Tinggal di Bali, Bagaimana?
Bagi beberapa orang, tinggal di Bali tentu terasa menyenangkan. Liburan tiap hari, lihat pemandangan bagus, jalan-jalan, bisa ke pantai gratis, lihat sawah, makan-makanan enak dan banyak lagi. But, tunggu dulu. Bagi kalian yang membayangkan bahwa Bali seperti layaknya surga, baiknya mikir-mikir deh. Memang Bali punya banyak sekali kelebihan, pemandangan bagus, budaya yang unik, tempat-tempat wisata menarik dan juga tempat hiburan yang melimpah, namun dibalik itu semua ada sebuah harga yang harus dibayar.
Pemandangan bagus tentu bisa dilihat secara gratis. Begitu juga budaya unik dan tempat wisata menariknya, namun jangan pikir semuanya seratus persen gratis ya. Bali adalah pulau yang sangat mahal untuk dinikmati, tidak hanya dari segi uang namun juga waktu.
Saya seumur hidup tinggal di Bali, menjalani cepatnya harga-harga melambung naik berkat pariwisata. Sementara pendapatan naiknya tidak sebanding. Nah, tentu tahu kan bagaimana jadinya?
Selain mengingat tingginya biaya hidup, Bali juga dikenal dengan macetnya. Tidak hanya di ibu kota provinsi, namun sudah menjalar ke daerah-daerah terutama di kawasan pariwisata pedesaan. Bukan daerah wisatanya yang seringkali membuat macet, namun deretan rumah makan atau restoran serta toko-toko wisata yang ada di sekitarnya. Tentu ga enak dong, macet-macetan sambil lihat orang makan sementara perut kita lapar?
Selain itu, yang tidak enaknya di Bali adalah ramai dan sumpeknya. Polusi bukan hal yang susah ditemui, terutama di wilayah Bali selatan. Memang desa-desa wisata tertentu menawarkan udara segar dan bebas polusi, namun untuk tinggal disana memangnya tidak butuh duit? Harga penginapannya saja semalam sudah ratusan ribu, kalau tidak punya uang lebih, tentu udara segar hanya bisa dinikmati maksimal 24 jam.
Ramai, sudah pasti! Ini ada hubungannya dengan macet dan polusi. Kepadatan penduduk bertambah karena banyak orang tergiur dengan Bali yang indah dan konon katanya banyak duit. Saya merasa sangat pusing ketika melewati daerah Monang-Maning. Sumpeknya. Rumah-rumah berderet tanpa jeda, jalanan kecil namun ramai dilewati kendaraan, bengkel motor berserakan di tepi jalan sambil menyumbangkan deru kendaraan yang sedang diservis. Belum lagi dagang-dagang DVD di tepi jalan saat malam yang memasang music keras-keras. Pokoknya, hmmm.. enggak banget.
Nah, bagi yang mau tinggal di Bali, coba deh dipikir lagi. bisa pakai test drive beberapa minggu (kek motor aja). Untung kalau daerah yang dipilih Denpasar ke timur, masih sedikit lebih ‘sepi’.
Kalau saya sendiri sih, karena udah ga bisa kemana-mana sih. Jadinya, walau Bali kian tahun kian suram, tetap memilih tinggal disini. Kalau urusan rasa cinta, ya, karena tidak pernah ada pembanding, ya Bali tetap nomer satu. Bali is my home.
Pemandangan bagus tentu bisa dilihat secara gratis. Begitu juga budaya unik dan tempat wisata menariknya, namun jangan pikir semuanya seratus persen gratis ya. Bali adalah pulau yang sangat mahal untuk dinikmati, tidak hanya dari segi uang namun juga waktu.
Saya seumur hidup tinggal di Bali, menjalani cepatnya harga-harga melambung naik berkat pariwisata. Sementara pendapatan naiknya tidak sebanding. Nah, tentu tahu kan bagaimana jadinya?
Selain mengingat tingginya biaya hidup, Bali juga dikenal dengan macetnya. Tidak hanya di ibu kota provinsi, namun sudah menjalar ke daerah-daerah terutama di kawasan pariwisata pedesaan. Bukan daerah wisatanya yang seringkali membuat macet, namun deretan rumah makan atau restoran serta toko-toko wisata yang ada di sekitarnya. Tentu ga enak dong, macet-macetan sambil lihat orang makan sementara perut kita lapar?
Selain itu, yang tidak enaknya di Bali adalah ramai dan sumpeknya. Polusi bukan hal yang susah ditemui, terutama di wilayah Bali selatan. Memang desa-desa wisata tertentu menawarkan udara segar dan bebas polusi, namun untuk tinggal disana memangnya tidak butuh duit? Harga penginapannya saja semalam sudah ratusan ribu, kalau tidak punya uang lebih, tentu udara segar hanya bisa dinikmati maksimal 24 jam.
