Penyesalan gak ada gunanya.
    Mungkin dia emang jodohnya.
    Kan kalo emang jodoh gak bakal lari kemana :D

    BalasHapus
  9. Kasian deh yang cintanya gak bersambut.
    Tapi gak apalah, temen sendiri yang dapet, wkakakkaka...

    BalasHapus
  10. ahhhh malam2 gag sempat baca novel zzzzzzzzzzzz ckakakak

    BalasHapus
  11. wah rindu sangat ama cerpenmu di blog ini, tuh liat banyak sarang laba2nya hehehehehe
    btw memang paiiiiiiiit jadi si "aku" ya :)

    BalasHapus
  12. hmmm...sepertinya...aku menebak mana si Kenzo...mana si Rei...mana si cowok ganteng bapak guru itu :P

    BalasHapus
  13. Nchi, ceritamu selalu begitu..
    endingnya penuh misteri..
    tapi keren

    BalasHapus
  14. huf... lumayan panjang juga cerpennya, endingnya kesian bngt, tp ya udalah mungkin Tuhan punya rencana lain dibalik itu semua. Biarkan dia memilih jalannya sendiri.

    BalasHapus
  15. sedihnya memendam hati tanpa mampu menyuarakannya.............

    ga berani ngomong seh :).......cerita yang bagus

    BalasHapus
  16. hm...hm..... ya..........ya.........!!!!!

    tentang cinta yang direbut orang lagi!?!?!?! sigh!!!! yang happy ending gitu dunk chi!!!!!

    BalasHapus
  17. Hmm, mengalir dan menarik!

    BalasHapus

About