Kata pertama untuk novel ini adalah... saya suka bagaimana Morra memulai ceritanya.
Sungguh, saya terdiam sesaat setelah membaca kalimat pertama. Kalimat-kalimat seterusnya sama, begitu membius dan membuat saya terpana.Bagaimana cara Morra menulis, itu membuat saya sayang melego buku ini. Kosakatanya kaya, jarang ada repetisi kata, pilihan diksi yang cantik dan juga kalimat-kalimat yang menunjukan kecerdasan sang penulis.
Saya sudah menyukai karya Morra yang pertama, Forgiven, yang menurut saja jenius sekali. Hanya saja untuk novel What If ini, secara plot tidak sebrilian Forgiven. Tentang perbedaan agama yang dipadukan dengan kisruh politik ala universitas yang sesungguhnya bagi saya tidak nyambung dengan konflik utama novel.
Mungkin ini soal selera saja sih, ceritanya tidak begitu memikat. Mungkin karena sudah biasa ya, jadi bagaimana pun Morra mengemasnya, tetap saja tidak menghadirkan kesan khusus. Ada beberapa konflik yang seharusnya menjadi puncak, namun ternyata jenisnya tidak begitu tajam jadi penyelesaiannya terkesan dipaksakan (ketika Kamila dan Fin menyusup untuk mencuri salinan tugas milik Jupiter).
Tetapi saya sungguh menikmati jalinan kata di novel ini, tertawa oleh dialog-dialog cerdas Jupiter dan kadang bertanya-tanya dengan maksud dari beberapa kalimat yang ternyata mengandung arti khusus.
Dan yang terutama, kovernya. Mungkin karena saya suka ungu, jadinya cantik banget. Walau saya bertanya-tanya, apa hubungannya stoples di gambar dengan konflik utama (oke, yang ini lewatkan).
Setahu Kamila, Ada cara mengintimidasi yang hampir selalu efektif, terutama untuk membuat orang bicara, yaitu diam.
Sungguh, saya terdiam sesaat setelah membaca kalimat pertama. Kalimat-kalimat seterusnya sama, begitu membius dan membuat saya terpana.Bagaimana cara Morra menulis, itu membuat saya sayang melego buku ini. Kosakatanya kaya, jarang ada repetisi kata, pilihan diksi yang cantik dan juga kalimat-kalimat yang menunjukan kecerdasan sang penulis.
Saya sudah menyukai karya Morra yang pertama, Forgiven, yang menurut saja jenius sekali. Hanya saja untuk novel What If ini, secara plot tidak sebrilian Forgiven. Tentang perbedaan agama yang dipadukan dengan kisruh politik ala universitas yang sesungguhnya bagi saya tidak nyambung dengan konflik utama novel.
Mungkin ini soal selera saja sih, ceritanya tidak begitu memikat. Mungkin karena sudah biasa ya, jadi bagaimana pun Morra mengemasnya, tetap saja tidak menghadirkan kesan khusus. Ada beberapa konflik yang seharusnya menjadi puncak, namun ternyata jenisnya tidak begitu tajam jadi penyelesaiannya terkesan dipaksakan (ketika Kamila dan Fin menyusup untuk mencuri salinan tugas milik Jupiter).
Tetapi saya sungguh menikmati jalinan kata di novel ini, tertawa oleh dialog-dialog cerdas Jupiter dan kadang bertanya-tanya dengan maksud dari beberapa kalimat yang ternyata mengandung arti khusus.
Dan yang terutama, kovernya. Mungkin karena saya suka ungu, jadinya cantik banget. Walau saya bertanya-tanya, apa hubungannya stoples di gambar dengan konflik utama (oke, yang ini lewatkan).