Ramai, sudah pasti! Ini ada hubungannya dengan macet dan polusi. Kepadatan penduduk bertambah karena banyak orang tergiur dengan Bali yang indah dan konon katanya banyak duit. Saya merasa sangat pusing ketika melewati daerah Monang-Maning. Sumpeknya. Rumah-rumah berderet tanpa jeda, jalanan kecil namun ramai dilewati kendaraan, bengkel motor berserakan di tepi jalan sambil menyumbangkan deru kendaraan yang sedang diservis. Belum lagi dagang-dagang DVD di tepi jalan saat malam yang memasang music keras-keras. Pokoknya, hmmm.. enggak banget.
Nah, bagi yang mau tinggal di Bali, coba deh dipikir lagi. bisa pakai test drive beberapa minggu (kek motor aja). Untung kalau daerah yang dipilih Denpasar ke timur, masih sedikit lebih ‘sepi’.
Kalau saya sendiri sih, karena udah ga bisa kemana-mana sih. Jadinya, walau Bali kian tahun kian suram, tetap memilih tinggal disini. Kalau urusan rasa cinta, ya, karena tidak pernah ada pembanding, ya Bali tetap nomer satu. Bali is my home.
wah padahal inyong pengin lihat bali, jadi ngga ya
BalasHapusinvestasi yang menarik tuh beli rumah di bali :D
BalasHapussaya mau bertanya, tingkat kriminalitas di BALI sendiri bagaimana?? apakah sama seperti di Ibukota?? tolong di jawab ya.. terimakasih..
BalasHapus@anonim, sama enggaknya saya ga tahu ya karena ga pernah tinggal disana. namun bagi saya, kriminalitas di bali cukup tinggi. banyak berita kehilangan, bahkan di rumah sendiri.
BalasHapusrencana sih tahun depan mau stay di bali
BalasHapuspengen cari suasana baru
Numpang share, saya perantau dari Bandung yang skrg bekerja di Bali. Sebagian besar saya setuju dengan penulis, "pikir lagi sebelum berniat mengadu nasib di Bali". Disini untuk peluang kerja memang lebih besar karena kurangnya SDM yang kompeten (no offense but it's fact), tapi jangan harap bisa dapat salary sesuai yang diharapkan karena banyak orang berpikiran "wah asik lo kerja di Bali pasti gajinya gede" (silahkan googling sendiri berapa UMK Bali). Suasana? Ini yang mungkin menjadi alasan beberapa perantau masih mau stay di Bali termasuk saya sendiri, kapanpun anda butuh refreshing tinggal jalan2 sambil nikmati indahnya pemandangan di pulau dewata ini dengan gratis (atau bayar parkir paling kisaran 2-10ribu perak tergantung daerahnya) ya lumayan untuk penghilang penat dari padatnya kerjaan. Biaya hidup? Tergolong tinggi, bahkan bisa disamakan dengan Jakarta. Hanya saja tingginya biaya hidup di Jakarta dibayar sepadan dengan salary yg didapat, terus terang untuk biaya hidup saya cukup terkejut awalnya jika dibandingkan dengan kota asal saya Bandung, saya ambil contoh kecil untuk biaya kebutuhan primer: harga makanan kaki lima menu pecel lele berkisar 15ribuan sedangkan di Bandung paling mentok juga 10ribu (hampir 2x lipat), belum lagi untuk kebutuhan sekunder & tersier juga cukup menguras kantong. Sekarang membahas tingkat kriminilitas, Bali tergolong jauh lebih minim dibanding Jakarta atau Bandung sebagai acuan ibu kota. Hampir setiap minggu selama saya tinggal di Bandung ada saja kejadian perampokan, penodongan, pemerkosaan, dll setiap akhir pekan. Untuk kriminalitas Jakarta silahkan lihat sendiri berita di tv (sudah terlalu lumrah rasanya). Di Bali memang ada sistem setoran untuk keamanan setiap bulannya ke para "pihak berwenang" masing2 wilayah tapi selama ini memang terbukti daerah yang saya tempati Alhamdulillah aman2 saja. Well kalo saya pribadi masih betah stay di Bali sebatas bekerja dan berkarir, tapi untuk settle hidup disini dalam jangka panjang rasanya tidak. However, Bandung still much better for me ;)
BalasHapusKlw boleh tw untuk cari kerja tamatan sma susah nga ? Mohon infonya
BalasHapus